Beberapa tahun yang lalu, kita telah bersepakat untuk
tetap bersama mengarungi derasnya arus kehidupan ini. Kau tentu ingat, saat itu
kita tengah berada disebuah angkutan umum dalam perjalanan menuju sekolah.
Matahari baru saja merangkak naik, dan hangat sinarnya menelusup dicelah kaca angkutan tua langganan
kita. Diakhir perbincangan singkat itu kita sama-sama berikrar untuk tak saling
melepaskan genggaman tangan, terkecuali bila tangan Tuhan sendiri yang
berkehendak memisahkan.
Tahun berganti. Aku yang tinggal jauh diluar kota tak
lagi memiliki banyak kesempatan untuk sering bertemu denganmu. Pun kamu, yang
sibuk dengan segudang kegiatan di kampusmu. Telepon dan SMS pun yang semula
sering perlahan menjadi kering. Tak lagi seperti dulu, kini yang terbaca di
layar ponselku hanya sapaan dari seorang yang dulu ku temui begitu sering, kini
terasa begitu asing.
Tanpa ku sadari, waktu telah menggenapkan diri ditahun
keenam sejak kita lulus SMA. Itu artinya, sudah begitu panjang perjalanan yang
kita lalui dijalan kita sendiri-sendiri. Aku yang sibuk menggapai mimpiku, pun
kamu yang larut dengan dunia barumu. Dan sekarang tiba-tiba saja aku teringat
padamu lagi, Di.
Buku harian yang dengan tanpa sengaja kujatuhkan saat
merapikan buku-buku lamaku adalah buku yang penuh bertuliskan namamu dan cerita
keseharian kita di sekolah itu. Mungkin Tuhan sengaja mengingatkanku tentangmu
dengan cara-Nya yang unik. Setelah kubaca halaman demi halamannya, ku sadari
kalau dulu kita tak sekedar dekat, persahabatan kita tak dapat didefinisikan
dengan penjabaran sesederhana itu. Aku menganggapmu saudaraku, begitupun kamu
padaku.
Segera ku raih ponselku dan mencari-cari namamu pada
deretan kontak. Namun sayangnya nomor lama mu itu tak lagi dapat ku hubungi. Entah
kapan tepatnya saat kita terakhir kalinya saling bertegur sapa lewat telepon. Dan
tanpa kusadari itu benar-benar menjadi yang terakhir kudengar suaramu, tawamu
dan lelucon-lelucon konyolmu itu. Setelah itu, kita seolah saling melupakan
satu samalain. Tak saling menghubungi, dan perlahan tak lagi kuingat untuk
menyebut namamu dalam do’a-do’aku.
Tak lagi ku sebut namamu dalam tulisan-tulisan di buku
harianku. Dan tak juga ada rasa penasaran dalam hatiku tentang kabarmu. Sehatkah?
Sibukkah? Aku benar-benar tak tau. Kamu terbenam jauh dibawah dunia baruku, Di.
Perlahan, rindu yang telah begitu lama tenggelam didasar
hatiku kembali menggeliat. Ku buka album foto kita semasa SMP dan SMA. Album foto
bertuliskan Alya & Widi itu menyimpan begitu banyak kenangan saat kita
pernah begitu dekat dulu. Ada sesak yang
perlahan melesak memenuhi rongga dadaku. Dan sesaat kemudian pandanganku
mengabur, aku sadar telah terlalu lama aku melupakanmu, Di. Ku peluk album foto
itu dan menangis sejadi-jadinya.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali ku putuskan untuk berkunjung kerumahmu, Di. Tak
kujumpai seorang pun disana. Biasanya pada jam segitu ibumu sedang menyapu di
halaman, dan kedua adik perempuanmu sudah berangkat sekolah. Sedangkan kamu,
tentu masih kerepotan menguncir rambut panjangmu yang hitam legam. Kamu ingat
kan, kita terlalu sering terlambat sampai disekolah gara-gara kamu. Disepanjang
jalan aku akan terus mengomeli kamu yang dengan tanpa rasa bersalah selalu
tersenyum padaku sambil berjanji “besok
nggak nelat lagi deeehh..”
Dari tetangga sebelah rumahmu aku mendapat informasi
kalau keluargamu telah pindah ke kampung halamanmu di Bandung. Memang sejak ayahmu tiada, keadaan keluargamu
tak semakin membaik. Ibumu tentu kerepotan mencari uang tambahan untuk
membiayai sekolah kedua adikmu. Kalau kamu, aku tau sejak dulu kamu begitu
mandiri. Pagi sampai siang kamu bersekolah seperti biasa, dan siangnya sampai
sore kamu menjaga toko milik Koh Aci. Biasanya aku akan betah nongkrong di toko
itu untuk menemanimu. Sukurlah Koh Aci berbaik hati memperbolehkan karyawan illegal
sepertiku berada di tokonya lama-lama setiap hari.
Setelah mempertimbangkan berkali-kali, akhirnya Minggu depannya
ku putuskan untuk
berangkat ke Bandung seorang diri. Berbekal nekat dan restu
dari ibu aku pun berangkat. Dari Bali ke Bandung memakan waktu kurang lebih dua
hari semalam kalau ditempuh dengan menggunakan Bus malam. Tak apalah, demi
menjumpaimu, Di, ketempuh perjalanan sejauh itu. Selembar kertas bertuliskan
alamat rumahmu disana menjadi penyemangatku. Tak akan lama lagi kujumpai kamu, sahabat kecilku. Kamu pasti terkejut
sekali dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Membayangkannya saja aku sudah
senang. Kuharap kedatanganku ini dapat sedikit membayar lamanya waktu kita tak
saling mengabari.
Pagi-pagi sekali, Bus yang membawaku akhirnya sampai di
terminal terakhir yang terdekat dengan rumahmu. Melalui petunjuk seorang
penumpang yang duduk disebelahku, aku harus naik ojek untuk sampai pada alamat
rumahmu. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumahmu. setelah
menyerahkan beberapa lembar uang ribuan pada tukang ojek yang mengantarku,
dengan langkah mantap kudekati rumah sederhanamu. Sejenak ku lirik bungkusan
oleh-oleh yang telah kusiapkan untukmu, ibu, dan adik-adikmu. Aku sungguh rindu
kalian!
Sesuai dengan dugaanku, ibumu sangat sangat terkejut saat
melihatku berdiri didepan pintu rumahmu dengan wajah kucel dan kerudung yang
tak lagi rapi. Dipeluknya aku erat-erat, Ia menangis, Di.
Ku tatap wajah ibumu lama dan aku tersenyum padanya. Namun
tangisnya semakin menjadi. Aku jadi bingung sendiri…
“Alya juga kangen Ibu.. maaf ya bu, alya jarang ngabarin.
Alya baru aja lulus bu, Alhamdulillah bulan depan sudah bisa mengajar di SMA 2”
ceritaku pada ibumu.
Namun ibu hanya terdiam tak menanggapiku. Air matanya
masih mengalir, semakin deras.
Winda dan Wardah adik-adikmu datang bergabung dengan kami
di ruang tamu. Sama seperti ibu, mereka pun memelukku sangat lama. Seperti berusaha
menumpahkan kerinduan yang telah begitu tua. Ku balas pelukan mereka, lalu ku
pandangi mereka satu persatu. Ah, Di.. adik-adikmu sudah besar-besar. Mereka pasti
telah duduk di bangku SMA sekarang. Diusia mereka itu kita pernah begitu
bahagia dulu. Iya kan, Di?
Sedari tadi tak sedikitpun kujumpai tanda-tanda
keberadaanmu, Di. Bahkan setelah duduk selama kurang lebih setengah jam dan
ngobrol tentang banyak hal bersama ibu dan adik-adikmu. Pikirku mungkin kamu
sedang berada ditempat kerja. Karena tak satupun dari ibu dan adik-adikmu yang
menyebut namamu sejak tadi, maka kuberanikan diri untuk bertanya.
“Widi pulang jam berapa ya bu biasanya?” Ibu pun terdiam.
Senyum yang sempat merekah saat mendengar celotehku tadi kembali memudar. Wajahnya
dengan cepat berubah muram.
Setelah saling
memandang sesaat, akhirnya Winda membuka suara. “Kak Alya mandi dulu aja, nanti
winda antar ketempat kak Widi. Dia pasti senang melihat kak Alya datang”
“Hahaha.. okedeh, aku mandi dulu. Sekalian makan, Ibu
masak apa nih?” selorohku sambil berjalan kearah dapur. Sama seperti dulu,
keluargamu sudah menganggapku bagian dari kalian. Aku bebas makan, mandi,
berkeliaran dirumah kalian dengan leluasa. Begitupun kamu dirumahku. Ibuku
pernah bilang, rasanya anak beliau nambah satu lagi sejak kamu sering
kerumahku.
Setelah mandi, makan dan berdandan ala kadarnya ku
hampiri winda dan Wardah yang telah menungguku di beranda. Ternyata Ibu ikut
juga. Hmm.. sepertinya kali ini kamu benar-benar terkejut oleh kedatangan kami
ketempat kerjamu. Sekotak Blackforest kesukaanmu telah kusiapkan dalam kantong plastik
lengkap dengan lilin ber-angka 25. Walaupun ulangtahunmu telah berlalu satu
minggu, aku rasa tak ada salahnya ku berikan kejutan ini untukmu. Ku harap kau
mau memaafkan ku.
Tanpa bertanya apapun kuikuti langkah ibu dan
adik-adikmu. Kami berjalan kaki lumayan jauh, Di. Tak jauh didepan kami,
terlihat sebuah lahan pemakaman tempat ayahmu disemayamkan. Ku percepat
langkahku mendahului mereka, “Alya mampir sebentar ya bu, kangen bapak!”
Ibu tersenyum saja melihat tingkahku.
Sampai di makam bapak, segera kupanjatkan do’a-do’a dank
u katakana dalam hati betapa aku merindukan sosok beliau. Dulu saat kita masih
kecil, almarhum ayahmu selalu membelikan oleh-oleh untukku juga. Sering juga
aku digendongnya dilengan kirinya, dan kamu digendong dilengan kanannya. Namun sejak
winda dan wardah lahir, tubuh kita tampaknya terlalu berat sehingga bapak tak
pernah menggendong kita berdua lagi. Hahhaha
Ku pandangi Ibu, Winda, dan wardah satu persatu. Mereka nampak
sedang khusuk berdo’a, entah apa. Selama beberapa saat aku ikut larut dalam
nostalgia keluargamu, Di. Bisa kurasakan kerinduan yang dirasakan oleh
adik-adikmu, karena aku pun sepertimu, ditinggal Ayah saat usiaku masih begitu
muda untuk mengerti arti kehilangan.
Persis disebelah makam Ayahmu, kulihat sebuah makam yang
nampaknya belum lama. Pada nisannya tertulis sebuah nama yang sangat ku kenal,
Di. Ingatanku bekerja begitu keras saat kucoba berpikir siapa lagi yang memiliki
nama itu selain kamu. Widi Lestari, Lahir tanggal 18 November 1989, wafat
tanggal 25 November 2013. Itu namamu, Di!
Bagai disambar petir, kutatap mata Ibu yang telah basah
denga penuh tanda tanya. Benarkah yang kulihat itu? Tak mungkin Widi telah
pergi.. rasanya sungguh sangat tak mungkin!
Ibu menangis sejadi-jadinya, begitupun Winda dan Wardah. Mereka
tak sanggup berkata apa-apa. Dan siang itu, sinar matahari yang begitu terik
tak sedikitpun menembus celah hatiku yang seketika muram. Aku kehilangan
kata-kata, sungguh… aku tak tau harus berkata apa. Ku peluk nisanmu saat
tangisku pecah. Suara adzan dzuhur yang bergema dari surau tak jauh dari makam
pun terdengar ngilu dikupingku.
Di, haruskah kau pergi secepat itu?
Ataukah aku yang datang terlambat menemuimu?
Terbata-bata Ibu bercerita tentang kamu beberapa tahun
terakhir ini. Aku tak pernah sedikitpun menyangka bahwa sahabat kecilku akan
menjalani kehidupan yang begitu pelik.
Selama tiga tahun belakangan ini kamu menyimpan rahasia
sakitmu seorang diri. Pantas saja dulu kau sering mengeluhkan sakit di dadamu. Sesekali
kau ceritakan padaku kalau kamu kadang merasa kesulitan bernapas. Ku pikir
semua itu karena kamu stress dengan kegiatan kampusmu. Seperti biasanya, hanya
ku sarankan kamu banyak istirahat dan kalau perlu temui dokter untuk memastikan
keadaanmu.
Terakhir kali kau telepon aku, kudengar suaramu begitu
lirih. Tapi aku yang sedang sumpek dengan tugas-tugasku tak begitu
memperdulikan ucapanmu. Aku lupa kamu bilang apa waktu itu, yang kuingat hanya
permintaanmu agar aku segera pulang saat liburan semester nanti. Saat kutanya
kenapa tiba-tiba kamu memintaku untuk cepat pulang, katamu kamu ingin main ke sekolah
kita sekedar untuk bersilaturrahmi dengan guru-guru SMA kita dulu. Ada-ada saja
mintamu, Di.
Seandainya saja saat itu perhatianku tak terpecah antara
tugas, pacarku yang bajingan dan teleponmu, aku tentu akan mendengarkan semua
ucapanmu baik-baik. Namun sayangnya, segera ku katakana aku sibuk saat kamu
belum selesai bicara. Ada rasa bersalah saat teleponnya telah kamu tutup. Saat
itu aku berpikir untuk meneleponmu kembali setelah segala hal yang
memusingkanku dapat kuatasi satu persatu. Tapi lama setelah hari itu, aku tak pernah
meneleponmu lagi. Dan telepon itu benar-benar menjadi yang terakhir bagi kita.
Tuhan, apa yang telah kulakukan pada Widi sahabatku?
Tangisku semakin menjadi saat kuingat bagaimana ku
lupakan kamu beberapa tahun paling sulit dalam hidupmu. Kata Wardah, kamu
sengaja tak mengizinkan siapapun mengabarkan padaku tentang penyakitmu. Katanya,
kamu takut aku terganggu.
Pasti sakit kan, Di? Seberapa sakit? Sebelah mana yang
sakit? Obatnya sudah diminum? Ahh.. harusnya pertanyaan-pertanyaan itu
kutanyakan padamu tiap hari kalau saja kutau bagaimana keadaanmu. Aku tak
pernah mengira kalau kanker paru-paru itu akan membawamu pulang secepat ini…
Tuhan, apakah aku masih berhak untuk meminta maafnya?
Pada akhirnya, penyesalan ini tak akan menghidupkanmu
kembali. Dan tak akan dapat mengembalikan beberapa tahun terakhir saat namamu
perlahan tenggelam didasar keegoisanku sendiri.
Ada banyak kata “seharusnya” yang satu persatu menusukku
begitu perih di ulu hati. Seharusnya ku telepon kamu lebih sering, seharusnya
kutanyakan kabarmu selalu, seharusnya kamu tak pernah hilang dari ingatanku,
dan seharusnya….kamu selalu menjadi sosok yang penting dihatiku. Tapi nyatanya
tak ku lakukan itu, Di..
Nyatanya kepergianmu ini benar-benar menjadi hantaman
yang begitu sakit buatku. Kamu pergi begitu tiba-tiba. Atau aku yang terlambat
datang menemuimu?
Dan jawabannya adalah iya. Nyatanya, semua ini bermula
dari kesalahanku sendiri. aku salah karena telah mengabaikanmu demi dunia
baruku. Kupikir, kamu pun tengah sibuk menyongsong mimpi-mimpimu sama
sepertiku. Tapi semakin kupikir kembali, seharusnya aku tak pernah berpikiran
seperti itu.
Jarak seharusnya bukanlah menjadi penghalang untuk kita
tetap merasa dekat. Bagaimanapun juga, kita sebenarnya tak memiliki alasan
untuk saling melupakan. Dunia baru, kesibukan baru, teman-teman baru yang
perlahan semakin akrab seharusnya tak membuatku kemudian melupakanmu begitu
saja.
Nyatanya, kamu tak sekedar teman lama seperti anggapanku
selama ini. Nyatanya, waktu tak akan pernah kembali lagi untuk memberiku
kesempatan membayar beberapa tahun lamanya kamu hilang dari ingatanku. Atau mungkin,
sebenarnya aku tak pernah melupakanmu.. hanya saja, kuanggap kau tak sepenting
dulu. Setidaknya, kamu tak lagi menjadi satu-satunya teman dekatku. Maafkan aku,
Di.
Keesokan harinya, setelah berpamitan pada Ibu dan
adik-adikmu aku kembali pulang ke Bali. Kau tau, Di? Aku mungkin akan mati oleh
rasa bersalah jika aku berada lebih lama dirumahmu. Tapi pelukan Ibu
menguatkanku. Katanya, kedatanganku berarti begitu banyak baginya. Setidaknya,
dengan melihatku saja kerinduan Ibu padamu dapat sedikit terobati. Begitupun Winda
dan Wardah. Mereka menangis saat aku berpamitan pulang.
Hatiku seperti pecah dan tercecer disetiap langkahku yang
menjauh dari rumahmu, Di. Aku benar-benar kehilanganmu. Didalam Bus yang akan
membawaku pulang, ku buka halaman demi halaman buku harian yang kau tulis. Buku
itu diserahkan padaku, Di. Ibu bilang, mungkin ada baiknya aku menyimpan
kenang-kenangan terakhir darimu. Dan benar saja, dalam buku itu, disetiap
halamannya kamu menulis tentang kita, tentang impian-impian masa kecil kita, tentang
aku yang selalu kau sebut dalam setiap do’a.
Dan sekali lagi, aku merasa tengah mendengar kamu bercerita. Maafkan aku, Di.
draft
draft
Comments
Post a Comment