Skip to main content

Ar-Rahmaan

Aku mempunyai seorang kakak laki-laki yang namanya serupa dengan salah satu surat dalam Al-Qur’an, yaitu Ar-Rahmaan. Dia, sosok kakak yang sangat penyayang, persis seperti makna dibalik namanya itu. Mungkin benar yang orang-orang katakan, kalau nama adalah do’a bagi pemiliknya. Maka tak salah jika Ayah dan Ibu memilih nama itu untuk kakakku tersayang.
Usiaku dan usianya terpaut cukup jauh, lima belas tahun kalau tak salah kuhitung. Namun begitu, aku sangat dekat dengan kakak laki-lakiku yang bernama Rahman itu. Dan aku begitu menyayanginya dengan segenap hati.
Kamu tau? Kakak laki-lakiku yang bernama Rahman itu sangat gagah orangnya. Tubuhnya tinggi  kekar, hasil dari banyak berolahraga dan seringnya menyabit rumput untuk pakan ternak-ternak kami. Alisnya hitam lebat dengan sorot mata yang tajam. Bibirnya sedikit tebal, dan hidungnya mancung. Walaupun kulitnya legam, dia terlihat lumayan tampan.
Aku ingat saat usiaku sembilan belas tahun, disuatu siang yang terik tiba-tiba saja aku jatuh  pingsan. Dan kakak laki-lakiku yang bernama Rahman itu dengan sigap menggendongku dibahunya dengan sebelah tangan. Dimataku, dia seorang laki-laki yang kuat, terlebih lagi dia adalah seorang yang begitu perhatian. Dia, begitu persis seperti mendiang ayah kami. Gagah, berani, dan keras kepala. Karena itulah setiap kali melihatnya, kerinduanku pada mendiang ayah dapat sedikit terobati.
Tapi taukah kamu? Kalau kakak laki-lakiku yang gagah dan kuat itu ternyata bisa tumbang oleh penyakit yang diam-diam menyerangnya dengan curang. Penyakit  itu bersembunyi sejak usianya menginjak angka belasan,  merusak sebelah ginjalnya saat kakakku lengah. Dan tak lama kemudian penyakit itu  melumpuhkan sebelah ginjalnya lagi. Aku bahkan tak dapat membayangkan bagaimana keras usaha kakakku saat melawan penyakitnya itu, betapa sakit yang Ia rasa saat itu. Namun begitu, Ia tetap terlihat kuat dimataku.
Aku ingat saat tubuh kekarnya terbaring lemah di ranjang rumahsakit. Ada banyak selang yang menancap di tubuhnya itu. Ada yang dimasukkan dari hidung, dari mulut, dan ada juga selang yang dimasukkan kedalam tubuhnya  dengan cara melubangi dadanya. Melihat itu saja aku tak sanggup. Aku tau kakaku sangat kuat, tapi dengan keadaan seperti itu, apa lagi yang dapat dia lakukan?
Saat aku menulis catatan ini, aku berharap kakak laki-lakiku yang bernama Rahman itu duduk bersamaku. Aku ingin menulis semua yang dia ucapkan. Aku ingin mendengar suaranya lagi. Dan lebih dari itu semua, aku ingin melihat sosoknya lagi..dengan senyum itu, dan semua kelakar yang kerap ia lontarkan untuk membuatku tertawa.
Lalu ku dengarkan lantunan Surat Ar-Rahmaan dari pemutar musikku. Ku dengarkan berulang-ulang sembari menumbuhkan semua ingatan yang tertinggal dimasa yang sudah-sudah. Ingatan-ingatan tentangnya yang membuat jemariku bergetar saat menulis catatan ini, entah karena rindu.. atau karena suara lantunan ayat-ayat-Nya ini terdengar begitu syahdu.
Kakak laki-lakiku yang bernama Rahman itu sekarang sudah pergi. Kau tau? Pada akhirnya Ia menang melawan penyakit itu. Ia kalahkan semuanya dengan seluruh kekuatan yang tersisa pada nafas terakhirnya. Kau tau kenapa aku bisa berkata demikian? Itu karena aku melihatnya tersenyum saat itu, saat dokter yang merawatnya berkata kalau nyawa kakakku sudah tak tertolong lagi.
Ditelingaku, kata-kata dokter itu lebih terdengar sebagai ucapan selamat karena pada akhirnya kakakku yang tampan berhasil lepas dari peluk penyakitnya itu. Dan piala atas kemenangannya itu harus Ia ambil sendiri ditangan Tuhan. Kata orang-orang yang datang melayat sih pialanya ada di syurga, karena tiket untuk menuju kesana telah digenggam oleh kakakku sejak lama, yaitu kesabaran yang luar biasa saat berjuang melawan sakitnya itu.
 Ia pun pergi dengan tenang. Ia tersenyum damai dengan bibirnya yang dengan cepat berubah pucat, dan tangannya bersedekap meniru gerakan shalat. Ia terlihat begitu bahagia untuk menyambut piala yang pada akhirnya Ia menangkan. Dan kakakku yang bernama Rahmaan itu, kini telah benar-benar pulang.


“Fabiayyi aalaairobbikumaa tukaddzibaan..”


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk seorang teman yang sedang bersedih ;)

Akan ada saat dimana kamu merasa begitu rapuh, bahkan terlalu rapuh untuk sekedar membohongi diri bahwa kamu sedang baik-baik saja. Air mata itu tak dapat lagi kamu tahan dengan seulas senyum yang dipaksakan, hingga pada akhirnya wajahmu akan membentuk ekspresi bodoh dengan mata yang berulang-kali mengerjap demi menahan bulir-bulir air yang hendak membanjir dipipi, lalu mengalir kedasar hati. Itulah saatnya kamu untuk berhenti berlagak kuat. Akui saja kalau kamu sedang kalah, kalah pada penguasaan diri yang biasanya selalu kau lakukan dengan baik. Kadang, terus-menerus menipu diri dengan berkata bahwa kamu baik-baik saja -padahal kamu remuk-redam didalam- malah akan semakin membuatmu terluka. Lepaskan… tak perlu lagi kau tahan, Suarakan, untuk apa kau bungkam? Tunjukkan! Tak perlu lagi dipendam… Jujur pada diri sendiri adalah wujud penghargaan paling tinggi pada diri sendiri. Kamu tau? Walaupun seluruh dunia memalingkan wajahnya darimu, ketika kamu   jujur ...

Ini ceritaku, apa ceritamu?

Berawal dari kebencian saya terhadap sayur pare, saya jadi sensitive mendengar segala sesuatu tentang jenis sayuran tersebut. Entah apa dosa pare terhadap saya, kebencian saya terhadap sayur imut tersebut seolah sudah mendarah daging dalam diri saya sejak kecil. Tidak ada alasan mengkhusus mengapa saya begitu menaruh sikap antipati terhadap pare. Mungkin hanya karena rasanya yang sangat pahit dan penampilannya yang kurang menarik minat saya. Lagipula tidak banyak makanan olahan yang dihasilkan dari sayur pare, tidak seperti kebanyakan sayur lain seperti bayam yang juga tidak begitu menarik minat saya, tapi kemudian menjadi cemilan favorit saya ketika penampakannya berubah menjadi keripik, yang lebih tenar dengan nama ’keripik bayam’. Terlepas dari kebencian saya yang mendalam terhadap pare, ternyata diam-diam saya merasa penasaran terhadap sayur tersebut. Apalagi melihat kakak saya sendiri yang sangat menggemari sayur tersebut. Apakah rasa pare yang begitu pahit tersebut sangat w...

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memera...