Senja baru saja menetas dibibir pantai, menggiring
burung-burung gereja berarak-arak pulang, bergandeng-gandengan. Riuh celoteh
mereka tak membuyarkan lamunanku. Anganku terbang pada satu titik dimasa
kanak-kanakku. Seperti berputar-putar dilorong waktu, kutemukan diriku dengan
tubuh lebih kecil dan gigi-gigi ompong disana-sini.
Seperti
biasa, aku kecil sore itu hanya dapat memandangi sosok laki-laki dengan
punggung tegap yang membelakangiku. Laki-laki itu sibuk dengan selembar koran,
menyeruput kopi, mengacuhkanku. Pun dihari-hari berikutnya, aku kecil begitu
setia menemani sorenya dengan diam. Duduk diantara sepi yang menari-nari. Tanpa
suara, aku begitu mencintainya.
Tahun
pun beranjak dari masa itu. Masih di sore yang sama, kupandangi punggung kekar
itu dengan tatapan sayu. Rindu hati yang merayu untuk bercengkrama dengannya
urung dengan niatannya. Ia terlalu kaku untuk kusentuh dengan sapaan sayangku.
Terlebih mengecup pipinya, apalagi duduk dipangkuannya. Lupakan saja!
Waktu
semakin merayap mengantarkanku pada usia remaja. Telah berpuluh, beratus sore
kutinggalkan Ia sendiri yang larut dengan koran dan kopinya. Tak lagi kurasakan
sepi. Duniaku, hariku, soreku kini penuh sesak oleh riuh tawaku dengan
teman-temanku. Sejenak kulupakan cintaku padanya yang selalu mengacuhkanku.
Kunikmati hari-hari dengan mengacuhkannya jua. Kuhampiri Ia hanya ketika aku
butuh segepok uang untuk membeli sejumput kesenangan bersama teman-temanku. Dan
kubanting pintu ketika hanya diam yang mampu Ia berikan. Kecewa, iya. Marah,
pastinya. Tapi tak ada yang dapat kulakukan selain pergi dengan tatapan sendu,
berharap ia akan mengerti betapa kecewanya aku saat itu..
Waktu
masih terus melaju cepat mengantarkanku pada saat dimana aku harus pergi lebih
jauh dari kotaku untuk menuntut ilmu. Dan untuk pertama kalinya, kulihat sorot
matanya sedikit berbeda. Mata abu-abunya meredup. Seakan ada banyak kata yang
ingin Ia sampaikan sebelum keberangkatanku. Namun hanya dengan diam dan selalu
memunggungiku ia berlalu begitu saja. Seakan hanya itu satu-satunya cara yang
dapat dilakukannya untuk mengatakan betapa Ia pun mencintaiku. Padahal jauh
dilubuk hati, aku ingin mendengar sepatah kata darinya. Sekali saja, telingaku
ingin dimanjakan dengan kata-kata ”berhati-hatilah disana anakku, jaga diri
baik-baik puteri kecilku, ayah mencintaimu..”. ah sudahlah.
Air
mataku tumpah bersama sedihku, kecewaku, cintaku, rinduku yang tiba-tiba
menerjang akal sehatku. Sesak dadaku ketika kucium tangannya yang kasar. Dengan
mata berkaca-kaca dan masih dengan diamnya Ia melepaskanku. Baru
kusadari bahwa cinta ini terlalu besar untuk kutahan lagi. Pada diri sendiri
aku berjanji untuk tak membagi cinta ini pada
lelaki manapun, melainkan hanya padanya. Lelaki berjaket cokelat dengan peci
putih itu. Lelaki berpunggung tegap yang selalu mengacuhkanku itu.
Dulu
saat aku begitu marah padanya, aku selalu berharap moment perpisahan ini segera
terjadi. Aku begitu ingin membentangkan jarak sejauh mungkin dengannya. Hingga
tiba-tiba saja deru mesin tua Bis yang akan membawaku bergetar di dasar hatiku,
menggema di kepalaku, menyadarkanku dari
lamunan. AKU TAK INGIN PERGI! Aku ingin
tinggal lebih lama bersamanya, di rumah kami, meski setiap sore harus
kupandangi punggungnya saja tanpa kata-kata.
Dari
kaca jendela yang berembun kucari-cari sosok ayahku. Dibawah keremangan malam
dan redupnya lampu-lampu terminal, kudapati sosoknya yang berdiri kaku, nanar
menatap gerakan bis yang perlahan menjauhkanku darinya. Kulihat ia menyeka air
matanya, dan pipiku kian basah menyaksikan pemandangan itu. Ia melambai, dan
kubalas lambaian tangannya dengan pedih. Bis pun berbelok, dan bayangannya
ditelan baliho besar di gerbang terminal. Sesuatu menyentak naluriku, sebuah
firasat samar yang berkata takkan banyak lagi sore yang akan kulalui
bersamanya.
Aku
terisak disepanjang jalan. Perpisahan selalu terasa pedih bagiku. Entahlah,
kupikir semester depan aku pasti akan pulang dan menemuinya lagi dirumah, namun
kesedihan ini terasa begitu dalam menusuk-nusuk lubuk hatiku. Ku ingat-ingat
sosok ayahku yang pendiam itu, dan kusadari bahwa lelakiku kini semakin tua.
Punggung tegapnya kini terbungkuk. Sorot mata dinginnya kini sayu. Dan semua
itu karena hari-hari keras yang ia lalui untuk menghidupi segala kebutuhanku.
Dan semua itu kubalas dengan wajah masam, pintu yang dibanting, dan kaki yang
menghentak pergi ketika hasrat kanak-kanakku yang ingin memiliki ini-itu tak
jua Ia penuhi.
Terbayang
tahun-tahun terberat yang Ia lalui demi sekepal kebahagiaan untuk anak
istrinya. Dia, selalu menjadi sosok seorang ayah yang kaku, yang jarang tersenyum pada anak-anaknya, namun
begitu kuat kharisma ke-ayahannya. Didekatnya kami merasa nyaman. Didekatnya
kami merasa mendapat perlindungan paling aman.
Aku
ingat pernah melihatnya menangis untuk pertama kali. Ayahku menangis. Ayahku
yang pendiam itu menangis sejadi-jadinya saat kebahagiaannya direnggut oleh
manusia-manusia tamak yang selalu berusaha menjatuhkannya. Kali ini mereka
membakar rumah kami. Dan seakan tak cukup dengan meluluh-lantakkan istana yang
dibangun ayahku, mereka juga ingin merenggut nyawanya, nyawa kami! Sumpah!
Sampai mati aku begitu mengutuk mereka yang telah melukai hati lelakiku. Dendam
ini mendarah daging dalam tubuhku. Membulatkan tekadku untuk mengembalikan
kebahagiaan yang pernah mereka curi darinya. Air mataku semakin deras membanjir
di pipiku. Dengan segenap dayaku, kucintai ia dalam diam yang larut bersama
udara, bersama laju bis yang membawaku pergi.
Siapa
sangka kalau sore itu ternyata benar-benar jadi soreku yang terakhir
bersamanya. Saat kepulanganku terakhir kali kujumpai Ia terkulai lemah di
ranjang rumah sakit berbau obat, begitu menyengat. Seakan tak dapat ku percayai
mataku, sosok lelaki tegap itu kini harus mengalah pada selang yang menancap
selang-seling ditubuhnya yang terlihat lebih kurus itu. Nafasnya
terputus-putus, berat membawa nyawa yang kian gemetar ditubuhnya. Asma Tuhan
membuncah, menyeruak bersama haru yang mengudara menderu-deru kerinduanku.
Kulafadzkan segenggam do’a, berharap-harap matanya akan terbuka seketika,
memandangiku. Tak apalah bila kau tatap
aku dengan tatapan dingin itu lagi. Tapi bangunlah! Bangunlah Ayah!
Namun
kelu. Ia masih sama diamnya seperti waktu-waktu itu. Dengan diam yang berbeda,
yang lebih membunuhku.
Dan
senja kembali menetas dikaki langit. Temaramnya menggerayangi setengah jiwaku
yang pergi bersama lantunan ”laailahaillallah..”
para pelayat yang turut menghantar jasad lelakiku pada persemayaman
terakhirnya.
Kebas
hatiku pada rasa, pada suara. Ini benar-benar sore terakhirku bersamanya.
Kepergiannya membuat tiap soreku tak lagi indah. Takkan pernah indah lagi tanpa
punggung yang selalu membelakangiku itu. Separuh hidupku Ia bawa serta,
membuatku merana. Aku mengiba pada hati yang kian merapuh agar tak semakin
jatuh. Aku harus kuat untukku, untuk jalan kepulangannya, untuk ibu, untuk sisa
kehidupan yang harus kulanjutkan.
Maafkan
aku Ayah. Cintaku padamu terkadang selalu membangunkanmu dari tidur lelapmu
dipangkuan-Nya.
Terimakasih
untuk hari-hari diam kita. Diam yang mebahasakan cintaku padamu, cintamu
padaku.
Terimakasih
untuk tidak memenuhi semua pinta kanak-kanakku dulu, karena dengannya kini aku
mengerti tetang arti sebuah kesederhanaan. Kau membuatku belajar untuk selalu
merasa cukup dengan segala kecukupan yang Tuhan berikan padaku. Kau pun
membuatku belajar bahwa diam jauh lebih baik daripada kata-kata yang mengumbar
untuk kemudian menjadi hambar dihempas udara, lenyap tanpa bekasnya. Baru
kusdarai, Diammu itulah wujud cintamu padaku, pada puteri kecilmu yang takkan
habis cintanya padamu.
Tenanglah
disana Ayahku sayang.. do’akan untuk kebahagiaan yang tengah kuperjuangkan
untukmu. Jika sampai saatnya kita dipertemukan lagi, izinkan aku mengecup
keningmu, dan mencintaimu dengan lebih diam dari caramu. I LOVE YOU DAD.....
Comments
Post a Comment