Skip to main content

Cerita Pada Sepotong Senja


serpih senja yang tercecer itu berkisah tentang dia yang selalu menjadi matahariku.....

Tak banyak yang dapat ku katakan ketika ayah memalingkan wajahnya dan kemudian pergi menjauh dari tempatku berdiri. Ku pandangi punggungnya dengan teliti. Ada lipatan kecil pada kerah kemeja lusuh yang ia kenakan. Dan pada ujung celananya, ada noda lumpur yang enggan dibersihkan walau telah di cuci berkali-kali. Begitulah ayah, selalu kurang hati-hati memeriksa pakaiannya saat hendak beranjak pergi. Biasanya dengan sigap ku rapikan kemejanya, kemudian ku cium tangannya sebelum benar-benar melepasnya pergi.
Ayah adalah seorang yang tak banyak bicara. Sore hari sepulang dari bekerja, ayah tak segera menghampiriku. Pertama-tama ia letakkan semua perkakas yang selalu dibawanya bekerja dengan rapi, kemudian segera Ia membasuh kedua kaki dan tangannya dibawah kucuran air yang mengalir dari kendi yang sengaja ia letakkan persis disisi pagar rumah kami. Setelah itu, barulah ia mau ku salami.
Ayahku yang pendiam sangat jarang memarahi tingkahku yang kerap membuat seisi rumah gaduh. Paling-paling ia hanya berpura-pura melotot kearahku, dan segera meraih tanganku untuk menjauhkanku dari omelan ibu. Diajaknya aku duduk di bale bengong disebelah kanan rumah, menikmati pisang goreng dan suara jangkrik yang sayup mulai terdengar mengantuk dikejauhan. Tanpa kata, tanpa cerita, rasanya malam bersamanya selalu ramai oleh celoteh diam kami berdua.

* * *

Sore telah pecah sedari tadi. Cakrawala pun telah pudar rona jingganya. Seperti halnya sore-sore sebelumnya, kali ini pun aku telah seiap menunggu ayah pulang dari tempatnya bekerja. Selang beberapa saat ayah yang ku nanti tak jua datang. Lama aku berdiri menantinya diambang pagar, sambil sesekali melongokkan kepalaku kalau-kalau siluet yang ku nantikan muncul dikejauhan. Namun nihil. Hingga rombongan burung gereja terakhir pulang kerumah mereka, ayah tak jua kembali.
Gelisahku membuncah. Ada rasa khawatir yang seketika menyergapku erat. Terasa dingin dan membuat tengkuk ku meremang, gamang. Berkali-kali ibu mengajakku masuk kedalam rumah, karena udara tak lagi ramah menyentuh kulitku yang sensitif. Sejak lahir aku memang tak pernah akur dengan udara malam, itulah mengapa ibu begitu rewel membatasi waktu bermainku dengan teman-teman, terutama saat hari menjelang malam. Namun kali ini aku bertahan, sampai ia yang ku nantikan benar-benar datang.
Benar saja, dari kejauhan kulihat bayang seseorang mendekat kearah rumahku. Ada letup girang dalam hati yang kusimpan diam-diam. Setengah berteriak, kupanggil ibu dan mengabarkan seseorang telah datang.

”Bu Aminah.. Bu Aminah!” teriak orang tersebut. Dalam keremangan cahaya dapat ku kenali wajah orang tersebut yang ternyata pak Made, rekan kerja ayahku di pabrik kaca.

Pak Made berlari tergopoh-gopoh menghapiri kami berdua. Tubuhnya yang gempal dan lehernya yang seperti melesak jauh diantara kedua bahunya itu terlihat kerepotan menyangkil dua ransel dekil berwarna abu-abu kecoklatan. Satu ransel disebelah kanan tentu miliknya sendiri, dan satunya lagi.. akh, itu ransel ayahku!
Dengan sabar dan dada yang dipenuhi tanda tanya ibu menunggu pak Made menuntaskan nafasnya yang ngos-ngosan setelah berlari sepanjang jalan dari pabrik hingga rumah kami. Namun rasa penasaranku terlontar begitu saja tanpa mampu ku tahan lebih lama.

”Ayah mana Pak Made?”

Pak Made tak langsung menjawab. Ditatapnya ibu dan aku lekat-lekat secara bergantian, dan setelah menarik nafas panjang barulah ia mau membuka mulutnya.

”Anu Bu, Pak Ahmad mengalami kecelakaan di pabrik. Beberapa lembar kaca yang telah siap dikirim jatuh dari truk dan menimpanya. Sekarang Pak Ahmad sedang dirawat di ICU, belum sadarkan diri.”

Keremangan senja tak menghalangi mataku untuk melihat betapa cepatnya perubahan air muka ibu yang seketika pias, pucat pasi. Tak ada yang membuat kedua lututku lemas, selain kalimat terakhir yang dilontarkan pak Made dengan terbata-bata barusan. Ayah belum sadarkan diri katanya? Tuhan, ku mohon.....
Tanpa berpikir lama, apalagi mengganti pakaian dengan yang lebih layak kami bertiga pun segera meluncur ke Rumah Sakit tempat ayah dirawat. Pada separuh perjalanan baru ku sadari kalau ibu tak memakai alas kaki, mungkin ia lupa, atau sengaja mengabaikan itu untuk segera melihat ayah yang katanya tengah terbaring tak sadarkan diri.

* * *

Rumah Sakit tempat ayahku dirawat tak begitu jauh dari rumah. Dengan berjalan kaki dan sesekali berlari selama kurang lebih 45 menit kami telah sampai disana. Ditempat tinggal kami, memiliki kendaraan seperti sepeda ontel  sudah merupakan kemewahan tersendiri, yang sayangnya belum dapat dinikmati oleh keluargaku. Bagi ayah, kelebihan uang yang kami simpan lebih digunakan untuk keperluan yang lebih penting daripada membeli fasilitas yang dapat memudahkan pekerjaannya, untuk biaya pendidikanku misalnya. Kerap kali saat malam menjelang tidur kudengar ayah bercakap dengan ibu, tentang besarnya keinginan ayah untuk melihatku sukses ketika aku besar nanti. Dengan bersemangat Ia merangkai sketsa bayangannya sendiri, membayangkan putri satu-satunya ini berdiri dengan gagah dan membuat mereka bangga dengan segala prestasi yang ku raih. Akh, ayahku yang pendiam selalu menjadi banyak bicara saat membahas masa depanku yang masih buram di pelupuk mata.
Kulihat Rumah Sakit ini tak sebesar Rumah Sakit yang kerap kulihat di sinetron saat aku menumpang nonton TV dirumah pak Kepala Desa. Di beberapa sudut, kulihat banyak flavon putih yang mulai berubah warna menjadi hitam kehijau-hijauan. Sarang laba-laba pun banyak terlihat bergelayut disana-sini. Di bangku, di kusen pintu, di dinding, bahkan diranjang tempat ayahku berbaring.
Ini pertama kalinya aku datang ke Rumah Sakit. Biasanya, saat wabah batuk pilek menyerangku, ayah langsung membawaku ke puskesmas tak jauh dari bangunan tua yang dua tahun ini menjadi sekolah tempatku mengenyam pendidikan sekolah dasar. Adapun putri sulung pak RT yang merupakan satu-satunya sarjana dikampung kami menjadi guru yang paling sabar membimbingku meraba huruf demi huruf untuk ku baca. Tanpa mengenal Rumah Sakit, puskesmas memang menjadi satu-satunya tempat berobat yang paling ramah dengan kantong ayahku yang kerap bolong di akhir bulan.
Begitulah. Dengan terbata-bata, kubaca papan putih diujung ranjang tempat ayahku berbaring. Tertera disana nama ayahku yang baru ku ketahui kalau usianya telah menginjak 56 tahun. Tepat dibawah nama dokter yang merawatnya, terdapat tulisan ’Tanpa Askes’ yang tak ku mengerti apa maksudnya.

Ayah yang selalu tampak sehat terlihat begitu lemah terbaring diatas ranjang itu. Nafasnya putus-putus. Pada perban yang membebat kepala hingga wajahnya terlihat bercak darah segar. Dan juga pada lengan dan kakinya, hampir seluruh tubuh ayah tak luput dari bebatan perban. Ibu menangis, pak Made terdiam, dan aku hanya dapat mengerjapkan kedua mata untuk membunuh kekosongan waktu, dengan tangis yang tercekat didalam kerongkongan.

* * *

2 minggu kemudian ayah diperbolehkan pulang. Selain beberapa lilitan perban yang masih betah menempel di pelipis dan bahunya, seluruh tubuh ayah telah dinyatakan pulih dari sakitnya. Sebelum pergi dokter telah mewanti-wanti ayah agar selalu berhati-hati dalam bekerja dan memilah-milih makanan yang dapat masuk kedala tubuhnya. Seandainya saja dokter itu tahu betapa tak banyak pilihan yang dapat kami pertimbangkan untuk dimakan dan disisihkan. Tapi itu bukanlah hal terpenting untuk diketahui banyak orang, cukup amin-I saja semua perkataan dokter itu agar kami bisa segera pulang. Dan sambil menunggu ibu menyelesaikan proses administrasi, aku duduk di bangku lusuh penuh kelabang disudut rumah sakit dekat dengan pintu keluar, dengan ayah duduk disebelahku, masih dengan diam yang sama seperti biasanya.
Tak lama berselang ibu keluar dari ruang administrasi. Binar ceria yang sempat hinggap sekejap dimatanya perlahan meredup. Selembar kertas ditangannya bergetar. Raut kecewa, sedih dan marah yang sukar dijabarkan dengan kata tergambar jelas diwajah cantiknya yang terlihat begitu lelah. Tanpa perlu bertanya, ayah seperti telah mafhum musabab muramnya wajah ibu yang tiba-tiba itu.
10 juta. Angka yang tertulis pada selembar kuitansi penyebab muramnya ibu. Tak dapat kubayangkan berapa banyak uang tersebut. Pastilah jumlah yang sangat sangat banyak hingga membuat kedua orangtuaku yang miskin ini kalang-kabut. Namun dengan tatapannya yang teduh, ayah berhasil menentramkan kegelisahan hati ibu. Dan setelah dua jam dirumitkan dengan proses administrasi Rumah Sakit yang berbelit-belit, kami pun akhirnya pulang. Dengan separuh perasaan senang, dan separuhnya lagi gamang, menyandang status baru sebagai pemilik hutang sebesar 10 juta pada Rumah Sakit yang baru dua minggu ku kenal itu.

* * *

Pada suatu pagi di bulan Agustus beberapa bulan setelah kejadian itu, pagiku yang tenang dikejutkan oleh suara nyaring di halaman rumah, terdengar seperti sesuatu yang pecah. Disusul dengan teriakan panik ibu dan suara larinya yang tergopoh-gopoh menuju halaman rumah. Dengan mata setengah mengantuk, kulihat ayah tergeletak basah kuyup di tanah, dan beberapa serpih pecahan kendi berserak disisi kanan-kirinya.
Ibu yang panik segera membopong ayah kedalam rumah. Kulihat ayah meringis menahan sakit. Tangan kirinya erat menggenggam lengan kanannya yang lunglai seakan tak bertulang. Ayahku lumpuh. Stroke yang lama ia abaikan sepertinya datang terlalu pagi kali ini. Setelah jemarinya yang mati rasa karena kecelakaan ditempatnya bekerja beberapa bulan lalu, sepertinya kali ini ayah harus ikhlas merelakan tangan kanannya menjadi lumpuh akibat serangan stroke yang begitu tiba-tiba ini.

Terhitung sudah 6 bulan ayah berhenti bekerja. Ibu yang biasanya selalu berada dirumah sepanjang hari kini mulai jarang kulihat, kecuali saat aku baru bangun tidur dipagi hari dan saat hendak kembali tidur di malam hari. Lumpuhnya tubuh sebelah kanan ayah mau tak mau mengharuskan ibu bekerja demi memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Belum lagi beban hutang 10 juta pada Rumah sakit yang kian hari kian terasa berat di pundak kedua orang tuaku ini. Apalagi dengan ditambahnya kelumpuhan tangan ayah, tampaknya kali ini Ibu benar-benar harus mengencangkan ikat kepalanya untuk menghidupi kami.
Pagi hari ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga dirumah juragan sayur yang memiliki lahan paling banyak di desa kami. Namanya Pak Prayoga. Segala pekerjaan rumah tangga ia lakukan. Mulai dari memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah hingga mengurus 4 ekor sapi yang dipeliharanya. Beruntunglah ibu memiliki juragan yang begitu baik. Pada beberapa kesempatan, juragan yang merupakan orang Jawa asli tersebut memperbolehkan ibu membawa beberapa jenis sayuran sisa yang tak terjual dihari sebelumnya. Dan pada kesempatan lain, ibu diperbolehkan membawa makanan yang telah dimasak untuk segera kami santap dengan sangat nikmat.
 Dan sore hari, sekitar pukul 3 saat semua pekerjaan telah rampung ibu segera berkeliling menjajakan aneka kue-kue basah milik tetangga, tak hanya di kampung kami, ibu juga berjalan berkeliling di kampung-kampung sebelah yang berjarak berkilometer dari rumah kami.
Dengan penghasilan sebesar 400 ribu termasuk hasil menjajakan kue tersebut ibu berusaha memenuhi kebutuhan kami bertiga. Aku, ibu dan ayah. 100 ribu untuk segala keperluan kami yang terpaksa di-pas-kan dengan menekan kebutuhan disana-sini, dan 300 ribu sisanya masuk kedalam catatan hutang 10 juta kami di rumah sakit. Begitulah kami melalui hari-hari selama kurang lebih 2 tahun ini. 2 tahun penuh perjuangan bagi ibuku, dan 2 tahun penuh penyesalan bagi ayahku. Menyesal tak mampu berbuat banyak bagi keluarga ini tentunya.

* * *

Entah bagaimana, segala kerumitan hidup kami tak kunjung memudarkan senyum diwajah kedua orang tuaku yang perlahan mulai beranjak menuju tua ini. Banyaknya keriput disana-sini bahkan tak menjadikan mereka terlihat renta, malah membuatku tenang dan merasa aman menjalani hari-hari. Mereka selalu percaya bahwa dibalik segala kesusahan ini, Tuhan telah menyiapkan segala kebaikan untuk kami didepan sana. Entah bukan untuk kami nikmati saat ini, namun suatu saat nanti janji-Nya selalu pasti ditepati. Begitulah keyakinan yang selalu diamin-i kedua orangtuaku dalam tiap sujud-sujud mereka ditengah malam.
Usiaku kini telah menginjak 16 tahun. Satu tahun lagi, jika tuhan mengizinkan aku akan segera lulus dari bangku SMA. Sudah sejak lama, sejak aku mengerti betapa sulitnya hidup kami, ku kubur dalam-dalam mimpiku untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Cukuplah lulus SMA dan mencari kerja yang mapan, dan membiarkan kedua orangtuaku beristirahat menikmati hasil kerjaku nanti. Dan menikah? Aku belum dan tak pernah membayangkan kapan aku akan siap meninggalkan kedua orangtuaku dan hidup dengan sebuah keluarga baruku nantinya. Yang ada dalam kepalaku adalah bagaimana caranya untuk mempertahankan peringkat 1 ini sampai aku lulus nanti, agar beasiswa dari sekolah tak beralih ketangan oranglain.

* * *

Sejak kecil aku tahu kalau ayah pintar menggambar. Selalu saat ku minta ia menggambar awan, ia lantas menggambarnya dengan apik. Tak hanya awan, Ia bahkan menambahkan gunung dan pepohonan, juga persawahan dengan bonus matahari terbit disudut gambarnya. Di akhir gambarnya, ia selalu membubuhkan inisial namaku. Kelak jika ayah menjadi pelukis terkenal, maka ia akan terkenal dengan namaku, begitu yang ia katakan setiap saat menyelesaikan gambarnya. Beberapa sketsa ayah bahkan masih betah menempel menjadi penghias dinding kamarku yang terbuat dari triplek tipis yang sudah ditambal disana-sini karena bolong dimakan rayap.
Suatu hari pak Made mampir kerumah kami. Sejak pabrik kaca tempat Ia dan ayahku bekerja bangkrut, Ia pindah keluar kota, mengadu peruntungannya di tanah jawa. Melihat penampilannya sekarang, sepertinya Ia telah menjadi orang kaya. Yang tak berubah darinya hanya tubuh gempal dengan raut wajah yang selalu terlihat kasihan, dan kebaikan hatinya yang selalu membuat ayah tak segan membantunya kapanpun Pak Made meminta pertolongannya.
Setelah mengobrol panjang lebar tentang susah-senangnya selama berjuang di tanah rantau, tatapan pak Made tiba-tiba tertumbuk pada satu-satunya lukisan Ayah yang tergantung di salah-satu pilar bale bengong kami. Sebuah lukisan yang dibuat ayah saat usiaku 7 tahun. Dengan tangan kiri yang berkali-kali gagal mencipta rupa dari buah imajinasinya, akhirnya pada suatu pagi dengan bangga ayah memamerkan lukisan itu didepanku dan ibu. Kami berdua sangat terharu. Lama setelah tangan kanannya lumpuh, baru kali itu kulihat ayah begitu senang dan bahkan tertawa-tawa puas melihat karya perdana tangan kirinya itu. Ayahku memang terlahir dengan penuh bakat.
Tanpa basa-basi pak Made lantas menawarkan diri untuk meminjam lukisan tersebut untuk dibawanya ke Jogjakarta. Pak Made sendiri terlahir ditengah keluarga seniman. Ayahnya adalah seorang pemahat patung dan berbagai ukiran, sedangkan ibunya adalah seorang penari Bali yang kini telah memiliki sanggar seni dengan 12 orang murid bimbingannya. Akan tetapi, bakat seni tersebut tak lantas mengalir dalam tubuh pak Made, Ia lebih sukses menekuni bidangnya sebagai pemasar hasil kerajinan ayah dan kerabatnya di gallery yang Ia dirikan di Jogjakarta.
Pak Made pun kemudian membawa lukisan ayah. Itupun dengan berulang kali meyakinkan ayah kalau lukisan tersebut akan baik-baik saja ditangannya. Akhirnya, dengan berat hati ayah terpaksa mempercayakan karya apiknya tersebut ditangan sahabatnya untuk dicoba peruntungannya. Barangkali ada seseorang yang mau meliriknya dengan harga ratusan ribu..
Entahlah, aku selalu betah memandangi lukisan tersebut berlama-lama. Lukisan tersebut terkesan sepi. Hanya ada warna jingga, matahari yang terbenam dan siluet seorang anak kecil yang semakin mengecil ditelan bayang senja. Namun kulihat seolah ada kata-kata yang bicara dalam tiap goresan kuas ayah. Seperti kata-kata penyemangat bahwa harapan takkan pernah pupus dihapus malam, sekalipun senja menjadi batas yang jelas diantara peralihan gelap dan terang, namun matahari akan selalu ada ditempat yang sama setiap hari. Entah itu dalam rupa sinarnya yang muda, terik saat siang, jingga tatkala senja maupun tak nampak saat malam, matahari akan selalu menyinari gelapnya kehidupan kami sesuai kodratnya, sebagai bentuk kuasa Tuhan yang selalu mengingatkan kami bahwa Tuhan selalu ada untuk kami, kapanpun kami butuhkan. Mungkin itulah yang membuatku sangat menyukai lukisan ayah tersebut.
Hingga beberapa bulan berselang sejak kunjungan Pak Made yang tiba-tiba itu, kami mendapat kabar bahwa lukisan ayah telah dibeli oleh seorang kolektor lukisan yang berasal dari Jerman, seharga 85 juta. Sejumlah angka fantastis yang tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak ayahku. Untuk kedua kalinya kulihat ayahku menangis. Kata ibu, ini ketiga kalinya ayah menangis, yang pertama adalah saat aku lahir 16 tahun yang lalu. Dan yang kedua adalah saat dengan sedihnya Ia harus membiarkan istri yang begitu dicintainya itu membanting tulang demi menyambung kehidupan kami bertiga. Aku terharu, kami semua terharu. Seketika ayah tersungkur, mencium bumi agar bisiknya lebih cepat sampai pada Tuhan, walaupun Tuhan pastinya turut senang jauh sebelum ayah benar-benar menumpahkan syukurnya dalam sujud yang dalam.
Sejak saat itu ayah kembali mendapat semangat hidupnya. Hari-harinya lebih banyak tersenyum. Dan sesekali kulihat ayah termenung berlama-lama didepan kanvas kosong, mungkin sedang menunggu rupa yang tepat untuk menggambarkan betapa liar imaji yang menggelegak dalam ruang sadarnya. Perlahan namun pasti ia mulai melukis, dengan tangan kirinya.
Aktifitas barunya itu membuat ia menjadi jauh lebih pendiam. Dari kejauhan, kulihat ia akrab bercengkrama dengan kanvas berbagai ukuran lewat kuasnya, menoreh warna demi warna. Seolah buramnya hari-hari kami kembali cerah oleh se-lengkung pelangi yang tergambar jelas pada gurat-gurat wajah ayah. Aku memandangnya dengan haru, dengan diam yang kusimpan dalam hati. Dalam kediaman hatiku yang terdalam, berjuta syukur tanpa henti ku lafadzkan.. agar Tuhan taum betapa aku sangat berterimakasih karena telah membuat ayahku merasa berguna lagi, karena telah mengembalikan ayahku yang pendiam seperti sedia kala.

* * *

5 tahun kemudian ayah masih melukis, bukan lagi di bale bengong kami, melainkan di salahsatu ruang di gallery miliknya sendiri. Sebuah gallery yang namanya diambil dari namaku, Edda Titia Ellery yang berarti satu-satunya cahaya yang berkilau dimalam puitis.
Ya, dengan modal 85 juta itu pak Made mendorong semangat ayah untuk terus melukis lagi. Dan benar saja,  Vilhem Paxton, seorang kolektor Jerman yang terlanjur suka pada lukisan ayah itu selalu menanyakan perkembangan lukisan ayah tiap saat Ia berkunjung ke Indonesia. Belakangan, tak hanya datang ke gallery milik pak Made di Jogjakarta, Ia juga kerap mampir ke gallery kami di daerah Ubud. Sejak saat itulah, beberapa kolektor lain mulai berdatangan dan langsung jatuh cinta pada lukisan-lukisan ayah. Aku mulai tak asing dengan nama Kattrina Lyubov dari Rusia, Nadezhda Mischa dari Belanda, Raoul Simon dari Perancis, dan masih banyak nama lain yang kerap masuk dalam daftar tunggu yang selalu menanti lukisan-lukisan terbaru ayah.
Beberapa kali ayah kerap diundang untuk menghadiri pameran di beberapa negara yang sangat kental darah seni pada tiap penduduknya. Beberapa minggu ayah menginap di Roma, kemudian beberapa minggu depannya ayah sudah harus berada di Perancis. Begitulah, ayah memiliki kesibukan baru yang perlahan namun pasti mulai memperbaiki perekonomian keluarga kami. Dan ibu telah lama berhenti menjadi pembantu dirumah keluarga pak Prayoga, kesibukan barunya adalah menemani ayah kemanapun Ia pergi. Kembali menjadi istri yang seharusnya selalu berada disisi suaminya kemanapun sumainya pergi, sesuai dengan kodratnya, dan bukan bekerja memeras keringat demi menyumpal lambung-lambung kami yang lapar.
Sedangkan aku, aku kini sedang dalam proses merampungkan program Pascasarjana ku di Amsterdam School of the Arts, dan beberapa bulan lagi aku akan resmi menyandang gelar Master of Museology. Sebuah gelar yang semoga saja dapat memenuhi harapan-harapan ayah yang tergantung pada percakapannya dengan ibu bertahun yang lalu. Sebuah mimpi yang kupikir terlalu berkilau untuk dapat kutatap dengan kedua bola mataku yang kerap basah ini.
Namun siapa sangka, tangan Tuhan melukis hidupku dengan begitu apiknya. Segalanya terwujud bak magic yang berkilat dari ujung tongkat ibu peri, yang dengan sekali ayun semua simpul kerumitan hidup kami seketika terurai menjadi temali panjang yang kian mendekatkan kami pada cinta Tuhan. Rasanya kening ini selalu ingin tersungkur mencium bumi, sebagai tanda syukur tak terperi atas rasa bahagia kami, terimakasih Tuhan.

* * *

Pada musim hujan di bulan Desember aku kembali ke tanah air. Setelah transit di bandara Soekarno Hatta, Garuda kembali membawaku terbang ke tanah Bali. Tiba di Bandara Ngurah Rai aku langsung naik ke salah satu taxi dan segera meluncur ke kampung halamanku, di Ubud. Sengaja tak ku kabarkan berita kepulanganku ini pada Ayah dan Ibu, mereka hanya tau aku akan pulang bulan depan. Tapi siapa yang bisa menahan rindu lebih lama, jika Desember dapat menjadi moment yang terasa lebih syahdu untuk berbagi keharuan dengan ayah ibu.
Dari kejauhan, kulihat gubuk tua tempatku dilahirkan. Bangunan yang sama, namun berubah material penopangnya. Bukan lagi rumah triplek yang kerap bergoyang saat angin bertiup kencang, bukan pula atap jerami yang selalu bocor saat hujan menghantam. Bangunan dikejauhan itu kini berdiri kokoh, terbuat dari kayu jati dan beberapa bagian terbuat dari kayu mahoni. Ukiran disana-sini, nuansa coklat kayu yang hangat, beberapa kendi disudut-sudut halaman, juga damar-damar yang menempel dikedua sisi bagian depan rumahku, menambah kesan romantis pada bangunan tua ini.
Segalanya berubah, kecuali bale bengong itu. Disanalah kedua orang tuaku yang tak lagi muda duduk berhadapan. Raut terkejut diwajah mereka tak dapat disembunyikan lagi, dengan penuh rasa haru akupun menghambur kedalam pelukan mereka berdua. Senja mulai lelah, jingganya yang cerah kini hanya menyisakan keremangan berwana keemasan yang menyala kemerlap dikejauhan. Dan kami bertiga, berpelukan, menyatu menjadi satu siluet kecil yang seolah tenggelam dalam rengkuh kebahagiaan.


Jogjakarta, 3 Agustus 2013
23.10 WIB

*** TAMAT ***

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..