Skip to main content

Temani Jessica



Anak itu selalu melambaikan tangannya setiap saat aku melintas dijalan itu. Dia selalu berdiri dibawah pohon asem yang ukuran batangnya cukup besar sehingga dua orang dewasa masih tak akan cukup untuk memeluknya. Pohon asem itu adalah pohon terbesar di kampung kami. Disana juga menjadi satu-satunya tempat paling sejuk diantara ladang disektiranya yang menjadi gersang di musim kemarau ini. Namun anehnya, orangtuaku tidak pernah mengijinkanku bermain disana. Jangankan untuk bermain, berteduh dibawah pohon itu saja tidak boleh.

Sore itu Ibu meminta tolong padaku untuk ke warung membeli beberapa lilin, untuk berjaga-jaga kalau malam nanti listrik akan padam lagi seperti kemarin. Tanpa pikir panjang aku pun segera mengiyakan perintah Ibuku. 

“Jangan lama-lama ya sayang, sebentar lagi adzan maghrib” pesan ibu dari ambang pintu saat aku beranjak pergi.

Beberapa meter dari warung tempatku membeli lilin, aku melihat anak itu melambai-lambai ke arahku. Kali ini lambaian tangannya mengisyaratkan agar aku datang kearahnya. Sejenak aku melirik kedalam warung, kulihat ibu pemilik warung sedang masuk kedalam rumahnya untuk mengambil uang kembalian dan belum kembali. Saat itulah aku melangkah menjauh dari warung menuju pohon asem itu, kearah anak perempuan yang selalu melambaikan tangannya padaku.

Dia terlihat mirip denganku. Rambut sebahunya, matanya yang bulat dan caranya tersenyum. Kalaupun ada yang membedakan kami mungkin hanya pakaian yang kami kenakan. Ia memakai rok terusan  selutut berenda putih, dan aku memakai setelan baju tidur bergambar Teddy Bear kesayanganku. Entah berapa lama aku berdiri dihadapannya. Lidahku kelu, dan tubuhku entah kenapa terasa begitu kaku. Aku ingin pergi namun tidak satu inci pun aku beranjak dari tempatku berdiri.

“Jessica… namaku Jessica” kata anak perempuan itu setengah berbisik. 

Tidak mungkin! Nama anak itu sama dengan namaku. 

“aku mau pulang…kesana…” Ia menunjuk kearah rumahku. Tentu saja aku ingin protes dan bertanya banyak hal padanya, namun aku tak sanggup bicara apapun.

Lalu anak itu mulai mendekat kearahku. Aku begitu ketakutan oleh sensasi dingin yang terasa dipipiku saat Ia menyentuhku. Entah apa yang terjadi padaku, yang aku rasakan hanya gigil yang begitu hebat di tubuhku. Tubuhku bergetar dan keringat dingin mulai membanjiri lapisan dalam pakaianku. Aku begitu ingin berlari meminta tolong, namun anehnya tubuhku tak beranjak sesenti pun dari tempatku berdiri saat ini.

Dari kejauhan kulihat serombongan orang datang mendekat kearahku. Samar kulihat sosok bapak dan ibu, ibu pemilik warung dan beberapa orang dewasa dibelakang mereka. Masing-masing dari mereka tidak henti membuat suara berisik dari benda-benda yang mereka bawa sembari terus-menerus memamnggil namaku.

“Jessi… Jessii.. kamu dimana nak….” Teriak bapak dan ibuku bergantian. Begitupun orang-orang lain yang ikut dalam rombongan itu.

Aku ingin menjawab, atau menimbulkan suara apapun untuk menunjukkan keberadaanku pada mereka. Namun aku masih tak bisa melakukan apa-apa.
Sampai ketika mereka tiba dibawah pohon asem, bapak berdiri tepat dihadapanku. Namun anehnya bapak tidak menatapku, seolah-olah bapak tidak menyadari keberadaanku yang begitu dekat dengannya.

Ibu pemilik warung yang bernama Bu Lulik itupun mulai buka suara. “Tadi saya lihat Jessi berjalan kearah sini pak, saya lihat jalannya cepat sekali.  Saya panggil-panggil beberapa kali tapi kelihatannya Jessi tidak mendengar saya”

 “saya mengerti, bu. Terimakasih” kata bapak.

Seseorang yang sangat ku kenali wajahnya mendekat kearahku. Dia tidak lain adalah guru mengajiku di Mushalla dekat rumah, Pak Syamsul namanya. Pak Syamsul memejamkan matanya dan tangannya menengadah. Ia mengajak semua orang yang berada didekatnya untuk bersama-sama memanjatkan do’a.

Perlahan namun pasti aku mulai terisak. Sedikit demi sedikit aku bisa menggerakkan jariku dan dalam hitungan ketiga aku pun ambruk dihadapan banyak orang yang begitu terkejut melihat kemunculanku yang begitu tiba-tiba.

Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi padaku setelah itu. Yang aku ingat hanya sebuah cahaya yang begitu terang menerobos kelopak mataku saat aku terbangun keesokan harinya. Aku sudah berada dirumah, di kamarku. Di sisi tempat tidurku ada Ibu yang menatapku dengan khawatir, dan bapak yang terlihat lega saat melihatku membuka mata.

“apa yang terjadi, Bu?’’

“Kamu diculik genderuwo penghuni pohon asem itu Jessi” jawab Ibu sambil terisak di pelukanku.

Beberapa hari kemudian, kudengar pohon asem itu sudah ditebang. Dan anak perempuan kesepian yang bernama Jessica itu masih terlihat di sisi tempat tidurku pada beberapa malam saat aku terbangun bersimbah keringat di sekujur tubuhku.

Sampai detik ini pun masih.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk seorang teman yang sedang bersedih ;)

Akan ada saat dimana kamu merasa begitu rapuh, bahkan terlalu rapuh untuk sekedar membohongi diri bahwa kamu sedang baik-baik saja. Air mata itu tak dapat lagi kamu tahan dengan seulas senyum yang dipaksakan, hingga pada akhirnya wajahmu akan membentuk ekspresi bodoh dengan mata yang berulang-kali mengerjap demi menahan bulir-bulir air yang hendak membanjir dipipi, lalu mengalir kedasar hati. Itulah saatnya kamu untuk berhenti berlagak kuat. Akui saja kalau kamu sedang kalah, kalah pada penguasaan diri yang biasanya selalu kau lakukan dengan baik. Kadang, terus-menerus menipu diri dengan berkata bahwa kamu baik-baik saja -padahal kamu remuk-redam didalam- malah akan semakin membuatmu terluka. Lepaskan… tak perlu lagi kau tahan, Suarakan, untuk apa kau bungkam? Tunjukkan! Tak perlu lagi dipendam… Jujur pada diri sendiri adalah wujud penghargaan paling tinggi pada diri sendiri. Kamu tau? Walaupun seluruh dunia memalingkan wajahnya darimu, ketika kamu   jujur ...

Ini ceritaku, apa ceritamu?

Berawal dari kebencian saya terhadap sayur pare, saya jadi sensitive mendengar segala sesuatu tentang jenis sayuran tersebut. Entah apa dosa pare terhadap saya, kebencian saya terhadap sayur imut tersebut seolah sudah mendarah daging dalam diri saya sejak kecil. Tidak ada alasan mengkhusus mengapa saya begitu menaruh sikap antipati terhadap pare. Mungkin hanya karena rasanya yang sangat pahit dan penampilannya yang kurang menarik minat saya. Lagipula tidak banyak makanan olahan yang dihasilkan dari sayur pare, tidak seperti kebanyakan sayur lain seperti bayam yang juga tidak begitu menarik minat saya, tapi kemudian menjadi cemilan favorit saya ketika penampakannya berubah menjadi keripik, yang lebih tenar dengan nama ’keripik bayam’. Terlepas dari kebencian saya yang mendalam terhadap pare, ternyata diam-diam saya merasa penasaran terhadap sayur tersebut. Apalagi melihat kakak saya sendiri yang sangat menggemari sayur tersebut. Apakah rasa pare yang begitu pahit tersebut sangat w...

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memera...