Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2012

Ini cinta, bukan kita

Cinta memberiku ruang untuk sebuah kesempatan, mengenalmu Cinta mengenalkanku pada keinginan untuk mengertimu Cinta membuatku mengerti arti bersabar dalam menunggu Menunggu pengertianmu akan hadirku Hadirku yang hanya hinggap sekejap dalam hatimu Hatimu yang tak benar-benar mengenalku Mengenalku dengan hati yang tulus mencintaimu Cinta,  adakah aku salah dalam mengartikannya? Kurasa cinta tak pernah salah. Kurasa hatiku tak salah memilihmu. Dan kau pun tak salah dengan memaksa masuk dalam hidupku. Cinta kita hanya istilah. Cinta kita hanya intermezzo bagi hidup yang kadang membosankan.  Cinta kita hanya sepotong kisah yang memang tak bertakdir   dengan akhir yang indah. Cinta kita hanya teori untuk saling memahami. dan ketika kau dan aku gagal untuk saling mengerti, cukup balikkan badan, dan biarkan punggung kita saling berucap selamat tinggal.

3 tahun

Inginku duduk berlama-lama ditepi pembaringanmu. Sekedar menamanimu mengobrol dan mendengarkanmu. Cukup dalam diam aku mendengar ceritamu. Cukup dalam sepi aku tau kau sedang duduk menemaniku. Disisi gundukan tanah ini, disisi nisan yang menancap diatas wajah dan kakimu, aku tau kau selalu bersamaku. Ayah, 3 tahun sudah kau tertidur disini. Tiap hujan datang aku selalu mengkhawatirkanmu. Aku takut istanamu menjadi becek dan membuatmu menggigil kedinginan. Aku takut banjir menghanyutkan sisa-sisa gundukan tanah merah yang selalu basah oleh do’a-do’aku ini. Namun yang dapat kulakukan hanya berbicara denganmu lewat air mata, berusaha sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa kau disana baik-baik saja. Ayah, mungkin aku hanya terlalu merindukanmu. Mungkin aku hanya terlalu ingin melihat sosokmu, memelukmu, bermanja-manja dipangkuanmu. Seseorang mengingatkanku sebuah lagu yang selalu kudengarkan saat aku merindukanmu. Ingat penggalan lyric ini? ” I don't want to let you down. I don...

sebotol gerimis

Perempuan itu Menadah gerimis untuk diminumkan pada bayinya. Gerimis dimasukkan kedalam botol Diaduk sebentar sementara si bayi berteriak-teriak tak sabar. Tangan perempuan itu gemetar bergetar ”sabarlah nak, gerimis ini begitu tipis” serunya sembari menatap lirih pada botol yang tak kunjung meluber isinya si bayi kembali membentak ibunya yang mudah terkesiap telinga tuanya begitu sensitif dengan suara-suara tangan keriputnya kerepotan menutup botol yang belum penuh sempurna seperti titah si bayi wajah bayi itupun merengut, cemberut diraihnya dengan kasar botol dari tangan ibunya ”kenapa cuma segini? Aku maunya penuh!” rajuk bayi dengan manja Tangan mungilnya mengepal jempol sang Ibu Sambil menenggak gerimis demi gerimis dalam botol susunya “rasanya pun sedikit asin!! Kau isi apa pada botol susuku, ibu??” bentaknya. Perempuan tua yang ia panggil ibu itupun kembali terkesiap nyala dalam matanya takut jika dustanya tersingkap lewat rasa p...

Telaga Bening

Sore begini aku biasa duduk-duduk santai Ditepi kelopak mata ibuku Mencelupkan kaki yang berkecipak merasakan dingin air telaga beningnya merayap lewat pori demi pori kulitku kuteguk dua cangkir beningnya ketika telaga tumpah, ruah mata itu memejam amarah membuncah mata itu mengulum rindu menderu mata itu terlihat sakit menggigit mata itu merasakan perih menindih mataku melihat penat merekat erat pada bening mata itu, pada bening air dari kelopak mata ibuku setengah terpejam rindu itu kembali menderu rindu pada lelaki yang biasa mandi ditengah telaganya lelaki yang pamit pergi takkan lama nyatanya sirna sosoknya ibu menangis, aku meringis menenggak dua cangkir lagi kerinduan ibu kerinduan ibu pada ayahku. (selamat hari ibu)

01.45 AM

Malam memudar, yang terdengar hanya jarum jam yang berlari mengejar waktu. Kemarin suaranya masih terdengar biasa, namun entah, kini sedikit berbeda. Detik yang berhamburan seperti menyeret-nyeret aku untuk segera beranjak dari diamku. Beranjak dari diam yang sepi, sepi yang sendiri. Diam yang tak dimengerti waktu, diam yang diciptakan oleh waktu. Waktu-waktu sepiku.

Kota-tuaku masuk angin

Gara-gara angin sibuk lalu-lalang sedari tadi, kotaku jadi masuk angin. Pohon-pohon berantakan rambutnya, beringin sampai terbuka terus roknya. Ayam-ayam bengong putus asa mengejar serangga yang lebih cepat terbangnya. Padi-padi yang menguning sampai pegal-pegal dihempas angin, sebentar kekanan sebentar kekiri. Tapi burung-burung kecil tak perduli, padi yang lemah dipatukinya sampai gundul setengah. Ayam pun tak mau kalah, segera ia dekati padi paling pinggir yang dapat diraihnya, namu petani keburu datang mengusirnya dengan marah. Ayam bengong lagi, putus asa lagi. Angin menari lagi. Padi pegal lagi. Dan aku sibuk mengoles minyak kayu putih pada punggung kota-tuaku yang gampang masuk angin. 

Mahakarya Sepi

Kulihat baliho-baliho ditepian jalan marak berpromosi tentang sebuah konser akbar. ”Mahakarya Sepi”, begitu judul yang hinggap pada mataku. Pada benakku. Gadis kecil dalam kepalaku langsung menari bak balerina, turut bergembira ingin menyaksikan mahakarya sepi petang nanti. Kusiapkan pakaian terbaik, wewangian termanis, riasan terindah, semuanya yang ter-sempurna untuk kesempurnaan sebuah mahakarya, katanya. Kata siapa? Kata siapapun yang memasang baliho tersebut di titian jalanku pulang. Tibalah waktu yang dijanjikan baliho tersebut datang. Aku sudah cantik, terlalu cantik untuk pergi ke konser seorang diri. Akh, lagipula ini konser sepi. Takkan masalah jika ku datang dengan hanya aku sendiri yang sudah sangat cantik malam ini. Konser pun dimulai. Sepi menggelegar memecah udara yang bergerak pelan-pelan. Sepi berteriak nyalang membakar ilalang. Sepi merayap dari jempol kaki ke ubun-ubunku. Sepi mencabik-cabik pakaian balerina yang terpaku dalam benakku. Sepi menampar...

dada dan kotaku kehujanan

Jarum jam sudah jauh langkahnya dan matahari belum mekar sinarnya. Kota ini tengah dicintai hujan. Hujan yang hinggap pada ranting-ranting kering. Ranting yang dihinggapi hujan, hujan di dadaku. Adakah hujan ini sama dinginnya dengan hujanmu? Tidak. Dadaku dan dadamu punya cerita yang berbeda tentang hujannya. Dan kota ini pun kisahnya tak sama, masih tentang hujan pula. Jarum jam kian jauh berlari dan kamarku masih temaram. Jendela yang ku tutup rapat tak membuat badai diluar sana ramah bertamu, duduk mengobrol lama-lama bersama lamunanku. Namun celah jendela ini terlalu baik mengizinkan udaramu hinggap pada hidungku, memaksa masuk kedalam rongga pernafasanku, mencabik-cabik dadaku yang t’lah basah kuyup karena hujan. Hujan, berulang kusebut namanya namun kian gembira ia menari dalam dadaku. Adakah hujan ini sama dengan hujan di dadamu? Tidak. Jarum jam sudah akan pulang lagi, dan aku masih kehujanan. Dada ini, ranting-ranting ini, kota ini. Kota hujan, dada kehujanan, aku hujan....

corat-coret

Aku terlalu menuruti semua perintah hatiku. Seperti ada dibawah pengaruh mantra, jari-jariku otomatis mengetik bahasa kerinduan yang membuancah dalam benakku, lalu mengirimnya setelah memastikan benar namamu yang ku tuju, dan lalu menyesalinya sedetik setelah kupastikan pesan itu terkirim padamu. Mungkin kau belum selesai membacanya ketika rasa sesal ini semakin membuatku nelangsa.  Akh, tapi masa bodoh. Kau bebas merdeka hendak berpikir apa tentangku, seperti halnya aku yang bebas merdeka berimaji apa-saja tentangmu. Jika dapat ku tahan tubuh ini dari gerak-gerik yang membahasakan cintaku padamu, tentu kau takkan pernah tau bagaimana hatiku. Aku tak semudah itu untuk kau baca. Tapi tunggu, selama ini, pernahkah kau benar-benar mencoba untuk meraba huruf-hurufku? Aku hanya terlalu jujur berceloteh tentang semua warna rasa dalam dadaku jauh sebelum kau benar-benar mempertanyakannya. Aku adalah buku yang jarang terbuka, sampai berdebu. Isiku terlalu rumit untuk dapat di...

air..air..air...

Kadang terasa ngilu, luruh seluruh tulang-belulang dalam tubuh. Kadang seperti dipeluk dengan sangat-sangat erat, hingga untuk bernafas pun terasa berat. Kadang terasa seperti dibenturkan ke dinding, nyatanya dinding diam tak bergeming. Kadang kulihat langit berputar-putar, mengaburkan jangkau pandangku pada sekitar. Kadang terasa nyeri, sangat nyeri membuatku ngeri. Kadang seperti terbakar, aku ingin air...air...air... Kadang hatiku mati rasa dari rasa-rasa. Lalu tiba-tiba sakit yang menggigit sirna seketika. Ketika do’a, dengan do’a aku percaya Tuhan menitipkan obatnya pada setiap helai do’a yang kukirim padanya. Lewat sakit, lewat perih, lewat sesak, lewat pandangan yang mengabur, lewat air...air...air...

Langit Pagi

Pagi t’lah lelah mendongakkan kepalanya menatap langit yang tak kunjung basah. Merasa kering dan terasing, sendiri separuh mati, pagi tetap berulang dengan asa yang sama. Harusnya kau tau diri, langit! Menunggumu t’lah membuat pagi sekarat dalam kalimat-kalimat berkarat, berakhir hanya pada sajak yang tak pernah tuntas. Jika saja kau gunakan kedua bola matamu untuk sejenak meraba kata-kata pagi yang merenda asa hanya untukmu, dapatlah kau jumpai cinta pada bulir air mata yang hanya jatuh ke dasar hatinya, yang sepi, yang sendiri, yang nyaris mati. -langit masih diam- -pagi semakin muram-

Jingga

Diam adalah sajak yang pecah lewat rona jingga ketika senja menetas di kaki langit yang setengah muram, temaram. Berserak satu dua kepingan hati yang bergetar ingin menggoreskan pena hanya tentang sebongkah rasa yang tak pernah habis dijabarkan oleh kata demi kata. Huruf demi huruf pun layu.   Kata-kataku kelu tertahan di kerongkongan yang kering tanpa pernah mengucap kerinduan yang dulu ku elu-elukan bersama namamu, selalu. Senja tak lagi cerah ronanya. Langit tak lagi ceria karenanya. Huruf-huruf enggan mewakili hati yang tak mau bicara. Bagaimana aku bisa berpuisi, jika namamu dihatiku t’lah lama mati?

Lelaki dibalik ketiak nyali

Kau lelaki linglung. Limbung dengan satu hantam keragu-raguan yang merajam hati dan isi kepalamu. Sebegitu tinggikah benteng ketakutanmu itu sehingga kau harus merasa pasrah jauh sebelum kau coba satu kali saja tuk menerjangnya? Ataukah kau merasa lebih nyaman untuk berlindung dibalik ketiak nyalimu yang penakut itu? Akh, lelaki… hidupmu tak jauh dari kubangan bimbang dan kegamangan. Kau yang ciptakan, seharusnya kau tak turut tenggelam! Kelak jika yang tersisa hanyalah ruang demi ruang, adakah pintu ‘kan terbuka ketika kau mengetuk? Lalu apakah puas ego lelakimu dengan hanya mengikhlaskan apa yang tak pernah kau perjuangkan berada ditangan siapa saja selain KAU, lelaki-ku!!! 

Perempuan

Dia perempuan,  Diam adalah senjata untuknya bertahan. Senyum adalah perisai diri tanpa perlu banyak beralasan Air mata laksana hujan yang menghapus wajah kusam kehidupan Karena dia perempuan, Dunia tak perlu melihat pedih dibalik tatap matanya Dunia tak perlu tau betapa Ia memendam luka Karena aku perempuan

Pergilah

Masih saja ada ruang untuk sebuah kesempatan bagimu untuk kembali, membulatkan hatimu untukku. Ataukah hanya angan-anganku? Ataukah hanya cintaku yang bicara tentang sebuah kemungkinan yang kurasa mustahil itu? Rupa-rupanya jeda ini tak hanya untukmu, pun dihatiku masih ada sebongkah rasa yang patut ku pertanyakan. 29 hari lagi aku memutuskan untuk menelan bulat-bulat jeda yang kuberikan untukmu itu. Jika memang Tuhan tak jua menggerakkan hatimu untukku, maka sejak awal Tuhan memang tak berencana demikian. Akan tiba hari dimana takkan ada satupun pintu yang dapat kau ketuk dalam diriku. Akan ada hari dimana cinta ini akan menjadi terlalu besar dan kemudian meledak, pecah menjadi serpih yang ’kan berakhir dihempas   angin. Bukan berarti aku menyerah, aku hanya berusaha untuk lebih adil pada diriku sendiri. Aku berusaha untuk menepikanmu demi sebuah cinta untuk diriku sendiri yang telah sekian lama aku abaikan. Sudah saatnya aku menjadi lebih realistis tentangmu, sayang. Jika...