Skip to main content

Tentang Waktu


Kadang merah tak semerah yang terlihat,
Pun putih tak seputih yang nampak,
Ada kalanya aku ragu pada mataku sendiri
Yang melihat sesuatu bukanlah yang sebenarnya
Aku ragu pada telingaku, yang mendengar suara bukan aslinya
Manakah yang benar dan manakah yang tidak benar?

Hari semakin menua, begitupun aku yang beranjak dewasa
Seiring jingga matahari terasa dingin pada sore-sore mendung, murung
Tapi tak banyak yang ku dapat.
Aku tetaplah aku yang sama di sore kemarin
Tak beranjak meski sejengkal dari tempat aku berteduh

Bukan ini mauku!

Aku ingin sore ini aku menjadi lebih baik dari pagi tadi,
Dengan waktu yang selalu tak sabar mengajariku ini itu
Menjejaliku dengan penyesalan-penyesalan masa-laluku
Seharusanya aku beranjak, dan protes tehadap waktu yang terlalu cepat mendewasakanku!!!

Tapi Ia tetap berlalu, melengang sombong tak mau tau
Detik berganti menit dan kemudian berganti hari
Belum selesai aku mebenahi diriku,
Dan waktu sudah menghentak-hentakkan kakinya, menyuruhku bergegas lagi.
Kenapa kau selalu terburu-buru?
Aku belum sempat mempercayai mata dan telingaku,
Belum matang dewasaku.
AMPUNNNNN…waktu, diamlah sejenak! biarkan aku berbenah barang sejenak
Aku tak ingin begitu tergesa-gesa
Aku hanya ingin melihat jingga sore-ku dalam warna aslinya
Dalam hangat yang sebenarnya
Menikmatinya dengan hati, bukan dengan kaki yang terus-menerus kau ajak berlari!

Sajak hening kini hilang nadanya, dalam diriku
Aku larut dalam diamku yang terdalam, rapuh
Memandang hampa sang waktu berlalu
Menjauh,
Meninggalkanku yang semakin ragu pada diriku
Jika saja kamu dan aku bisa sedikit berdamai, maka kita bisa berjalan beriringan
Dan aku takkan pernah menyesali satupun sore yang telah ku lewati., bersamamu.

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai