Ibarat sebuah piring kaca yang retak, aku kini tengah berada diantara
setumpukan piring-piring kaca lain yang nyaris sempurna. Kehadiranku tenyata
melukai piring diatasku, dibawahku. Dan piring diatasku melukai kedua sisi
diatas dan dibawahnya, dan begitu seterusnya.
Semua luka itu berawal
dariku bukan?
Aku tak berdaya untuk
memisahkan diri dari tumpukan kesempurnaan itu. Apakah mereka pikir luka
ditubuh mereka yang ku beri tak juga melukaiku? Aku tak pernah tau luka siapa
yang lebih dalam. Aku tak pernah bisa menerka luka siapa yang lebih sakit dari
luka siapa, namun yang ku rasakan jauh melebihi kesakitan dari batas yang mampu
kurasakan.
Ingin pergi, tapi
kemana?
Ingin menghilang,
memangnya bisa?
Pada akhirnya yang
dapat ku lakukan hanyalah pasrah. Diam ditempat, tepat diantara tumpukan piring
kaca yang nyaris sempurna di atas dan di bawahku. Aku hanya sebuah piring kaca
yang retak. Kehadiranku hanya memberi luka. Hanya menggores kesempurnaan piring
lainnya.
Kepada Sang pemilik
piring-piring ini aku memohon.
Pada awalnya ku mohon
pada-Nya untuk menyingkirkanku dari tumpukan piring lainnya. Rasa lelah
dipersalahkan membuatku tak lagi betah berdiam diri lebih lama. Rasa letih
menanggung perih tak lagi membuat mataku berair, menangisi sedih yang menguasai
dada. Namun Dia tak menjawab do’aku, mungkin belum.. mungkin belum saatnya.
Kemudian aku memohon
pada-Nya agar segera memperbaiki keretakanku. Lelah sudah aku memikul rasa
was-was karena takut melukai piring lainnya lebih dalam lagi. Penat sudah
kepalaku memutar otak memikirkan cara untuk menghindari luka-luka baru yang
sewaktu-waktu dapat ku ciptakan lagi. Aku hanyalah piring bodoh yang berulang
kali membuat kesalahan yang sama. Namun Dia masih belum menjawab permintaanku
jua. Mungkin belum....mungkin masih belum waktunya.
Hingga pada akhirnya
aku benar-benar t’lah sampai pada batas dayaku, aku memohon lagi pada-Nya. Namun
kali ini yang ku pinta bukan untukku sendiri, melainkan untuk mereka. Aku
memohon pada Sang pemilik jiwa-jiwa yang bersemayam pada piring-piring yang
mendekati sempurna itu, agar dikuatkan hatinya. Agar tak mudah terluka oleh
goresanku. Agar tak ada lagi luka baru yang disebabkan oleh kebodohanku. Agar aku
tak menjadi satu-satunya piring retak yang menghantui kesempurnaan mereka. Agar
mereka bisa menerimaku apa-adanya.
Pada suatu malam yang
terasa lebih dingin dari biasanya aku mengiba lagi pada-Nya,
”Wahai Sang Pemilik piring-piring
kaca, damaikan kami dalam setumpuk
takdir yang t’lah Kau susun rapi ini. Jangan pisahkan kami karena luka. Jangan hancurkan
kami karena aku yang tak sempurna. Jadikan kami kuat menjadi seutuh tumpukan
piring yang selalu siap untuk mewadahi jiwa-jiwa kami yang saling mencinta”
Sebut saja aku (nama sebenarnya)
Bali, 2013
love this, beibh
ReplyDeletewahai Tuhan yang nyata bening-Mu mengalahkan kaca,
ReplyDeleteberistirahatlah melukis nestapa hamba didunia.
siapkan saja daftar pahala kami di syurga,
atas duka-duka yang kami balas dengan tawa,
atas luka-luka yang kami senyumi bahagia,
siapkan pula cinta, berlipat dua-tiga-atau lima..
dengarlah Tuhan yang mencipta Retak, aku lelah berteriak, tega kah Kau biarkanku mati serak.
(komentar dari temanku Yessiana...thank you jess)
Lita, thank you dear :*
ReplyDelete