Skip to main content

delapan mei




Seharusnya aku telah mengerti sejak hari saat langkahnya benar-benar jauh meninggalkanku untuk pertama kali, bahwa tak akan ada lagi dia di hari-hari setelahnya. Seharusnya aku pun telah paham bahwa hari itu benar-benar menjadi yang terakhir kali aku melihatnya. Tak akan ku temui dia yang tersenyum lagi setelah hari itu, takkan ada lagi dia yang marah-marah setelah sore yang sendu itu.

Seharusnya aku t’lah benar-benar menyadari bahwa perginya benar-benar untuk selamanya. Yang berarti bahwa takkan ada lagi dia dihari-hari specialku selanjutnya. Takkan ada lagi sosoknya yang kulihat dipagi hari tertanggal delapan Mei setelah hari itu. Tak akan ada lagi lelaki dengan peci putih itu yang memintaku memanaskan air untuk menyeduh kopi. Atau, lelaki yang suaranya saat adzan mengiris-iris hatiku.

Dua ribu sembilan, pada subuh di penghujung bulan desember. Itulah kali terakhir aku melihatnya. Lelaki pendiam itu. Lelaki yang menggendongku untuk pertama kalinya pada delapan Mei bertahun-tahun silam. Lelaki yang membisikkan Adzan ditelinga kecilku. Lelaki yang pertama kalinya memperkenalkan iman kepadaku.


Tuhan, besok  adalah delapan-Meiku yang kesekian tanpanya. Kau tau kan kalau  rinduku masih (selalu) sama besarnya untuk dia? Tapi entah mengapa aku menangis. Aku bukan menangis untuk waktu yang begitu cepat larinya hingga membawaku menginjak usia dua puluh empat dalam sekejap mata, bukan. Hanya saja aku merasa seperti terjebak. Aku masih terjebak dalam usia lima saat aku masih nyaman berada dalam gendongannya.

Aku harap dia datang padaku sekali lagi, dalam mimpi pun tak mengapa. Aku hanya ingin mendengar Ia berkata "Selamat ulangtahun, Puteriku.."

Comments

Popular posts from this blog

Untuk seorang teman yang sedang bersedih ;)

Akan ada saat dimana kamu merasa begitu rapuh, bahkan terlalu rapuh untuk sekedar membohongi diri bahwa kamu sedang baik-baik saja. Air mata itu tak dapat lagi kamu tahan dengan seulas senyum yang dipaksakan, hingga pada akhirnya wajahmu akan membentuk ekspresi bodoh dengan mata yang berulang-kali mengerjap demi menahan bulir-bulir air yang hendak membanjir dipipi, lalu mengalir kedasar hati. Itulah saatnya kamu untuk berhenti berlagak kuat. Akui saja kalau kamu sedang kalah, kalah pada penguasaan diri yang biasanya selalu kau lakukan dengan baik. Kadang, terus-menerus menipu diri dengan berkata bahwa kamu baik-baik saja -padahal kamu remuk-redam didalam- malah akan semakin membuatmu terluka. Lepaskan… tak perlu lagi kau tahan, Suarakan, untuk apa kau bungkam? Tunjukkan! Tak perlu lagi dipendam… Jujur pada diri sendiri adalah wujud penghargaan paling tinggi pada diri sendiri. Kamu tau? Walaupun seluruh dunia memalingkan wajahnya darimu, ketika kamu   jujur ...

Ini ceritaku, apa ceritamu?

Berawal dari kebencian saya terhadap sayur pare, saya jadi sensitive mendengar segala sesuatu tentang jenis sayuran tersebut. Entah apa dosa pare terhadap saya, kebencian saya terhadap sayur imut tersebut seolah sudah mendarah daging dalam diri saya sejak kecil. Tidak ada alasan mengkhusus mengapa saya begitu menaruh sikap antipati terhadap pare. Mungkin hanya karena rasanya yang sangat pahit dan penampilannya yang kurang menarik minat saya. Lagipula tidak banyak makanan olahan yang dihasilkan dari sayur pare, tidak seperti kebanyakan sayur lain seperti bayam yang juga tidak begitu menarik minat saya, tapi kemudian menjadi cemilan favorit saya ketika penampakannya berubah menjadi keripik, yang lebih tenar dengan nama ’keripik bayam’. Terlepas dari kebencian saya yang mendalam terhadap pare, ternyata diam-diam saya merasa penasaran terhadap sayur tersebut. Apalagi melihat kakak saya sendiri yang sangat menggemari sayur tersebut. Apakah rasa pare yang begitu pahit tersebut sangat w...

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memera...