Anak itu
selalu melambaikan tangannya setiap saat aku melintas dijalan itu. Dia selalu
berdiri dibawah pohon asem yang ukuran batangnya cukup besar sehingga dua orang
dewasa masih tak akan cukup untuk memeluknya. Pohon asem itu adalah pohon
terbesar di kampung kami. Disana juga menjadi satu-satunya tempat paling sejuk
diantara ladang disektiranya yang menjadi gersang di musim kemarau ini. Namun
anehnya, orangtuaku tidak pernah mengijinkanku bermain disana. Jangankan untuk
bermain, berteduh dibawah pohon itu saja tidak boleh.
Sore itu
Ibu meminta tolong padaku untuk ke warung membeli beberapa lilin, untuk
berjaga-jaga kalau malam nanti listrik akan padam lagi seperti kemarin. Tanpa pikir
panjang aku pun segera mengiyakan perintah Ibuku.
“Jangan
lama-lama ya sayang, sebentar lagi adzan maghrib” pesan ibu dari ambang pintu
saat aku beranjak pergi.
Beberapa
meter dari warung tempatku membeli lilin, aku melihat anak itu melambai-lambai
ke arahku. Kali ini lambaian tangannya mengisyaratkan agar aku datang
kearahnya. Sejenak aku melirik kedalam warung, kulihat ibu pemilik warung
sedang masuk kedalam rumahnya untuk mengambil uang kembalian dan belum kembali.
Saat itulah aku melangkah menjauh dari warung menuju pohon asem itu, kearah
anak perempuan yang selalu melambaikan tangannya padaku.
Dia terlihat
mirip denganku. Rambut sebahunya, matanya yang bulat dan caranya tersenyum. Kalaupun
ada yang membedakan kami mungkin hanya pakaian yang kami kenakan. Ia memakai
rok terusan selutut berenda putih, dan
aku memakai setelan baju tidur bergambar Teddy Bear kesayanganku. Entah berapa
lama aku berdiri dihadapannya. Lidahku kelu, dan tubuhku entah kenapa terasa
begitu kaku. Aku ingin pergi namun tidak satu inci pun aku beranjak dari
tempatku berdiri.
“Jessica…
namaku Jessica” kata anak perempuan itu setengah berbisik.
Tidak
mungkin! Nama anak itu sama dengan namaku.
“aku
mau pulang…kesana…” Ia menunjuk kearah rumahku. Tentu saja aku ingin protes dan
bertanya banyak hal padanya, namun aku tak sanggup bicara apapun.
Lalu
anak itu mulai mendekat kearahku. Aku begitu ketakutan oleh sensasi dingin yang
terasa dipipiku saat Ia menyentuhku. Entah apa yang terjadi padaku, yang aku
rasakan hanya gigil yang begitu hebat di tubuhku. Tubuhku bergetar dan keringat
dingin mulai membanjiri lapisan dalam pakaianku. Aku begitu ingin berlari
meminta tolong, namun anehnya tubuhku tak beranjak sesenti pun dari tempatku
berdiri saat ini.
Dari kejauhan
kulihat serombongan orang datang mendekat kearahku. Samar kulihat sosok bapak
dan ibu, ibu pemilik warung dan beberapa orang dewasa dibelakang mereka. Masing-masing
dari mereka tidak henti membuat suara berisik dari benda-benda yang mereka bawa
sembari terus-menerus memamnggil namaku.
“Jessi…
Jessii.. kamu dimana nak….” Teriak bapak dan ibuku bergantian. Begitupun orang-orang
lain yang ikut dalam rombongan itu.
Aku ingin
menjawab, atau menimbulkan suara apapun untuk menunjukkan keberadaanku pada
mereka. Namun aku masih tak bisa melakukan apa-apa.
Sampai
ketika mereka tiba dibawah pohon asem, bapak berdiri tepat dihadapanku. Namun anehnya
bapak tidak menatapku, seolah-olah bapak tidak menyadari keberadaanku yang
begitu dekat dengannya.
Ibu
pemilik warung yang bernama Bu Lulik itupun mulai buka suara. “Tadi saya lihat
Jessi berjalan kearah sini pak, saya lihat jalannya cepat sekali. Saya panggil-panggil beberapa kali tapi
kelihatannya Jessi tidak mendengar saya”
“saya mengerti, bu. Terimakasih” kata bapak.
Seseorang
yang sangat ku kenali wajahnya mendekat kearahku. Dia tidak lain adalah guru mengajiku
di Mushalla dekat rumah, Pak Syamsul namanya. Pak Syamsul memejamkan matanya
dan tangannya menengadah. Ia mengajak semua orang yang berada didekatnya untuk
bersama-sama memanjatkan do’a.
Perlahan
namun pasti aku mulai terisak. Sedikit demi sedikit aku bisa menggerakkan
jariku dan dalam hitungan ketiga aku pun ambruk dihadapan banyak orang yang
begitu terkejut melihat kemunculanku yang begitu tiba-tiba.
Aku tidak
ingat lagi apa yang terjadi padaku setelah itu. Yang aku ingat hanya sebuah
cahaya yang begitu terang menerobos kelopak mataku saat aku terbangun keesokan
harinya. Aku sudah berada dirumah, di kamarku. Di sisi tempat tidurku ada Ibu
yang menatapku dengan khawatir, dan bapak yang terlihat lega saat melihatku
membuka mata.
“apa
yang terjadi, Bu?’’
“Kamu
diculik genderuwo penghuni pohon asem itu Jessi” jawab Ibu sambil terisak di
pelukanku.
Beberapa
hari kemudian, kudengar pohon asem itu sudah ditebang. Dan anak perempuan kesepian
yang bernama Jessica itu masih terlihat di sisi tempat tidurku pada beberapa
malam saat aku terbangun bersimbah keringat di sekujur tubuhku.
Sampai
detik ini pun masih.
Comments
Post a Comment