Merdeka suaraku
dengan diam, jika deru hatiku yang menyeru tak mereka hiraukan.
Lega jiwaku
dengan bungkam, jika raut muram wajahku tak membuat mereka paham.
Aku
nyaman dengan diam, karena sebagian dari mereka tak berhak menjadikanku bahan
obrolan belaka tanpa penghiburan yang menentramkan.
Tak pantas
ku perlihatkan kebodohanku dengan berbagi suara yang hanya akan menjadi angin
lalu dalam ingatan mereka...
Biar
kesedihan ini memelukku, mungkin Ia cemburu dengan bahagia yang sekian lama
menjadi teman sepermainanku. Sedih mengenalkanku pada sepi, namun tak kesepian.
Sedih menjadikanku sendiri, namun tak selaluu sendirian.
Tapi toh, tak
ada bahagia yang ada dalam rengkuh kata ’selamanya’. Begitupun dengan kemuraman
yang sifatnya hanya sementara. Aku hanya butuh waktu untuk terbiasa, dan
belajar membagi cerita dengannya jua.
Lama-lama
aku pun akrab dengan sepi dan mulai terbiasa bersamanya. Aku lupa caranya
tertawa, aku kehilangan gairah untuk merdeka. Duka yang bertubi-tubi mengunciku
dalam ruang kemuraman. Aku lebih banyak diam. Aku pendam segalanya dalam diam.
Ketika dunia memalingkan wajahnya dengan sejuta penolakan, mataku tak lagi
basah karenanya. Aku mungkin telah terbiasa, benar-benar telah terbiasa
dengannya.
Namun
bagiku tak mengapa, aku harus adil membagi diri untuk bahagia dan sedihku. Keduanya
adalah satu yang membentuk aku. Bagiku tak mengapa, sungguh tak mengapa.....
Sepi itu hanya sebentar karena setiap kali q bsa membuat keributan hahahahaha
ReplyDeleteini sepi yg beda, lebih sepi dari sepi yg biasanya.. hahhaaa
ReplyDelete