Skip to main content

Mahakarya Sepi


Kulihat baliho-baliho ditepian jalan marak berpromosi tentang sebuah konser akbar. ”Mahakarya Sepi”, begitu judul yang hinggap pada mataku. Pada benakku. Gadis kecil dalam kepalaku langsung menari bak balerina, turut bergembira ingin menyaksikan mahakarya sepi petang nanti. Kusiapkan pakaian terbaik, wewangian termanis, riasan terindah, semuanya yang ter-sempurna untuk kesempurnaan sebuah mahakarya, katanya. Kata siapa? Kata siapapun yang memasang baliho tersebut di titian jalanku pulang.

Tibalah waktu yang dijanjikan baliho tersebut datang.

Aku sudah cantik, terlalu cantik untuk pergi ke konser seorang diri. Akh, lagipula ini konser sepi. Takkan masalah jika ku datang dengan hanya aku sendiri yang sudah sangat cantik malam ini.

Konser pun dimulai.

Sepi menggelegar memecah udara yang bergerak pelan-pelan. Sepi berteriak nyalang membakar ilalang. Sepi merayap dari jempol kaki ke ubun-ubunku. Sepi mencabik-cabik pakaian balerina yang terpaku dalam benakku. Sepi menampar pipiku yang t’lah luntur bedaknya. Sepi memeras air-mata kelopak-mataku yang terkatup cantik dengan goresan eye-liner, maskara-ku luntur karenanya. Sepi mengulum bibirku dengan buasnya, pudar merah gincu dan segala warna padanya. Sepi menelanjangiku dalam ke-papa-an sendiri. Balerinaku menangis sendu. Konser mahakarya sepi berakhir merampas ceriaku, wangiku, gairahku, cantikku.  

Konser ini begitu dahsyatnya. Balerina dalam benakku tak lagi menari karenanya. Aku terpaku. Dia terpaku. Mereka kelu. Gadis kecil dalam diriku diam-diam mengupas pergelangan tangannya. Darah bersimbah pada titian jalan yang tadinya ada baliho laknat itu, tapi kini tiada. Darah ini pun pindah dimataku. Dimatanya. Dimata mereka yang tersihir Mahakarya Sang Sepi dan segala kesempurnaannya.

Rupa-rupanya kesendirian dalam aku telah begitu terpesona dengan sepi.
Aku pulang, telanjang. Nanar kedua mata sembab-ku mencari-cari baliho serupa. Aku menanti konser sepi lainnya, yang sama dhasyatnya. Yang sama sepinya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai