Samsara
Sebuah tulisan yang sangat menyentuh dari seorang Dewi Lestari, yang saat membacanya membuat saya ingin segera memeluk Endang. Ya, entah kenapa saya merasakan kesedihannya dalam tulisan ini… Dewi Lestari selalu berhasil membuat aksara-aksara bicara dalam rangkaian kalimat dengan caranya sendiri dan mengaduk-aduk emosi saya. Oleh karena itu secara khusus tulisan ini saya abadikan dalam blog ini, semoga kalian, seperti halnya saya, dapat memetik sesuatu yang berharga setelah membacanya. Terimakasih, Dee ^^
Nama penyu
itu Endang. Saya beri nama demikian karena saya belum sempat tahu Endang itu
jantan atau betina, dan nama "Endang" cukup fleksibel mewakili
keduanya. Endang dengan 'e' taling untuk perempuan, dan Endang versi 'e' pepet
untuk laki-laki.
Pertemuan
saya dengan Endang terjadi tanpa rencana. Saat saya ke Manado beberapa waktu
lalu untuk talk show bersama seorang biksu perempuan, Ayya Santini, saya diberi
tahu bahwa panitia ingin mengadakan fang shen (mudita citta, pelepasan makhluk
hidup) sesudah makan siang, dan saya diajak ikut. Biasanya saya lebih memilih
beristirahat, apalagi perjalanan ke Manado ini dimulai sejak subuh berhubung
naik pesawat paling pagi. Tapi saya belum pernah ikut fang shen sebelumnya, dan
saya memutuskan ikut demi pengalaman baru. Fang shen adalah salah satu puja
bakti dalam tradisi agama Buddha, yakni melepaskan makhluk hidup kembali ke
alam bebas. Mereka yang ingin melakukan fang shen dapat membeli ikan, atau
burung, atau apa saja, yang barangkali sudah di penghujung maut karena akan
dijagal, lalu melepaskan mereka kembali ke habitatnya. Fang shen dipercaya
dapat membuahkan umur panjang, kebahagiaan, dan seterusnya.
Terlepas
dari umur saya bertambah atau tidak, saya merasa fang shen adalah tradisi yang
luar biasa. Burung yang memiliki angkasa tak berbatas sebagai rumahnya mendadak
disekap dalam kurungan, hanya karena kita ingin menjamin kicauan merdunya
terdengar oleh kuping setiap hari, tak peduli kicauan itu ungkapan kebahagiaan
atau frustrasi. Ikan yang memiliki aliran air luas sebagai rumahnya mendadak
harus mengitari kurungan kaca akuarium, hanya karena kita ingin menikmati
keindahan wujudnya.
Belum lagi
ikan lele yang kemungkinan besar dihantam di kepala lalu berakhir di
penggorengan. Melalui fang shen, kita mengembangkan kasih sayang dan rasa
hormat bagi semua makhluk. Keluar dari kerangka pikir manusia pemangsa, lalu
dengan sadar mengembalikan hak hidup makhluk-makhluk yang selama ini kita sekap
dan kita jagal. Waktu saya dan biksuni (biksu perempuan) Ayya tiba di
pelabuhan, Endang dan satu penyu kecil lain (saya beri nama Endang Jr.) sudah
menunggu dalam perahu motor. Keduanya beringsut saling mendekat seperti mencari
rasa aman. Kondisi Endang tidak terlalu baik.
Kaki depan
Endang sobek besar hingga tampak tulangnya mencuat keluar. Lantai perahu
bernoda merah di sana-sini karena darah dari luka Endang. Salah satu petugas
perahu berkata, "Tidak apa-apa. Penyu itu binatang kuat. Kepalanya putus
saja masih bisa hidup. Baru setelah dimasak, dia benar-benar mati." Saya
lantas membayangkan, jika tangan saya terluka menganga hingga tulang harus
berhadapan dengan udara, seperti apa sakit dan ngilunya? Bagaimana kita bisa
mengukur rasa sakit Endang, hanya karena penyu tidak memiliki area broca di
otaknya dan tidak berkata-kata? Sementara penyu adalah hewan yang memiliki
sistem limbik sempurna, yang memungkinkan ia merasakan sakit, nyeri, ketakutan,
sama seperti kita. Namun Endang dengan tulang terpampang memang bernasib lebih
baik, karena teman-temannya yang tertangkap akan dibedah hidup-hidup. Dalam
posisi terbalik, tempurung mereka disayat, dan daging mereka dipotong-potong di
tempat, untuk lalu dijual dan dijadikan sup.
Orang
Manado bilang, daging penyu lembut. Namun daging itu aneh, bergerak terus, sekalipun
sudah dipotongpotong, dan baru diam setelah matang dimasak. Baru setahun
terakhir ini larangan memperdagangkan penyu diperketat dan daging penyu mulai
menghilang dari pasar. Sesekali ada nelayan nekat yang tetap mencuri kesempatan
dan menjualnya sembunyi-sembunyi. Endang dan Endang Jr. ditebus dengan
harga 500 ribu. Harga yang termasuk murah, karena biasanya tiga penyu bisa kena
satu juta. Sekitar tiga puluh menit kami melaju ke arah Bunaken. Setelah
menemukan satu tempat yang dirasa cukup aman dan sepi untuk melepas duo Endang
ini, perahu pun berhenti dan biksuni Ayya mulai membacakan paritta – rangkuman
doa dalam agama Buddha. Saya diam dan memejamkan mata. Berharap air laut dan
waktu akan menyembuhkan luka Endang. Berharap Endang Jr. bisa tahu rasanya
menjadi dewasa, mati secara alamiah di alam bebas, dan bukan dalam mangkok sup.
Berharap
kita semua akan menemukan jalan untuk hidup beriringan dengan makhluk lain
tanpa perlu menyekap dan memangsa. Kita menangkap Endang dan kawankawannya
bukan karena mereka ancaman bagi nyawa kita, tapi karena sebagian dari kita
ingin memuaskan lidah dan kita punya cukup uang untuk menyajikannya di meja
makan, dan untuk itu sebagian dari kita yang butuh uang rela menangkap Endang
dan kawan-kawan, membunuhnya dengan keji. Bukan karena Endang menyerang atau
mendendam, tapi karena Endang gurih. Berharap kita semua akan menemukan jalan
untuk mengenyangkan perut dengan kekerasan minimal, agar perdamaian dunia yang
kita dambakan tidak cuma slogan. Bagi kita, Endang hanyalah satu makan siang,
tapi bagi Endang itu masalah hidup dan mati. Dalam diam dan mata masih
terpejam, saya teringat cerita petugas tadi. Katanya, penyu-penyu melelehkan
airmata saat mereka dicacah hidup-hidup. Endang ternyata bisa menangis. Saya
bahkan tak tahu itu. Saat biksuni Ayya usai membacakan paritta, mata saya
membuka. Basah. Sore itu, memang bukan Endang yang perlu menangis. Ia dan teman
kecilnya cuma perlu berenang lagi.
Comments
Post a Comment