Skip to main content

Kado Terindah


Dua puluh tiga tahun yang lalu, pada tahun 1990 di bulan Mei ayah dan ibu saya lagi-lagi mendapat kado terindah dari Tuhan. Adalah berupa bayi mungil nan lucu juga menggemaskan yang kebetulan merupakan saya sendiri yang kala itu lahir kedunia hehehe.. Saya terlahir dengan sambutan hangat dari kedua orang tua beserta enam kakak saya yang lainnya. Dengan lahirnya saya, maka secara resmi ayah dan ibu memiliki tujuh orang putra dan putri, dan saya adalah bungsu yang beruntung karena terlahir diantara keluarga hebat ini.
Inaz, begitulah mereka memanggil saya. Nama kecil yang mulai akrab ditelinga sejak pertama kali saya dapat mendengar dengan jelas. Sebuah nama yang diambil dari nama Ayah, yaitu Nazaruddin, sedangkan nama saya sendiri adalah Nazria. Untuk lengkapnya kalian bisa lihat KTP saya nanti..hahhaha
Menjadi bungsu bukan berarti saya tumbuh dengan berlimpah keistimewaan dari keluarga saya, tidak. Kami semua diperlakukan sama. Rata. Adil seadil-adilnya. Baik sulung, maupun kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan saya sendiri tumbuh dibawah didikan keras dari Ayah. Beruntung, sikap keras ayah diimbangi oleh kelemah-lembutan ibu yang menentramkan. Namun jangan salah, bila Ibu sedang sangat marah, Ibu bisa jauh lebih menyeramkan daripada ayah. Dan saya, adalah anak yang paling takut bila ibu sedang marah.
Pernah, suatu hari saya kecil yang penasaran dengan cara ayam bertelur, dengan isengnya memasukkan secara paksa sebuah telur kedalam lubang anus induk ayam yang sedang tidur hingga telur tersebut pecah dan cangkangnya (mungkin) melukai pantat ayam tersebut. Terang saja, induk ayam tak bersalah itu pun seketika murka dan mengejar saya kemanapun saya berlari. Ibu yang melihat tragedi itu bukannya membela saya dan memarahi ayam jahat tersebut, malah memarahi saya habis-habisan karena kurang kerjaan mengusik ketenangan induk ayam yang memang menjadi ganas pasca bertelur itu. Saya pun menangis. Dan induk ayam tersebut terlihat sangat dendam pada saya. Sejak saat itu hubungan saya dan ayam yang semula baik tiba-tiba menjadi renggang. Tiap saat kami bertemu, ayam tersebut seketika menjadi kalap kesetanan dan berlari mengejar-ngejar saya lagi. Dan saya pun menangis lagi.
Kalau saya pikir-pikir, saat itu ibu marah besar hanya karena Ia takut terjadi apa-apa pada saya. Bayangkan saja, tubuh saya yang montok kecil dan hanya mengenakan selembar celana dalam bergambar hello kitty harus berlarian kesana-kemari dikejar induk ayam yang begitu murka, yang dengan penuh nafsu berusaha mematuk bokong saya habis-habisan saat itu. Jelas saja ibu khawatir. Dan sejak saat itu, saya tidak pernah mau dekat-dekat lagi dengan ayam. Saya trauma... pada ayam, dan pada raut marah ibu.
Beda lagi dengan kedua abang saya. Di usia belasan, adalah hal yang wajar bagi sesama saudara kandung, terlebih sesama lelaki berdebat hingga berantem untuk hal-hal yang tidak penting. Ayah yang pendiam sangat jarang marah-marah. Biasanya, cukup dengan diamnya tersebut kami mengerti kalau ayah tidak suka dengan apa yang kami lakukan. Namun kali itu agaknya menjadi siang yang naas bagi kedua abang saya.
Hanya karena meributkan hal kecil, kedua abang saya tersebut berkelahi dengan sengit dihalaman rumah. Saling tonjok, saling tendang, cakar dan semua ilmu karate terpendam mereka keluarkan satu persatu. Saat itu ibu tidak berada dirumah, hanya ada saya dan seorang kakak perempuan saya yang saat itu berusia 12 tahun. Dan yang kami lakukan adalah menonton, sembari sesekali menyemangati salah-satu yang terkuat diantara mereka. Sampai akhirnya Ayah datang dan mengubah alur pertandingan sengit itu dengan cepat.
Tanpa banyak bicara, ayah turut menyaksikan perlkelahian tersebut. Saya dan kakak perempuan saya yang sedari tadi berteriak-teriak menyemangati pun mendadak diam. Beberapa menit berlalu, kedua abang saya yang bandel tersebut pun akhirnya menyadari kehadiran ayah. Dengan raut wajah yang mendadak pucat, seketika mereka berangkulan, akrab, dan terlihat awkward. Kata ayah, ’kenapa berhenti? Ayo teruskan! Atau mau diteruskan di lapangan?’ kedua abang saya pun jatuh dalam diam yang semakin dalam. Kepala mereka tertunduk, dan terlihat salah seorang dari mereka meneteskan air mata. Dan beberapa saat kemudian tangis mereka berdua pun pecah, ’maafin kami, Yah............’ kata mereka disela raung tangis yang kian menjadi-jadi karena kediaman ayah yang saat itu marah. Scene selanjutnya dari rangkaian kejadian itu adalah mereka berdua dibebankan tugas untuk membersihkan kandang sapi disamping rumah kami, selama seminggu penuh dan tanpa upah. Begitulah, setelah efek jera yang diberikan ayah pada kedua abang saya itu, mereka berdua tidah pernah ribut lagi, setidaknya tidak bila ada ayah atau ibu dirumah. Kalaupun harus berkelahi, mereka berdua lebih memilih untuk melakukannya diam-diam di kebun, dan kembali pulang dengan senyum merekah seolah tak pernah terjadi apa-apa. hahhaha
Namun dibalik sikap kerasnya itu, sebenarnya Ayah kami adalah sosok yang sangat menyayangi kami anak-anaknya. Tidak dengan materi yang berlimpah, melainkan dengan didikan keras yang sampai saat ini sangat kami syukuri. Ayah tidak pernah begitu saja mengabulkan permintaan kanak-kanak kami. Harus dengan melakukan sebuah usaha, entah itu dengan menimba air di sumur, menyapu halaman, atau memberi makan dua ekor sapi dan beberapa ekor kambing yang Ia pelihara barulah kami mendapatkan apa yang kami inginkan.
Ayah tak memberikan apapun dengan cuma-cuma, bukan karena Ia pelit, tidak. Melainkan karena Ayah ingin kami tumbuh dengan menghargai rezeki yang kami dapatkan. Ia ingin kami belajar berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang kami mau. Dan begitulah, hingga saat ini, didikan ayah tersebut sangat kuat melekat dalam keseharian kami. Bahwa tidak semua keinginan harus tercapai, kecuali jika kita benar-benar mengusahakannya. Sembari berusaha, do’a pun tak boleh terputus dari tiap hela nafas kami. Begitu kata ayah.
Soal ibadah pun demikian. Sejak kecil ayah dan ibu begitu keras dan tak ada tawar menawar untuk urusan ibadah. Begitu bedug terdengar dari mushalla yang berada di dekat rumah kami, kami semua sudah harus berangkat untuk shalat berjamaah di mushalla tersebut. Jika kebetulan pada waktu shalat salah satu dari kami berada diluar rumah, maka shalat boleh kami lakukan di mushalla kecil milik kami sendiri sesampainya kami dirumah. Dengan cara itu, ayah dan ibu mengajarkan kami tentang bagaimana mengahargai waktu, dan bagaimana cara mendisiplinkan diri sendiri. Dan sampai sekarang, tidak hanya dalam hal shalat, semoga saja dalam hal lain kami semua dapat menerapkan disiplin tersebut sesuai dengan apa yang orang tua kami ajarkan.
Tak henti-hentinya, tiap saat ada kesempatan untuk bicara, yang selalu mereka tekankan pada kami adalah hakikat hidup kami sebagai manusia yang sejatinya adalah makhluk Allah yang takkan dapat melakukan apapun tanpa izin-Nya. Dalam tiap hela nafas kami, kesadaran tentang adanya Allah SWT yang selalu mengawasi gerak-gerik kami membuat kami sangat takut untuk berbuat curang secara diam-diam. Saya ingat dulu ketika saya diam-diam makan permen padahal ibu melarang keras saya memakan manisan aneka rasa tersebut karena batuk, abang saya yang ketiga berkata 'Biarin ibu nggak tau, tapi Allah liat kalo kamu nggak nurut kata ibu. dosa loh! sini bagi permennya..' entahlah, itu merupakan situasi yang agak sulit untuk didefinisikan dalam kategori mengingatkan, atau sekedar bentuk intimidasi pada saya yang tak tahu apa-apa dan sangat takut dengan 'mata' tuhan yang selalu mengawasi tingkah laku saya saat itu, dan bahkan sampai detik ini. 
Sekarang saya bukanlah anak kecil lagi. Semua saudara saya yang lain pun sudah berumah tangga masing-masing, kecuali saya sendiri yang masih single hahhaha. 
Beruntung saya masih berkesempatan sepenuhnya untuk merawat kedua orang tua saya selagi saya masih mampu. Namun takdir berkata lain, Ayah saya yang pendiam namun sangat penyayang itu telah lebih dulu berpulang meninggalkan ibu, saya dan saudara-saudara lainnya. Duka yang mendalam itu masih kental terasa, walaupun detik ini, meninggalnya ayah telah berlalu empat tahun lamanya. Kemudian satu tahun lalu, pada tanggal 19 September abang ketiga saya pun berpulang kerumah-Nya karena penyakit gagal ginjal yang telah lama di deritanya. Duka kembali menyelimuti keluarga kami. Namun kenangan tentang mereka akan selalu hidup dalam hati kami masing-masing, terucap ataupun tidak, cinta kami kepada mereka masih sama besarnya.. bahkan lebih banyak dari hari-kehari. Dan semua yang Ayah ajarkan kepada kami dulu akan tetap kekal sampai kapanpun, sampai batas usia kami hidup di dunia. Dan akan terus menerus kami ajarkan pada anak-anak kami kelak. 
Tak terasa sudah dua puluh tiga tahun saya hidup. Kehidupan dewasa yang pasang surut kadang membuat saya begitu rindu untuk dapat kembali ke masa kanak-kanak. Masa yang penuh dengan hal-hal baru. Belajar memasak dengan kakak perempuan saya, sekaligus belajar memanjat pohon mangga dengan abang-abang saya. Namun, tiap saat saya melihat jauh kedalam mata ibu, seketika saya hunus kuat-kuat segala keinginan untuk kembali kemasa yang sudah-sudah. Mata ibu hanya terus bercerita sesuai alur waktu yang mengalir kedepan, bukan lagi menentang arus untuk ngotot kembali ke belakang.
Jika nanti pada saatnya tiba saya melahirkan putra dan putri dari rahim saya sendiri, saya tak akan segan bercerita tentang masa kecil saya yang terlahir sebagai bungsu dari rahim ibu terhebat, ayah terkuat, dan saudara-saudara super yang pernah saya miliki. Jika pada saat itu tiba, Tuhan, izinkan ibu saya tetap sehat untuk berada disisi kanan saya dan menyaksikan sendiri bagaimana saya menikah dan bermimpi mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang ibu sepertinya. Semoga.
Terimakasih Tuhan, untuk sebuah keluarga sederhana ini. Mungkin lahirnya kami adalah kado terindah bagi kedua orang tua kami, namun jauh di lubuk hati kami, kami lah yang merasa mendapatkan kado terindah karena memiliki kedua orang tua seperti mereka. Terimakasih Ya Allah.. sehatkanlah mereka selalu, sayangilah mereka selalu melebihi kasih sayang yang tak habis-habis mereka curahkan untuk kami, anak-anak yang selalu mencintai mereka sepanjang masa. Aamiin.


*nb: sebenarnya saya ingin menyertakan beberapa foto, tapi sayang foto masa kecil kami tak banyak yang tersisa karena peristiwa kebakaran yang melalap habis rumah kami tahun 2000 lalu :(

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..