Skip to main content

Sebuah batu untukmu


Aku tak pernah baik, dan takkan pernah ‘terlihat’ baik dimatamu. Bukannya aku suka membantah ucapanmu, hanya kadang otak bebalku tak sejalan dengan argumenmu. Maka yang terjadi adalah penyangkalan ini itu dariku, dan jelas kau tak pernah suka akan hal itu.

Sering kau katakan kepalaku ini terbuat dari batu, bukan? Yah..memang benar aku begitu keras kepala dalam beberapa hal. Terutama dengan ketidak-legaaan hati yang selalu kau biarkan mengambang. Ada hal yang tak cukup diendapkan dengan kata ’nanti’, atau ’lihat saja’. 
Bukankah segalanya bisa berubah secepat kedipan mata kita? 
Lantas kenapa kau selalu begitu percaya diri dengan keyakinanmu yang masih sering goyah diombang-ambing beberapa masalah? Karenanya aku selalu membantah, dan terlihat berkepala batu.

Semua kelembutan-wanitaku seolah sirna dimatamu. Tidakkah kau berpikir bagaimana perasaanku ketika kau ucapkan itu dihadapanku?

Aku tak ingin menghakimi dirimu seperti ini. Hanya saja  sudah tak ada satupun bahasa kebaikanku yang bisa merubah persepsimu tentangku kini. Tak satupun. 
Puluhan kali aku berusaha meyakinkanmu, namun selalu penolakan yang ku dapat. Mereka bilang sebaiknya aku harus bersabar... namun nyatanya reaksiku selalu barbar.

Ketahuilah, sayang, keinginan terbesarku adalah membahagiakanmu. Namun nyatanya cinta tak selamanya membahagiakan.
Seperti potongan puzzle yang dipasangkan tidak pada tempatnya, tak akan pernah selaras gambar pada puzzle tersebut. Cintaku pun mungkin salah tempat. Aku memasangkan potongan cinta pada susunan yang tak tepat. Perbedaan demi perbedaan yang selalu kau besar-besarkan membuat segalanya menjadi semakin rumit.

Akh, kalau saja kau mau sedikit berlelah bersamaku dalam usaha untuk memperbaiki keadaan ini, mungkin tak akan begini jadinya.

Tapi yasudahlah. Aku dan kamu memang berbeda. Aku batu dan kau selalu menjadi air untuk dirimu sendiri. Aku hanyalah sepotong tulang rusuk entah milik siapa. Aku akan terus bengkok jika kau tak berusaha meluruskanku. Namun jika kau terlalu memaksaku untuk menjadi lurus sesuai dengan keinginanmu, aku akan patah dan tersakiti juga.

Tulisan ini takkan pernah kau baca... sampai kapanpun kau takkan pernah tau isi hatiku yang sebenarnya. Jika kebahagianmu yang selalu aku usahakan adalah dengan ketiadaanku dalam hidupmu, aku akan pergi walau sakitku bukan main hebatnya. Kalau saja kau tau bagaimana aku menyayangimu, ..namun kau takkan pernah tau.

Nanti, pada saat aku bahagia dengan hati yang lain, aku hanya akan mengenangmu sebagai sebuah pelajaran tentang bagaimana menjadi batu berharga untuk pasanganku nanti. ...................... 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai