Skip to main content

biarkan kertas itu tetap kosong


Entahlah, berhadapan dengan kertas kosong selama lebih dari satu jam selalu membuatku frustasi. Ada begitu banyak hal yang ingin segera ku pahat diatas sebidang kertas ini. Kata demi kata tumpang tindih berusaha mencuri perhatianku, tampil menawarkan diri untuk menjadi yang terpilih sebagai awal dari segala rasa yang sedari tadi mendesak, melesak dalam hatiku, mencipta debar yang tak asing.. debar yang sangat ku kenali tiap saat berhadapan dengan kertas kosong, seperti saat ini.
Namun aku tetap merasa hampa. Hampa yang tak biasa. Hampa yang sering ku hadapi namun kini terasa berbeda. Lebih sakit, lebih membuatku luka. Tak ada satu hal pun yang lebih membuatku putus asa selain dihadapkan pada kehampaan putihnya kertas dihadapanku ini. Tak ada keinginan untuk membuka suara dengan lawan bicara, tak ada keinginan untuk berbagi cerita pada siapa saja. Aku memilih sendiri, menepi sejenak dari keramaian yang kian membuat dadaku sesak. Menyepi dari pekik hari-hari yang kian mencekik tubuh hingga tulang-tulangku.
Aku ingin menulis sesuatu. Sesuatu yang sedari tadi menggelitik perasaanku. Intuisi kemudian mempermudah segalanya, mengarahkanku secara alami dalam mempersiapkan segala senjata untuk bertempur dengan perasaanku sendiri. Namun nihil, aku babak belur sebelum sempat menyerang ide-ide liar yang berloncatan didalam kepalaku. Aku ditelanjangi oleh keinginanku jauh sebelum aku mulai mengukir sebuah kata pembuka diatas medan kertasku. Aku merasa dibodohi pikiran-pikiranku sendiri. Aku merasa ditipu mentah-mentah oleh intuisi yang selalu ku percaya sebagai bisikan ’baik’ yang mengarahkanku pada hal baik. Pada karya yang baik.
Adakah yang salah dari diriku?
Ku hitung kurang lebih sudah tiga kali jarum jam itu berlarian dari satu angka ke angka yang lain. Dentingnya terdengar seperti sebuah olokan akan ketidakberdayaanku melawan kebingungan yang merajai seluruh sistem kreatifitasku.
Dan sekali lagi, kata-kata mati dalam pelukan kebingunganku. Aku kehilangan kata-kata. Aku terjebak dalam kebingungan yang memenjaraku. Aku sangat ingin menulis. Ada banyak hal yang ingin ku tuang diatas kertas putih ini, namun nihil. Kertasku tetap tak tersentuh tinta perasaanku. Ia sama bisunya seperti jemariku. Menyempurnakan hampa yang kian mencekik diamku. Hampa yang sedari tadi ingin ku tuliskan bentuk rupanya, namun kalah segala kata dalam kepalaku karenanya. Akh, mungkin baiknya ku simpan saja hampa yang satu ini dalam kepalaku. Membiarkan segala kata beradu tumpang tindih satu sama lain hingga lelah menidurkan mereka pada akhirnya. Semoga. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai