Gara-gara
angin sibuk lalu-lalang sedari tadi, kotaku jadi masuk angin. Pohon-pohon
berantakan rambutnya, beringin sampai terbuka terus roknya. Ayam-ayam bengong
putus asa mengejar serangga yang lebih cepat terbangnya. Padi-padi yang
menguning sampai pegal-pegal dihempas angin, sebentar kekanan sebentar kekiri. Tapi
burung-burung kecil tak perduli, padi yang lemah dipatukinya sampai gundul
setengah. Ayam pun tak mau kalah, segera ia dekati padi paling pinggir yang
dapat diraihnya, namu petani keburu datang mengusirnya dengan marah. Ayam bengong
lagi, putus asa lagi. Angin menari lagi. Padi pegal lagi. Dan aku sibuk
mengoles minyak kayu putih pada punggung kota-tuaku yang gampang masuk angin.
Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani
Comments
Post a Comment