Aku adalah aku.
Hasrat, asa, mimpi, marah, bahagia, adalah aku. Kepunyaanku.
Mimpi adalah mimpiku. Sekalipun hanya mimpi kosong tentang sekelebat bayang tak berwajah, ia
tetaplah mimpiku.
Hasrat
menggapai pagi yang tak kunjung kuraih, sekalipun pada beribu penghujung malam kutemui
hitam, pagi tetap meninggi dari hari ke hari. Menjauhiku.
Namun apakah
aku menyerah?
Belum.
Belum saatnya kuletakkan baju zirah dan pedangku.
Belum saatnya
kugantungkan harapan pada muramnya malam-malamku.
Aku
merasa masih punya satu pagi lagi esok, hari setelahnya, dan hari-hari
setelahnya lagi sampai nyawa pada tubuh renta ini diambil pemiliknya. Nanti.
Aku adalah
nafsuku. Nafsu untuk menang dari segala belenggu yang memasung aku. Nafsu untuk
lepas dari jeratan sisi hitamku. Nafsu yang ingin terbebas dari ke-aku-anku. Sekalipun
terkadang aku tak bisa membedakan mana nafsu baik dan nafsu birahiku, aku
tetaplah nafsuku. Keduanya mengarahkanku pada kesenangan dan kemerdekaanku. Cukup
aku.
Aku adalah
pikiran-pikiranku. Yang bergejolak dalam tempurung kecil kepalaku. Yang meluap-luap
tak sabar untuk segera dijabarkan. Namun kelu diujung lidahku. Terkadang lincah
menari pada ujung-ujung jemariku. Begitulah caraku melahirkan anak-anak hatiku
lewat tulisanku yang bisu.
Aku adalah
pikiran masa depanku. Masa depan yang menggambarkan dirinya sendiri sebagai
tebing yang harus kutaklukkan dengan keakuanku. Lagi-lagi aku.
Aku adalah
marahku. Marah pada aku yang tak kunjung beranjak dari belenggu kemunafikan
yang ada padaku. Aku marah pada hidup yang kusia-siakan hanya untuk memenuhi
hasrat bejatku. Aku marah pada malam yang tanpa ampun membiarkanku meraba-raba
dalam gelapnya. Terkadang dengan baik hati ia berikan petunjuk, namun aku
terlalu marah untuk berpikir tentang petunjuk itu, petunjuk untuk aku.
Jika
hidup memang terkotak-kotak dalam hitam dan putih. Maka tak mengapa jika
kuibaratkan malam sebagai sisi hitamku. Dan pagi adalah sisi putihku. Boleh
jadi putih itu pula yang akan menjadi titik terang dari gelapnya jalan yang
kutempuh saat ini.
Aku terkadang
merasa lelah mencoba menggamit lengan pagi yang terus-menerus menjauhiku. Mungkinkah
ia marah padaku? Pada aku yang mana? Aku? Mimpiku? Marahku? Nafsuku? Pikiranku?
Yang mana?
Pagi adalah
cintaku. Dan seorang pecinta sejati takkan pernah lelah mengejar paginya, walau
harus sakit dan sesekali terpincang-pincang ditengah jalan, suatu saat akan
kudapati pagiku akan memeluk mesra, aku.
Seperti biasa..selalu bisa membangkitkan semangat :">
ReplyDelete