Skip to main content

sepotong rindu yang tertinggal dirumah



Rumah bagi saya adalah sumber kerinduan. Sebuah titik untuk pulang dari perjalanan yang melelahkan. Satu-satunya tempat yang membebaskan saya untuk menjadi diri saya sendiri yang apa adanya. Dan juga satu-satunya tempat dimana saya merasa benar-benar ‘diterima’. 

Di rumah itu masih ada Ibu yang saat ini mungkin sedang duduk seorang diri di bale sembari mendengarkan radio tuanya, sebuah kegiatan yang mestinya kami lakukan berdua. Saya dengan sebuah buku bacaan ditangan, dan Ibu dengan Radio tua disisinya, serta secangir kopi untuk kami nikmati berdua. Tanpa cemilan, namun setiap sore kami selalu hangat seperti itu. Ya, sesederhana itu.

Di setiap jengkal rumah itu ada kenangan yang tak akan cukup jika saya ceritakan diatas lembar kertas ini. kenangan bersama almarhum bapak, abang, keponakan, saat suka maupun saat lara begitu ngilu terasa dalam dada. Rumah itu seakan memiliki lorong waktu disetiap sudutnya yang menawarkan diri untuk menjadi tempat persinggahan jika sewaktu-waktu rindu menusuk-nusuk kalbu.

Namun sekarang saya berada sangat jauh dari rumah, dari ibu. 

Dan rindu tidak pernah terasa sesakit ini saat wajah Ibu membayang tiba-tiba. Malam terasa lebih panjang, dan siang seakan tak ada habisnya. Hari-hari seolah berhenti, dan waktu enggan melangkah lebih jauh lagi. Dan jarak yang begitu jauh ini semakin membuat mata ini mudah basah saat merindu ibu.

Ya, terkadang perasaan ingin ‘pulang’ itu muncul begitu saja.

Namun saya sadar betapa serakahnya diri ini bila mengharap rindu yang sembuh seketika dengan sebuah pertemuan yang manis dengan Ibu. Bukankah dulu saat masih berada dirumah do’a yang kerap saya panjatkan adalah agar saya segera dipertemukan dengan lekaki yang baik yang akan membawa saya ketempat yang jauh untuk memulai kehidupan baru, terlepas dari ke-monoton-an hidup saya sebelumnya? 

Dan Tuhan menjawab permintaan itu tepat waktu, bahkan jauh lebih awal dari yang saya duga. Saya pun menikah dengan lekaki baik yang sangat saya sayangi. Namun sebagai gantinya, tuhan menginginkan sebuah perpisahan sementara dengan Ibu. Tuhan tau hati ini begitu menyayangi keduanya, namun dibuat-Nya saya memilih salah-satu saja.

Maka ketika saya pergi jauh dari rumah, saya merasa pergi dengan setengah hati yang seketika melompong, kosong. Separuh hati milik Ibu yang selama ini menghangatkan diri ini harus saya tinggalkan walaupun berat. Tuhan tau saya akan bertahan dengan separuh hati milik lelaki pilihan-Nya ini. Namun tetap ada yang kurang rasanya. Bahagia ini terasa kurang lengkap.

Biasanya setiap menit bertemu, kini harus puas dengan rindu yang dipaksa lega lewat sebuah telepon singkat. Sekadar dengar suara bergetar-nya, dan tau kalau Ibu baik-baik saja maka saya akan merasa sedikit lebih baik. Lalu keesokan harinya rindu kembali meremas-remas kelopak mata yang menjadi lebih mudah panas ini. Apakah rindu selalu securang itu?

Tuhan, maafkan diri ini yang mash kurang bersyukur atas karunia-Mu. Ringankan Rindu ini Tuhan… saya tau Engkau adalah sebaik-baik penjaga yang akan melindungi Ibu dalam setiap langkahnya kemanapaun beliau pergi. 

Saya tau, selalu merisaukan apakah Ibu sudah makan atau belum, sehat atau sakit, bahagia atau sedih, adalah hal yang berlebihan dan tindakan yang seolah-olah menyangsikan Ke-Maha-Kuasaan-Mu  dalam melindunginya… namun bukankah hati ini terlalu sulit untuk dikelabui dengan dugaan demi dugaan saja? Ia ingin lebih, tuhan. Ia ingin merasakan kelegaan yang benar-benar lega setelah memastikannya sendiri. Dan Maafkan saya untuk itu…

Akh, menjadi bungsu yang selalu dekat dengan Ibu emang tidak mudah. Setelah do’a yang terkabul, ternyata saya masih harus berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri, dengan rindu yang kadang keterlaluan ini.

Mungkin tuhan ingin saya lebih sering datang pada-Nya untuk mengadukan rindu ini. Mungkin Tuhan juga merindukan si bungsu ini.


Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..