Skip to main content

Saat Tuhan Bicara Lewat Sebuah Kehilangan



Kali ini ku mengerti hidup sebagai sesuatu yang berbeda. Bukan lagi sekedar penjabaran betapa perihnya luka demi luka, atau sesuatu yang hanya sekedar menguras air mata. Tidak. Hidup tak sejahat itu untuk tak selalu berpihak pada kita: manusia yang seolah diciptakan untuk mau tak mau terlibat di dalamnya.

Kehidupan adalah suatu yang niscaya, sebuah amanah yang dititipkan untuk membentuk kita menjadi seorang yang bertanggung jawab, ataukah lalai pada akhirnya. Ia adalah sebuah madrasah tempat kita belajar dan belajar dari segala hal, dari segala yang hidup ini berikan pada kita untuk kemudian kita menjadi pandai melihatNya dengan akal, juga dengan hati yang tak lagi dangkal.


Jika dihatimu masih ada nama Tuhan, masihkah telunjukmu akan menuding kehidupan dengan gurat muka penuh kemarahan?


Pernah ku rasakan betapa hidup tak adil padaku. Saat ayah sedang meregang nyawa diujung usianya yang ke tujuh puluh Sembilan, aku yang berduka layaknya sebuah buku yang kehilangan halaman terpentingnya. Kemudian, aku dipaksa akrab dengan asingnya kehidupan setelah ketiadaannya: dia yang begitu penting dalam hidupku.

Aku menangis, dan tak sekedar menangisi kepergiannya. Aku menyesal, dan tak sekedar menyesali keterlambatanku menyatakan betapa aku mencintainya. Aku hanya merasa Tuhan begitu tak adilnya padaku. Ia biarkan aku memintal luka dalam dada, hingga tak ada lagi celah untuk ku simpan udara.  Dan bahkan hingga kurasa telah kering kelenjar air mataku. Aku hanya merasa Tuhan begitu tak adilnya, hingga membiarkan hari-hariku menjadi kosong tetapi penuh akan gemuruh rindu demi rindu yang kian hari kian terasa ngilu.

Lalu pada satu titik yang tak ku sangka-sangka, Tuhan bicara padaku. Lewat sebuah mimpi yang membuat mataku basah selagi masih lelap tidurku. Hadirnya, yang entah Ia merupakan rindu yang menjelma sosoknya, ataukah memang diizikanNya dia datang berwujud nyata dengan sorban putih melilit dikepalanya. Dan baju itu, serasi dengan sarung yang dikenakannya, Ia berpakaian serba putih…seputih latar mimpiku, begitu jernih. Aku sungguh melihatnya lagi. Ayah yang begitu ku rindukan tengah berdiri disisi ranjangku, sedang aku berada diambang antara lelap dan terjagaku.

Sungguh, Ia tersenyum padaku. Dan kalau saja mataku tak segera membanjir oleh bulir air yang seketika deras mengalir, aku tentu dapat menatapnya lebih lama. Merekam tiap detik yang kuharap melambat seketika. Tapi, sayangnya sosok berpakaian serba putih yang begitu mirip dengan ayah itu segera mengabur, seperti kabut yang perlahan menipis, pudar lalu benar-benar hilang sesaat kemudian. Ia pergi, lagi. Meninggalkan hati yang kebas –tak tau harus bagaimana kusebut perasaanku saat itu-, ia benar-benar telah pergi. Sedang aku, terbangun dengan tangan dan kaki yang masih kaku, dan keringat membanjir disekujur tubuhku. Sedang mataku? Terlalu nyata jika kusebut itu mimpi, namun ia begitu samar untuk kuyakini nyata hadirnya. Dan mataku yang basah adalah satu-satunya bukti, kalau dia benar-benar datang kepadaku.

Lalu hal-hal semacam mimpi atau bukan itu tak lagi penting untuk ku perdebatkan dengan diri sendiri.

Aku terlalu sibuk tersungkur dalam syukur yang dalam.

Tuhan sedang mengajarkanku bab baru dalam proses belajarku, dalam hidupku. Bahwa ikhlas adalah sesuatu yang ada didalam hati. Layaknya cinta, Ia suatu yang tak dapat jemariku sentuh, bukan pula sesosok yang dapat ku rengkuh. Ia adalah sebuah rasa yang hanya dapat ku rasakan setelah ku alami sebuah kehilangan. Dan kehilangan yang begitu pahit itulah yang rupanya mampu mendewasakan.

Bisa jadi, kuanggap kehilangan ayah adalah pukulan telak yang telah membuatku ambruk dan terserak dalam puing-puing berlumur darah. Namun saat ikhlas itu dapat ku raih dan kusimpan rapat dalam hati, aku tak lagi menangisi luka rinduku dengan sebegitu pilu.. melainkan teduh hatiku tatkala segala rindu itu ku untai dalam do’a demi do’a hingga ku rasa lebih dan lebih dekat lagi Tuhan memotong jarakNya denganku.

Tuhan… hidup ini bukan lagi ku pusingkan sebagai sesuatu yang sekedar bermula dan pasti memiliki akhirnya. Aku, kini tengah berjuang untuk mengeja kata per kata yang Kau tulis dalam rencana hidup-matiku. Toh, mati adalah hal yang niscaya terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa, begitupun aku.


Bukan kematian itu yang menakutiku, melainkan jauhnya hatiku dari keyakinan atas janji-janjiMu saat nyawaku meregang nanti.


Aku tak ingin kembali menjadi gadis dungu yang hanya mampu menudingkan telunjuk dengan raut penuh kemarahan pada-Mu. Aku pun tak ingin membasahi mataku dengan air mata penuh kekecewaan atas apa yang ku anggap tak adil dari-Mu. Aku hanya ingin, Engkau memeluk hatiku lebih erat..lebih lekat.

Bukankah Kau telah berjanji untuk berlari padaku saat ku berjalan menujuMu? Lalu ikat kaki ku agar tak selangkahpun aku menjauh dari-Mu.

Bukankah telah kau tegaskan berulang kali dalam banyak firmanMu tentang ke-maha-pengasihMU? Lalu kasihi aku, Tuhan.. kasihi aku yang tak ingin membebat luka seorang diri lagi. Jauhkan rasa sepi dan keinginan untuk selalu menyendiri. Bicaralah padaku dalam semua bahasa dan buat aku mengertinya, buat aku belajar untuk tak lagi perduli pada bagaimana caraku memahami kehidupan ini,

………hanya beri aku kekuatan dalam menjalaninya.

Itu saja.

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..