Jarum jam sudah jauh langkahnya dan
matahari belum mekar sinarnya. Kota
ini tengah dicintai hujan. Hujan yang hinggap pada ranting-ranting kering. Ranting
yang dihinggapi hujan, hujan di dadaku. Adakah hujan ini sama dinginnya dengan
hujanmu? Tidak. Dadaku dan dadamu punya cerita yang berbeda tentang hujannya. Dan kota ini pun kisahnya tak
sama, masih tentang hujan pula. Jarum jam kian jauh berlari dan kamarku masih
temaram. Jendela yang ku tutup rapat tak membuat badai diluar sana ramah
bertamu, duduk mengobrol lama-lama bersama lamunanku. Namun celah jendela ini
terlalu baik mengizinkan udaramu hinggap pada hidungku, memaksa masuk kedalam
rongga pernafasanku, mencabik-cabik dadaku yang t’lah basah kuyup karena hujan.
Hujan, berulang kusebut namanya namun kian gembira ia menari dalam dadaku. Adakah
hujan ini sama dengan hujan di dadamu? Tidak. Jarum jam sudah akan pulang lagi,
dan aku masih kehujanan. Dada ini, ranting-ranting ini, kota ini. Kota hujan,
dada kehujanan, aku hujan.
Gerimis yang sesekali diselingi gemuruh Guntur yang bersahutan dan rumah yang lengang membuat saya ingin sedikit menorah beberapa hal yang semenjak beberapa waktu ini begitu mendesak ingin segera dituliskan. Kalau diingat-ingat lagi, saya memang sudah agak lama tidak lagi duduk dan bercerita di Bale Bengong ini kepada kalian yang tanpa sengaja tersesat disini. Dan kalau dipikir-pikir lagi, rumah ini tak terlalu lengang sekarang ini karena saya tidak sedang sendirian. Suami memang masih di kantor dan belum pulang, namun didalam rahim saya ada sesosok janin mungil yang kini genap berusia tiga bulan sedang menemani saya yang kesepian. “ Halo sayang, sehat-sehat selalu didalam perut ibu ya J ” Bicara tentang janin, hati saya mengembang lagi sekarang. Senang? Tentu saja.. tiga bulan ini telah menjadi saat-saat paling ajaib sejak kehadirannya. Janin mungil yang sebelumnya selalu kami sebut dalam do’a kini tengah meringkuk tenang didalam rahim saya, sedang tumbuh dan ter...
Comments
Post a Comment