Seharusnya
aku telah mengerti sejak hari saat langkahnya benar-benar jauh meninggalkanku
untuk pertama kali, bahwa tak akan ada lagi dia di hari-hari setelahnya.
Seharusnya aku pun telah paham bahwa hari itu benar-benar menjadi yang terakhir
kali aku melihatnya. Tak akan ku temui dia yang tersenyum lagi setelah hari
itu, takkan ada lagi dia yang marah-marah setelah sore yang sendu itu.
Seharusnya
aku t’lah benar-benar menyadari bahwa perginya benar-benar untuk selamanya.
Yang berarti bahwa takkan ada lagi dia dihari-hari specialku selanjutnya.
Takkan ada lagi sosoknya yang kulihat dipagi hari tertanggal delapan Mei
setelah hari itu. Tak akan ada lagi lelaki dengan peci putih itu yang memintaku
memanaskan air untuk menyeduh kopi. Atau, lelaki yang suaranya saat adzan
mengiris-iris hatiku.
Dua ribu sembilan,
pada subuh di penghujung bulan desember. Itulah kali terakhir aku melihatnya.
Lelaki pendiam itu. Lelaki yang menggendongku untuk pertama kalinya pada
delapan Mei bertahun-tahun silam. Lelaki yang membisikkan Adzan ditelinga kecilku.
Lelaki yang pertama kalinya memperkenalkan iman kepadaku.
Tuhan, besok adalah delapan-Meiku yang
kesekian tanpanya. Kau tau kan kalau rinduku masih (selalu) sama besarnya untuk
dia? Tapi entah mengapa aku menangis. Aku bukan menangis untuk waktu yang
begitu cepat larinya hingga membawaku menginjak usia dua puluh empat dalam
sekejap mata, bukan. Hanya saja aku merasa seperti terjebak. Aku masih terjebak
dalam usia lima saat aku masih nyaman berada dalam gendongannya.
Comments
Post a Comment