Skip to main content

Karena saya percaya.



Jika kita jatuh cinta, maka sudah semestinya kita percaya pada apa yang kita cinta dan pada cinta itu sendiri: percaya bahwa cinta hanya membawa kebaikan. Dan taukah kamu? terkadang, kebaikan yang kita dapat tak selalu seperti apa yang kita harapkan. Tanpa kita sadari, terkadang kita hanya mengharapkan sesuatu dan menyangka bahwa hal itulah yang terbaik bagi kita, padahal nyatanya ‘kebaikan’ itu tak lebih dari pemenuhan ‘keinginan’ yang kita bungkus rapi diatas nama ‘kebutuhan’. Dan saat ‘kebutuhan’ itu tak kita dapat dengan cara yang kita inginkan, kita akan kecewa… hingga pada akhirnya dengan mudahnya kita menudingkan telunjuk untuk melempar kesalahan pada apapun yang tak memuaskan keinginan kita tersebut.
Dan pada akhir kesimpulan kita akan berkata: cinta hanya membuat kita sedih!
Benarkah cinta yang salah?
Benarkah kita telah salah menjatuhkan cinta pada sesuatu yang terlanjur kita anggap benar?
Entah.

Mari kita ambil contoh dari pengalaman pribadi saya berikut ini.
Beberapa waktu lalu, saat usia saya baru menginjak awal usia 20an saya berdo’a pada Tuhan agar segera dipertemukan dengan lelaki yang tampan, baik hati, dan menyayangi saya dengan sepenuh hati. Tak lama kemudian, saya berkenalan dengan seorang pria yang memiliki ciri-ciri mirip dengan apa yang selalu saya minta pada Tuhan, pada awalnya.
Dia tampan, baik hati, bisa bermain alat music, disukai banyak perempuan dan tentu saja saya merasa beruntung karena menjadi satu-satunya wanita yang bisa menggandeng tangannya sambil berkata dengan bangga: lihat, dia pacarku!
Bulan-bulan pertama tentu saja yang saya rasakan hanyalah manisnya cinta, dan jujur saja saya merasa cukup bahagia. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pelan namun pasti saya mulai merasakan kesedihan-demi kesedihan. Hingga pada suatu titik saya benar-benar merasa putus asa, saya salahkan semua kesedihan ini pada Tuhan.
“Tuhan, apa sebenarnya mauMu? Kenapa Kau buat hidupku begini susah. Mengapa Kau pertemukan aku dengannya?”
“Tuhan, kenapa Kau diam saja?”
“Tuhan, Kau benar-benar tak adil padaku!”
Kurang lebih seperti itu kalimat-kalimat kurang-ajar yang saya ucapkan disela do’a saya pada Tuhan, Dzat yang sebelumnya saya agung-agungkan karena telah mempertemukan saya dengan laki-laki sempurna yang kemudian menjadi brengsek tersebut.
Entah memang laki-laki tersebut yang brengsek, atau saya yang terlalu banyak berharap padanya. Ataukah salah Tuhanlah karena telah mempertemukan kami berdua dan kemudian menjadikan jalan kami berakhir demikian tragis?
Saya seperti cacing kepanasan saat menyadari tak ada satupun yang bisa salahkan melainkan diri saya sendiri.
Apa salah saya? Berulang kali saya lontarkan pertanyaan ini pada diri saya sendiri. Ada banyak jawaban yang saya jawab sendiri namun berusaha keras saya abaikan, karena sebagai manusia yang egonya terlalu tinggi saya sama sekali tak ingin mengakui kesalahan saya tersebut.
Lalu pada suatu titik saya merasa begitu jenuh. Jenuh bersembunyi dari diri sendiri. Jenuh dari kepura-puraan saya ngambek pada Tuhan.
Saya mengaku kalah. Memang sayalah yang salah. Bukan salah laki-laki itu, bukan pula salah Tuhan.
Saya salah karena nyatanya saya mengaku cinta pada Tuhan, namun saya tidak mempercayai-Nya dengan sepenuh hati. Yang selama ini saya percayai hanyalah apa yang ingin saya percayai saja. Dan hal-hal itu hanya meliputi apa-apa saja yang saya rasa telah memuaskan keinginan-keinginan saya.
Saya memohon dipertemukan dengan laki-laki tampan, kemudian saya dipertemukan dengan laki-laki tampan tersebut. Lalu saya merasa senang, saya puji-puji Tuhan dengan segala pujian gombal yang tak sepenuhnya berasal dari hati saya. Padahal ada kelanjutan maksud dari Tuhan dengan mempertemukan saya dengan laki-laki tampan tersebut, yaitu untuk belajar bahwa Ia tak baik untuk hidup saya kelak. Dan memang, yang mampu Ia berikan pada saya hanyalah wajah yang tampan. Tak ada perhatian berkelanjutan, apalagi kasih-sayang dihari setelahnya seperti yang begitu saya harapkan darinya.
Lalu ditengah kejenuhan itu saya kembalikan lagi kepasrahan ini pada Tuhan. Saya berpikir, mungkin Tuhan sengaja membiarkan saya tersesat agar bisa saya coba semua jalan yang salah untuk kemudian menemukan satu jalan yang paling benar. Tuhan ingin saya belajar dari laki-laki yang ‘salah’ tersebut.
Dan ya, sekarang saya tau apa-apa saja yang telah saya pelajari dari kegagalan itu. Saya telah belajar banyak. Bahwa kegagalan ini hanyalah satu dari banyaknya warna yang memang sudah seharusnya ada untuk melengkapi hidup saya. Kalau warna itu tidak ada, tentu lukisan hidup saya tak akan terlihat ‘hidup’.
Disakiti, dikecewakan, ditinggalkan, diabaikan, penolakan demi penolakan dan entah seberapa sering mata ini basah karena menangisi itu semua, nyatanya saya telah berhasil melewati itu semua!
Buktinya, saya bisa menulis semua ini sambil tersenyum mengingat betapa naifnya saya dulu yang menghabiskan hari-hari dengan menangis… :D
Dan saat ini, hari-hari kelabu itu telah berganti dengan hati yang lebih ringan. Memang, Tuhan belum berhenti membuat saya belajar dengan banyak cara yang sakit, namun setidaknya saya percaya satu hal: bahwa Tuhan melakukan itu semua bukan untuk mempermainkan saya, melainkan hanya untuk membuat saya belajar tentang arti cinta yang sebenarnya.
Jika memang cinta, seharusnya saya percaya.
Jika memang saya benar mencintai Tuhan, maka seharusnya saya percaya bahwa Ia akan lebih mencintai saya dengan caraNya.
Saya percaya, bahwa DIA yang benar-benar mencintai saya tak akan menjerumuskan saya pada hal-hal yang buruk. Meskipun Ia bicara dengan bahasa yang tak mesti dapat saya pahami, namun keyakinan ini mutlak berada pada satu titik prasangka yang baik-baik saja pada-Nya.
Dan taukah kalian apa yang terjadi pada saya saat ini?
 Saya berhasil mengikhlaskan laki-laki tampan itu dengan anggapan bahwa dia hanyalah seorang laki-laki baik yang tak diciptakan untuk saya, mungkin untuk perempuan mana.. entahlah.
Saya berhasil menjalani hari-hari saya dengan lebih santai, dengan satu keyakinan: jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang saya inginkan, berarti ada yang lebih baik yang sedang disiapkan Tuhan untukku.
Lalu pada suatu hari Tuhan mempertemukan saya lagi dengan seorang lelaki. Lelaki ajaib yang dengan segala kekurangannya mampu melengkapi saya yang bukan apa-apa ini. Dia, yang kadang membuat saya malu karena selalu minta sesuatu pada Tuhan melebihi dari apa yang dapat saya lakukan untuk-Nya.
Rasanya masih tak percaya kalau sebentar lagi kami akan menikah….. (semoga Tuhan benar-benar meridhoi kami..)

Saya tau, cerita saya tidak akan berakhir sampai disini. Laki-laki ini bukanlah manusia sempurna, seperti halnya saya. Akan ada banyak masalah yang menghadang kami nanti. Tapi apa lagi yang perlu dikhawatirkan saat kita percaya bahwa Tuhan ada dibalik itu semua? Adakah hal lain yang patut kita syukuri selain besarnya rasa cinta kita pada-Nya?
Rasanya tidak ada…
Karena jika kita telah memputuskan untuk jatuh cinta pada-NYA, maka percayalah, hanya cinta-NYA yang tak akan pernah membuat kita luka…


Comments

Popular posts from this blog

Untuk seorang teman yang sedang bersedih ;)

Akan ada saat dimana kamu merasa begitu rapuh, bahkan terlalu rapuh untuk sekedar membohongi diri bahwa kamu sedang baik-baik saja. Air mata itu tak dapat lagi kamu tahan dengan seulas senyum yang dipaksakan, hingga pada akhirnya wajahmu akan membentuk ekspresi bodoh dengan mata yang berulang-kali mengerjap demi menahan bulir-bulir air yang hendak membanjir dipipi, lalu mengalir kedasar hati. Itulah saatnya kamu untuk berhenti berlagak kuat. Akui saja kalau kamu sedang kalah, kalah pada penguasaan diri yang biasanya selalu kau lakukan dengan baik. Kadang, terus-menerus menipu diri dengan berkata bahwa kamu baik-baik saja -padahal kamu remuk-redam didalam- malah akan semakin membuatmu terluka. Lepaskan… tak perlu lagi kau tahan, Suarakan, untuk apa kau bungkam? Tunjukkan! Tak perlu lagi dipendam… Jujur pada diri sendiri adalah wujud penghargaan paling tinggi pada diri sendiri. Kamu tau? Walaupun seluruh dunia memalingkan wajahnya darimu, ketika kamu   jujur ...

Ini ceritaku, apa ceritamu?

Berawal dari kebencian saya terhadap sayur pare, saya jadi sensitive mendengar segala sesuatu tentang jenis sayuran tersebut. Entah apa dosa pare terhadap saya, kebencian saya terhadap sayur imut tersebut seolah sudah mendarah daging dalam diri saya sejak kecil. Tidak ada alasan mengkhusus mengapa saya begitu menaruh sikap antipati terhadap pare. Mungkin hanya karena rasanya yang sangat pahit dan penampilannya yang kurang menarik minat saya. Lagipula tidak banyak makanan olahan yang dihasilkan dari sayur pare, tidak seperti kebanyakan sayur lain seperti bayam yang juga tidak begitu menarik minat saya, tapi kemudian menjadi cemilan favorit saya ketika penampakannya berubah menjadi keripik, yang lebih tenar dengan nama ’keripik bayam’. Terlepas dari kebencian saya yang mendalam terhadap pare, ternyata diam-diam saya merasa penasaran terhadap sayur tersebut. Apalagi melihat kakak saya sendiri yang sangat menggemari sayur tersebut. Apakah rasa pare yang begitu pahit tersebut sangat w...

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memera...