Wanita Terhebat Didunia-ku
Wanita
tua itu selalu berhasil menyita perhatianku. Tak ada satupun yang istimewa
darinya. Seperti halnya wanita tua lainnya, kulitnya t’lah keriput mengerut
seluruhnya. Rambutnya memutih dimakan usia yang kian senja. Namun
sisa-sisa kecantikan masa mudanya tak lekang oleh usia tuanya.
Dan senyum itu. Entah mengapa tiap
saat Ia melempar senyum padaku seolah hati panasku mendadak sejuk dibuatnya. Tatap
matanya yang teduh membuaiku, membuatku ingin dan s’makin ingin menyayanginya.
Suatu malam saat aku tidur
disampingnya, kupandangi lekat-lekat wajah tuanya. Mata yang terpejam itu, tak dapat
kubayangkan jika kedua mata itu takkan pernah terbuka lagi untuk memandangku.
Tak cukup keberanianku membayangkan bagaimana aku tanpa tatapan teduh dari
kedua bola mata sayu itu. Maka cepat-cepat kuhapus segala kemungkinan itu dari
benakku. Bergidik aku dibuatnya!
Namun
mataku masih memandangi wajah tuanya. Wajah yang dulu muda, kini rata oleh
keriput yang mengerut disana-sini, merenggut kemudaannya. Satu persatu keriput
itu mulai bercerita tentang kemunculan mereka. Tentang waktu-waktu sulit penuh
luka dan air mata yang t’lah dilalui wanita tua disampingku ini. Tentang bagaimana
Ia bertahan hidup sebagai ibu dari tujuh orang anak yang kini berada jauh dari
dekapannya. Tentang bagaimana Ia menghibur dirinya ketika suami tercintanya
pergi untuk selamanya. Tentang suka-duka menjadi istri kedua…
Walaupun
kita sama-sama wanita dewasa, tak akan pernah sampai nalarku untuk sekedar
membayangkan bagaimana kau hidup dengan berbagi kebahagiaan dengan wanita lain?
Bagaimana pula kau mendewasakan anak-anakmu dengan mengajarkan kepada mereka
untuk berbagi kebahagiaan dengan anak-anak tirimu? Tak habis pikir aku
dibuatnya. Hatimu sebenarnya terbuat dari apa? Begitu tegar kau berdiri dengan
tubuh rentamu diantara segala perih yang menggerogoti daging ditubuhmu.
ku seka airmataku.
ku seka airmataku.
Engkau
wanita tua paling tabah yang pernah aku temui. Engkau salah satu sosok wanita
paling hebat yang pernah aku kenal. Sungguh, kalaupun aku hidup diposisimu,
sudah sejak lama aku mengiba agar Tuhan bersedia mematikanku!
Ku seka lagi airmataku. Kali ini
sampai sesak nafasku. Namun kutahan, tanpa suara kuraih kain batik seadanya
yang menyelimutiku untuk menghapus airmataku. Dan wanita tua ini terbangun. Sejenak
mengerjapkan matanya yang masih mengantuk. Seketika aku berpaling darinya,
kubiarkan ia memandangi punggungku dengan penuh tanda tanya.
”Jam berapa sekarang nak?” Ia
bertanya lirih.
”Hampir jam tiga....” kujawab
seadanya saja, dan kukencangkan dengkurku agar Ia mengira aku kembali lelap
dalam tidurku.
Ku dengar Ia turun dari tempat
tidur, keluar dari kamar dan sosoknya menghilang beberapa saat ditelan pintu
dan cahaya temaram lampu kamar ini. Ku gunakan kesempatan itu untuk kembali
menyeka sisa airmataku yang mulai mengering disudut-sudut pipiku.
Tak berapa lama Ia pun kembali. Dengan
wajahnya yang basah, aku tau Ia habis berwudhu. Diraihnya mukena lusuh itu
lagi. Ku perhatikan seharian ini entah sudah berapa kali Ia pakai mukena itu. Teramat
sayangnya Ia pada mukena tua-nya itu. Selang beberapa saat Ia t’lah larut dalam
khusuk mesranya bercakap dengan Tuhan-nya.
Diam-diam kupandangi Ia lagi. Tak satupun
ada yang luput dari penglihatanku. Setiap geraknya terekam jelas dalam otakku.
Aku tau. Dalam do’amu orang
pertama yang kau sebut pastilah orangtuamu. Kemudian almarhum suamimu, dan satu
persatu anak-anakmu kau pastikan tak ada yang tertinggal untuk kau do’akan. Begitu
khusuknya, begitu mesranya Ia bercerita pada Tuhan, hingga tanpa disadarinya
pipi tirus itu t’lah basah oleh airmatanya. Entah apa yang sedang ia akeluhkan.
Entah apa yang sedang Ia panjatkan. Sesekali bahunya terguncang. Beberapa kali
nafasnya sesak menahan suara tangisnya sendiri, mungkin Ia takut kalau-kalau
aku terusik karena ia terlalu berisik.
Membayangkan saja aku tak bisa. Beban
hidupmu terlalu berat untuk dipikul oleh tubuh renta sekurus itu. Waktu dan
cobaan demi cobaan hidup menggerus keceriaannya. Namun raut penuh ketabahan itu
tak pernah bercerita tentang pedihnya kepada siapapun, pun kepada buah hatinya
sendiri. Ia selalu lebih percaya pada Tuhannya. Ia selalu pasrah pada segala
ketetapan pencipta-nya.
Kerendahan hatimu itu,
kepasrahanmu itu..yang belum aku warisi darimu. Darahmu yang mengalir ditubuhku
ini belum matang dewasanya. Aku belum mengalami hal sepahit yang t’lah kau
alami. Namun aku bisa sedikit mengerti dari caramu bersimpuh ditiap sepertiga
malam hanya untuk mengadu, hanya untuk menyandarkan lelah harimu pada Tuhanmu.
Sesak nafasku menahan haru yang
menyeruak tiba-tiba ini. Seakan malam ini menjadi sangat panjang karena
mencintaimu tak akan pernah habis untuk kuceritakan.
Ibu, berjanjilah padaku. Jika aku
jauh darimu, jangan biarkan oranglain menyakiti hatimu. Membuatmu terluka lagi.
Cukupkan perih untuk hari-hari ibuku ya Tuhan.. Bahagiakan Ia dihari tuanya. Aku
mencintai wanita tua itu, karena hanya dialah ibuku. Tak perduli seberapa
keriput kulitnya, hanya Dialah wanita tercantik dalam duniaku.
Aku mencintainya dengan sederhana.
Seperti mukena lusuh yang sellau setia menemaninya mesra bercerita. Seperi senja
yang tak mau lepas dari jingganya. Seperi kecintaan seorang anak, pada ibunya.
Comments
Post a Comment