Dear, Lita..
Kamu adalah seorang yang sangat ku
kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi
seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku
sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini?
Tiap pagi ketika mata kita baru
saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi
hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ”Tuhan, untuk apa aku diciptakan?”
Itu kan yang selalu kita
pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini.
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita
masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif
sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa
ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?
Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan
begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka
melihat betapa susahnya kita memeras air mata dalam diam, sedang disisi lain
kita tak ingin seorang pun tau betapa rasa sakit yang kita tahan sering membuat
tubuh, hati, dan pikiran kita mati rasa. Dan kita mulai marah pada kenyataan.
Lebih-lebih pada diri kita sendiri yang ’kalah’ pada kenyataan tersebut.
Ada satu waktu dimana ayah bisa
jadi sangat menyebalkan, ibu bisa jadi sangat memuakkan, saudara sangat
membosankan, sahabat bisa jadi sangat mengesalkan. Kita menolak dunia sekitar
kita yang tak bersikap sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mungkin saat itu
kita tengah menjadi terlalu sensitif setelah terus menerus diganggu oleh
pertanyaan soal eksistensi kita tersebut. Dan yang lebih menyebalkan, Tuhan
belum juga mau menjawabnya dengan cara yang kita mau. Kita semakin frustasi.
Semakin gila dibuatnya.
Ada satu waktu dimana kita sangat
ingin marah tanpa tau alasan mengapa kita harus marah..pada apa, pada siapa. Mungkin
saat itu kita hanya tengah marah pada diri sendiri atas ketidak-mengertian kita
terhadap keinginan-keinginan yang ada dalam diri kita, yang kita merasa belum
mampu mewujudkannya, yang kita lebih memilih lari daripada mencari tau lebih
gigih pada diri kita sendiri. Kalau aku, biasanya lebih memilih bersembunyi
dibalik selimut sepanjang hari, menolak dunia dengan menenggelamkan diri pada
pengapnya kasur yang selama ini sudah berat menampung kotoran hatiku. Bagaimana
denganmu, Lita?
Kadang, kita terjebak dalam
kebekuan rasa takut entah pada apa. Mungkin saat itu kita hanya tengah takut
pada kemungkinan-kemungkinan yang kita ciptakan sendiri. Padahal, toh, pada
akhirnya kemungkinan-kemungkinan itu hanya akan berakhir menjadi kemungkinan
saja. Dan tenaga kita telah bnyak terbuang untuk ketakutan yang sia-sia.
Begitukah yang kau rasa? Aku merasakannya.
Suatu ketika, pernah kita menangis
sejadi-jadinya. Semua perasaan yang kusebutkan tadi tiba-tiba terjadi disatu
waktu. Dan kita sama sekali tak siap sedikitpun dengan keadaan seperti itu. Apa
yang kita lakukan kemudian? Menulis? Ah, itu hanya seperti menyimpan perasaan
dan kenangan buruk kita untuk kemudian membuat luka kita basah lagi suatu
waktu. Tapi setidaknya menulis membuat kita sedikit lega.. lalu apa? Lari ke
suatu tempat?
Kalau aku, pasti lebih memilih
menangis sejadi-jadinya. Karena lewat air mata, aku bisa jujur pada diriku
sendiri bahwa aku sudah terlalu lama terluka namun tak tau bagaimana cara
menumpahkannya lewat kata-kata. Walau setelah menangis aku masih terjebak dalam
ketidak-mengertianku tentang ini itu, tapi tak mengapa, aku merasa sedikit
lebih ringan setelahnya. Bagaimana denganmu?
Akh, bicara denganmu tentang
kehidupan takkan pernah kutemui habisnya. Selalu ada hal-hal diluar nalarku
yang kutemukan dalam setiap pembicaraan kita. Tentang cinta misalnya. Hahaha..
bagian yang satu ini sepertinya kita lebih banyak terluka, lebih banyak air
mata. Tapi bukankah seru membicarakan ini denganmu yang juga mengalami hal yang
nyaris sama denganku? aku seperti tengah melihat ’aku’ ketika mendengar
ceritamu, dan mungkin kamu juga merasakan hal yang sama.
Para lelaki itu telah hadir dalam
hidup kita. Berawal dari teman biasa, akhirnya jadi seseorang yang kita suka,
mereka suka kita, kita dan mereka bercinta, mereka pergi, kita sakit hati..dan,
pada akhirnya jadilah mereka guru yang mengajarkan kita tentang cara mengobati
luka seorang diri. Aku bersukur ada kamu yang membantuku menyembuhkan lukaku,
dan semoga...walaupun aku tak banyak membantumu, do’aku mampu meringankan
sakitmu juga. Amin. J
Kembali pada pertanyaan tadi,
TUHAN.....UNTUK APA KAMI DICIPTAKAN?? Mungkin jawabannya adalah untuk memerangi
diri sendiri. Mungkin untuk mengalah pada diri sendiri, bukan pada keadaan.
Mungkin untuk membuat kita belajar memaafkan diri sendiri. Mungkin untuk
membuat kita faham bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk bahagia.
Bukankah Tuhan begitu sayangnya
pada kita? Kita sengaja diciptakan untuk bahagia, namun tidak dengan cara yang
sederhana. Kita diminta untuk mencari ’alasan’ penciptaan kita pada diri kita
sendiri. Sedang kita telah lelah bersusah-payah melawan sekitar kita hanya
untuk menemukan jawaban yang kita cari. Padahal, jawabannya adalah diri kita
sendiri.
Kita sadar bahwa kita sedang
dipermainkan ego kita sendiri. Tak apalah, wajar kok. Tuhan tidak menciptakan
kita agar kita mudah masuk surga. Disisi bagian dari diri kita yang baik, Tuhan
juga menciptakan diri kita yang jahat. Lebih sederhananya, kita sebut saja ia
nafsu, keinginan, ambisi, ego kita sendiri. Hal-hal itulah yang selalu berusaha
menjebak kita dalam kebingungan semu dalam pencarian kita akan jati diri. Kita
dibuatnya capek, dibuatnya marah, dibuatnya lelah dan menyerah. Hingga pada
akhirnya dengan berani kita bertanya pada Tuhan tentang tujuan IA menciptakan
kita.
Akh, Lita. Aku sudah lelah melawan
hidup ini. Aku sudah lelah diperbudak diriku sendiri. Aku terbelit dalam
kungkungan masalah yang ada dalam kepalaku sendiri. Aku terperangkap dalam sisi
gelapku sendiri. Begitukah yang kau rasa?
Soal para lelaki yang telah
menjadi guru bagi kita, bukankah mereka merupakan instrumen yang sengaja Tuhan
ciptakan untuk membantu kita dalam menemukan siapa kita sebenarnya? Itu kan
yang selalu kita pertanyakan?
Kita selalu merasa ingin kembali
menjadi diri kita yang ’dulu’. Dulu yang mana? Dulu sekali saat kita belum
mengalami hidup sesulit ini. Dulu sekali saat hidup kita hanya dipusingkan oleh
bagaimana memilih warna yang paling manis untuk mewarnai pepohonan dalam kertas
gambar kita. Akh, rindu kita kurang seru.. kita jadi terkesan tak suka berada
dalam kesulitan. Kita membenci masalah. Kita hanya membenci kerumitan.
Iya, aku tak suka berada dalam
kesulitan. Aku suka berada dalam zona nyaman. Aku suka tak bermasalah dengan
kehidupan. Aku bahkan berusaha tak saling mengenal dengan kehidupan itu
sendiri. Aku hanya TAKUT berada dalam kebingungan, ego-ambisi-sedih-marahku
jika masalah-masalah itu datang. Apakah kali ini pun kamu merasakan hal yang
sama denganku?
Pada akhirnya, aku hanya menemukan
satu jawaban dari pertanyaan kita itu, Lita. Mungkin setelah ini aku takkan
bertanya lagi pada Tuhan tentang alasan-Nya menciptakanku. Dia hanya ingin aku,
kamu menjadi penghuni surga-Nya dan sekaligus berjuang sendiri agar terhindar
dari neraka-Nya. Hebat.
Namun pada akhirnya, otak bebal
kita kembali mempertanyakan sebuah tanda tanya baru. ’SIAPA KITA?’
Untuk pertanyaan yang satu ini aku
tak akan mencoba menalar lagi. Jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Mungkin saat
ini kita sedang berada ditengah-tengah perjalanan kita dalam mencari identitas,
sebuah keyakinan yang pasti tentang pengenalan kita terhadap diri sendiri. Dan semoga,
diujung perjalanan itu dapat kita temui jati diri kita yang sesungguhnya. Jawaban
yang dapat memuaskan semua tanda tanya kita tentang siapa diri kita sebenarnya.
Mungkin, satu kunci yang bisa mengantar kita pada saat itu adalah hanya dengan
memulai hal-hal kecil, dengan mulai mencintai diri kita sendiri misalnya. Kemudian
mulai memaafkan diri sendiri, barulah kemudian berdamai dengan segala warna
kehidupan yang Tuhan berikan. Jika dengan begitu saja kita bisa masuk surga,
bolehlah ku katakan Surga-Nya begitu dekat diatas ubun-ubun keyakinan kita
sendiri. Hanya saja, kita masih harus mengalahkan satu musuh abadi yang bernama
”AKU”.
Daaaannnn masih terlalu banyak hal
yang ingin aku tulis disini, namun lagi-lagi, keterbatasan kata takkan pernah
mampu memuaskan keinginanku untuk mengungkapkan semua yang berkecamuk sekian
lama dalam kepalaku. Mataku sudah berat, Lita.... kapan-kapan sajalah ketika
waktu mempertemukan kita lagi, mari kita berdebat tentang kehidupan. Dan aku
tak sabar menunggu saat itu datang lagi J
Nice, like it very much:-*
ReplyDeleteAnk muda bget yg lgy bgug tntag drix sndri, jati dirix sndri, prtaxan2 yg truz mncuL yg jg kdag hruz d jwab sndri mzkpun mgkin jwabanx hax biar ktemu jwabanx, hax bwt bkin tenang hti, iy egk binaz?
L0ok f0rward y0ur next writting
aku kok gak ada :(
ReplyDeleterofik, ini trjadi pada smua org kan fik?? hahahhaa
ReplyDeletesapi, capek ngetik nama bnyak2, diwakili lita ae.. gkgkkgkgk
ReplyDelete