Skip to main content

it's ok not to be okay


Merdeka suaraku dengan diam, jika deru hatiku yang menyeru tak mereka hiraukan.
Lega jiwaku dengan bungkam, jika raut muram wajahku tak membuat mereka paham.
Aku nyaman dengan diam, karena sebagian dari mereka tak berhak menjadikanku bahan obrolan belaka tanpa penghiburan yang menentramkan.
Tak pantas ku perlihatkan kebodohanku dengan berbagi suara yang hanya akan menjadi angin lalu dalam ingatan mereka...

Biar kesedihan ini memelukku, mungkin Ia cemburu dengan bahagia yang sekian lama menjadi teman sepermainanku. Sedih mengenalkanku pada sepi, namun tak kesepian. Sedih menjadikanku sendiri, namun tak selaluu sendirian.

Tapi toh, tak ada bahagia yang ada dalam rengkuh kata ’selamanya’. Begitupun dengan kemuraman yang sifatnya hanya sementara. Aku hanya butuh waktu untuk terbiasa, dan belajar membagi cerita dengannya jua.

Lama-lama aku pun akrab dengan sepi dan mulai terbiasa bersamanya. Aku lupa caranya tertawa, aku kehilangan gairah untuk merdeka. Duka yang bertubi-tubi mengunciku dalam ruang kemuraman. Aku lebih banyak diam. Aku pendam segalanya dalam diam. Ketika dunia memalingkan wajahnya dengan sejuta penolakan, mataku tak lagi basah karenanya. Aku mungkin telah terbiasa, benar-benar telah terbiasa dengannya.

Namun bagiku tak mengapa, aku harus adil membagi diri untuk bahagia dan sedihku. Keduanya adalah satu yang membentuk aku. Bagiku tak mengapa, sungguh tak mengapa.....

Comments

  1. Sepi itu hanya sebentar karena setiap kali q bsa membuat keributan hahahahaha

    ReplyDelete
  2. ini sepi yg beda, lebih sepi dari sepi yg biasanya.. hahhaaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai