Gadis kecil
itu baru saja menggenapkan usianya di angka sepuluh saat tubuhnya dikuasai
kemarahan yang dalam sekejap menyeluruh, dalam satu tarikan nafas dengan udara
yang sama dan aliran darah yang sama, kemarahan itu ada. Teriakan-teriakan
nyalang itu masih terdengar terang, terngiang bahkan saat Ia mengiba pada Tuhan
agar ditulikannya Ia sesaat saja demi mengunci suara-suara yang begitu Ia
benci.
Bulan November
baginya, adalah bulan beraroma dendam yang entah sampai kapan akan mengerami
diri untuk kemudian lahir menjadi benih kebencian tiap saat dijumpainya
sekelompok orang-orang yang telah sempat mengukir luka di bulan Novembernya
yang ceria. Mereka, merebut apa yang Ayahnya perjuangkan dan lalu
menjatuhkannya, dan kemudian mengusirnya dari tanah kelahirannya sendiri.. tak
ubahnya anjing yang sekujur tubuhnya penuh nanah berbau busuk, ayahnya
ditendang..dilempari batu-batu sekepalan tangan. Dibakarnya rumah, dibabatnya
segala tanaman yang tumbuh dihalaman rumahnya, dan kemudian bersholawatlah
mereka seakan-akan telah berhasil membakar iblis paling terkutuk. Bagi mereka
itulah kemenangan. Dan bagi gadis kecil itu, kemenangan itu adalah awal dari
hal paling kesumat dalam sisa hidupnya.
Namun itu
telah begitu lama berlalu. Gadis kecil itu kini telah menjelma menjadi
perempuan dewasa saat untuk pertama kalinya Ia menjejakkan kaki ditanah
kelahiran yang dulu terpaksa Ia tinggalkan. Ditatapnya langit itu, langit yang
menjadi saksi betapa malam itu menjadi malam yang begitu pelik untuk gadis
kecil yang bahkan untuk berteriak saja tak mampu.
Tubuhnya bergidik
tiap saat teringat malam itu. Diingatnya dengan jelas, malam pada bulan
November berpuluh tahun lalu itu purnama sedang bulat sempurna. Cahaya bulan
itu begitu lembut, begitu terang bahkan saat matanya memejam dapat Ia rasakan
terangnya merambat dibalik kelopak matanya yang memerangkap gelap. Wajah ayah
dan ibunya membayang silih berganti. Dengan bayang kelembutan yang sama, dan
tenang yang dibawa juga terasa sama. Malam itu, dengan tanpa curiga Ia
tersenyum bahagia. Sampai tiba-tiba saja sebuah batu sekepalan tangan lelaki
dewasa mendarat diatap seng rumahnya. Satu, dua, berpuluh, beratus lalu entah
berapa banyak lagi yang mampu dihitungnya. Suaranya begitu nyaring, berbarengan dengan
pekik ibunya yang melengking. Malam itu berubah panik. Dan segalanya kembali
gelap. Yang terlihat hanya berpuluh, bahkan beratus batu yang menghujani atap
rumahnya entah bagaimana. Lalu suara-suara teriakan orang-orang itu memburu,
mengepung kesadarannya jauh sebelum Ia dapat memahami apa yang terjadi.
Ia menelan
ludahnya sendiri, getir.
Perempuan itu
menengadah. Menantang langit biru yang menyilaukan mata. Bayang-bayang almarhum
ayahnya kembali terkenang. Melesat tanpa mampu Ia kendalikan. Wajah yang senantiasa tersenyum teduh itupun terlihat
keruh malam itu. Ia tau dalam benak ayahnya terlalu gaduh untuk menjelaskan apa
yang terjadi saat itu. Kepalanya tertunduk, dan bulir-bulir Kristal itu
merembes di pipi keriputnya. Gadis kecil itu merangkul kaki ayahnya dalam
kebisuan yang terasa perih. Dipeluknya lebih dan lebih erat lagi dari yang
dapat dilakukannya. Dingin merayap perlahan, membekukan suara dan semua
pergerakan, memperlambat gerak waktu, membuat malam itu terasa begitu lama. Lalu
entah mengapa, ketidak-berdayaan begitu cepat beranak-pinak dihati ayah dan
anak itu, pada malam itu.
Sudah berpuluh
tahun berlalu sejak kejadian itu. Kini, tak ada yang berubah dari kampung halamannya
itu. Manusia-manusianya masih sama.. jalan besar didepan rumahnya itupun masih
sama. Yang berubah hanyalah beberapa rumah baru yang dibangun entah kapan tak
jauh dari pekarangan rumahnya itu. Yang berubah hanyalah kecintaannya pada kampung
halamannya itu yang dahulu begitu padu, kini pecah dalam serpih yang menancapi
ulu hatinya hingga terasa begitu perih.
Nanar ditatapnya
bangunan tua itu. Bangunan tua yang menjadi saksi saat Ia dilahirkan dan
menghabiskan masa kanak-kanak yang bahagia sampai usianya yang kesepuluh, sampai
kuku-kuku manusia keji itu merobek kehormatan keluarganya.
Ada dendam
yang begitu kentara dalam tiap hembusan nafasnya. Begitupun saat perempuan itu
memejamkan mata, terlihat jelas gurat-gurat yang berjuang keras menahan emosi. Kalau
saja Ia bukan perempuan, kalau saja Ia memiliki cukup kekuatan untuk
melawan..tentu dibabat-habiskannya segala yang terlihat dihadapannya saat itu.
Ia begitu terluka, dan luka itu telah terlalu lama ada disekujur tubuhnya
hingga meresak ke dinding batinnya. Kalau saja Ia api, tentu terbakarlah semua
manusia yang telah begitu keji pada ayahnya malam itu. Tangannya mengepalkan
kemarahan, kemarahan yang teramat sangat. Layaknya bom waktu, dalam sekejap Ia
akan meledak meluluh lantakkan sisa-sisa reruntuhan rumahnya yang dulu
dihancurkan manusia-manusia itu. Ia akan musnah bersama dendamnya, Ia akan mati
dengan sangat emosi. Ia perempuan yang untuk sekejap melupakan kalau Tuhan
dengan tenang-Nya menyaksikan.
Tiba-tiba Ia
tersungkur dalam sujud yang dalam. Diciumnya tanah tempat Ia dilahirkan dengan
matanya yang basah. Tanah itu, meresapi air matanya yang tumpah.. dan mungkin meresapi
darah yang kembali mengucur dari luka hatinya yang kembali menganga. Tanah itu
meresapi segalanya, dan bahkan dendam kesumatnya. Tanah yang sama yang menjadi
saksi betapa di dunia ini ada sekelompok manusia keji yang tega menghancurkan kebahagiaan
keluarganya, yang tega melukai hati ayahnya. Lalu Ia teringat kata-kata Ibunya
kemarin sore saat mereka berdua duduk-duduk di teras mencecap teh beraroma
melati, “di dunia ini tak ada manusia yang terlahir menjadi jahat, nak.. yang
ada hanyalah ambisi, yang merubah mereka dari hakikat mereka sebagai manusia.”
Perempuan itu
ingin memahami kalimat ibunya.
Jika Ia
mendendam begitu rupa, samakah Ia seperti mereka..yang jahat dan berambisi
untuk merusak kebahagiaan mereka juga?
Perempuan itu
kembali mengeja kata-perkata dari kalimat yang diucapkan ibunya,
Jika, Ia
terlahir dari rahim ibu yang baik dan tumbuh dipelukan ayah yang juga baik,
jahatkah ia ketika pada akhirnya Ia menjadi marah saat kehormatan keduanya
diinjak-injak didepan kedua matanya?
Dan tanah
yang Ia cium itu kembali meresapi pertanyaan-pertanyaan itu. Tanpa jawaban,
perempuan itu merasa lega. Tuhan bicara padanya lewat bahasa yang sebenarnya
belum mampu dipahaminya dengan benar. Hanya saja Ia mencoba percaya, bahwa
segala yang terjadi pada keluarganya akan dibayar dengan sesuatu yang lain
dikesempatan lain. Tuhan kan memang begitu, sukanya menguji seberapa sabar
hambaNya akan bertahan, dan atau seberapa kuat Ia menahan diri untuk tak melawan
dengan kejahatan yang sama.
Perempuan itu
kembali teringat akan kalimat lain dari ibunya, “kelak manusia yang mati akan
dipertemukan kembali di padang Mahsyar untuk dimintai pertanggungjawaban. Jika
anakku masih anak sholeha yang dulu, Ia tentu tau..bahwa kebaikan akan selalu
menang. Mungkin tak saat ini, namun nanti.”
Iya,
kemenangan akan selalu berpihak pada hati yang baik. Dan semoga kebaikan hati
itu bukanlah termasuk pada hati yang terlanjur memendam dendam.
Biar Tuhan
yang membalasnya.
Comments
Post a Comment