Jarum jam sudah jauh langkahnya dan
matahari belum mekar sinarnya. Kota
ini tengah dicintai hujan. Hujan yang hinggap pada ranting-ranting kering. Ranting
yang dihinggapi hujan, hujan di dadaku. Adakah hujan ini sama dinginnya dengan
hujanmu? Tidak. Dadaku dan dadamu punya cerita yang berbeda tentang hujannya. Dan kota ini pun kisahnya tak
sama, masih tentang hujan pula. Jarum jam kian jauh berlari dan kamarku masih
temaram. Jendela yang ku tutup rapat tak membuat badai diluar sana ramah
bertamu, duduk mengobrol lama-lama bersama lamunanku. Namun celah jendela ini
terlalu baik mengizinkan udaramu hinggap pada hidungku, memaksa masuk kedalam
rongga pernafasanku, mencabik-cabik dadaku yang t’lah basah kuyup karena hujan.
Hujan, berulang kusebut namanya namun kian gembira ia menari dalam dadaku. Adakah
hujan ini sama dengan hujan di dadamu? Tidak. Jarum jam sudah akan pulang lagi,
dan aku masih kehujanan. Dada ini, ranting-ranting ini, kota ini. Kota hujan,
dada kehujanan, aku hujan.
Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani
Comments
Post a Comment