Kali ini ku
mengerti hidup sebagai sesuatu yang berbeda. Bukan lagi sekedar penjabaran
betapa perihnya luka demi luka, atau sesuatu yang hanya sekedar menguras air
mata. Tidak. Hidup tak sejahat itu untuk tak selalu berpihak pada kita: manusia
yang seolah diciptakan untuk mau tak mau terlibat di dalamnya.
Kehidupan
adalah suatu yang niscaya, sebuah amanah yang dititipkan untuk membentuk kita
menjadi seorang yang bertanggung jawab, ataukah lalai pada akhirnya. Ia adalah
sebuah madrasah tempat kita belajar dan belajar dari segala hal, dari segala yang
hidup ini berikan pada kita untuk kemudian kita menjadi pandai melihatNya
dengan akal, juga dengan hati yang tak lagi dangkal.
Jika dihatimu masih ada nama Tuhan, masihkah telunjukmu akan menuding kehidupan dengan gurat muka penuh kemarahan?
Pernah ku
rasakan betapa hidup tak adil padaku. Saat ayah sedang meregang nyawa diujung
usianya yang ke tujuh puluh Sembilan, aku yang berduka layaknya sebuah buku
yang kehilangan halaman terpentingnya. Kemudian, aku dipaksa akrab dengan
asingnya kehidupan setelah ketiadaannya: dia yang begitu penting dalam hidupku.
Aku menangis,
dan tak sekedar menangisi kepergiannya. Aku menyesal, dan tak sekedar menyesali
keterlambatanku menyatakan betapa aku mencintainya. Aku hanya merasa Tuhan
begitu tak adilnya padaku. Ia biarkan aku memintal luka dalam dada, hingga tak
ada lagi celah untuk ku simpan udara. Dan
bahkan hingga kurasa telah kering kelenjar air mataku. Aku hanya merasa Tuhan
begitu tak adilnya, hingga membiarkan hari-hariku menjadi kosong tetapi penuh akan
gemuruh rindu demi rindu yang kian hari kian terasa ngilu.
Lalu pada
satu titik yang tak ku sangka-sangka, Tuhan bicara padaku. Lewat sebuah mimpi
yang membuat mataku basah selagi masih lelap tidurku. Hadirnya, yang entah Ia
merupakan rindu yang menjelma sosoknya, ataukah memang diizikanNya dia datang
berwujud nyata dengan sorban putih melilit dikepalanya. Dan baju itu, serasi
dengan sarung yang dikenakannya, Ia berpakaian serba putih…seputih latar
mimpiku, begitu jernih. Aku sungguh melihatnya lagi. Ayah yang begitu ku
rindukan tengah berdiri disisi ranjangku, sedang aku berada diambang antara
lelap dan terjagaku.
Sungguh, Ia
tersenyum padaku. Dan kalau saja mataku tak segera membanjir oleh bulir air
yang seketika deras mengalir, aku tentu dapat menatapnya lebih lama. Merekam tiap
detik yang kuharap melambat seketika. Tapi, sayangnya sosok berpakaian serba
putih yang begitu mirip dengan ayah itu segera mengabur, seperti kabut yang
perlahan menipis, pudar lalu benar-benar hilang sesaat kemudian. Ia pergi,
lagi. Meninggalkan hati yang kebas –tak tau harus bagaimana kusebut perasaanku
saat itu-, ia benar-benar telah pergi. Sedang aku, terbangun dengan tangan dan
kaki yang masih kaku, dan keringat membanjir disekujur tubuhku. Sedang mataku?
Terlalu nyata jika kusebut itu mimpi, namun ia begitu samar untuk kuyakini nyata
hadirnya. Dan mataku yang basah adalah satu-satunya bukti, kalau dia
benar-benar datang kepadaku.
Lalu hal-hal
semacam mimpi atau bukan itu tak lagi penting untuk ku perdebatkan dengan diri
sendiri.
Aku terlalu
sibuk tersungkur dalam syukur yang dalam.
Tuhan sedang
mengajarkanku bab baru dalam proses belajarku, dalam hidupku. Bahwa ikhlas
adalah sesuatu yang ada didalam hati. Layaknya cinta, Ia suatu yang tak dapat
jemariku sentuh, bukan pula sesosok yang dapat ku rengkuh. Ia adalah sebuah
rasa yang hanya dapat ku rasakan setelah ku alami sebuah kehilangan. Dan kehilangan
yang begitu pahit itulah yang rupanya mampu mendewasakan.
Bisa jadi,
kuanggap kehilangan ayah adalah pukulan telak yang telah membuatku ambruk dan
terserak dalam puing-puing berlumur darah. Namun saat ikhlas itu dapat ku raih
dan kusimpan rapat dalam hati, aku tak lagi menangisi luka rinduku dengan
sebegitu pilu.. melainkan teduh hatiku tatkala segala rindu itu ku untai dalam
do’a demi do’a hingga ku rasa lebih dan lebih dekat lagi Tuhan memotong
jarakNya denganku.
Tuhan… hidup
ini bukan lagi ku pusingkan sebagai sesuatu yang sekedar bermula dan pasti
memiliki akhirnya. Aku, kini tengah berjuang untuk mengeja kata per kata yang
Kau tulis dalam rencana hidup-matiku. Toh, mati adalah hal yang niscaya terjadi
pada setiap makhluk yang bernyawa, begitupun aku.
Bukan kematian itu yang menakutiku, melainkan jauhnya hatiku dari keyakinan atas janji-janjiMu saat nyawaku meregang nanti.
Aku tak ingin
kembali menjadi gadis dungu yang hanya mampu menudingkan telunjuk dengan raut
penuh kemarahan pada-Mu. Aku pun tak ingin membasahi mataku dengan air mata penuh
kekecewaan atas apa yang ku anggap tak adil dari-Mu. Aku hanya ingin, Engkau
memeluk hatiku lebih erat..lebih lekat.
Bukankah Kau
telah berjanji untuk berlari padaku saat ku berjalan menujuMu? Lalu ikat kaki
ku agar tak selangkahpun aku menjauh dari-Mu.
Bukankah telah
kau tegaskan berulang kali dalam banyak firmanMu tentang ke-maha-pengasihMU? Lalu
kasihi aku, Tuhan.. kasihi aku yang tak ingin membebat luka seorang diri lagi. Jauhkan
rasa sepi dan keinginan untuk selalu menyendiri. Bicaralah padaku dalam semua
bahasa dan buat aku mengertinya, buat aku belajar untuk tak lagi perduli pada
bagaimana caraku memahami kehidupan ini,
………hanya beri
aku kekuatan dalam menjalaninya.
Itu saja.
Comments
Post a Comment