Skip to main content

Sak Karepku dewe -_-

Dikisahkan oleh seorang sahabat yang enggan disebutkan namanya. Sebut saja Ngatiri (nama disamarkan). Cerita ini terinspirasi dari secuil kisah cintanya di masa lalu dengan seorang  yang juga nggak boleh disebutkan namanya. Maaf ya pembaca yang budiman, temanku ini emang sok misterius. Tapi sebenarnya orangnya menyebalkan kok, jadi nggak ada hubungannya samasekali sama cerita dibawah ini.
Judulnya ini enaknya apa ya? Jujur saja, menentukan judul dari sebuah cerpen yang disadur dari kisah nyata ternyata susah-susah gampang. Takutnya si Ngatiri nggak berkenan dengan judul yang aku cantumkan. Tapi saat ditanyai pendapatnya soal judul yang sesuai untuk cerpen ini, dia berkata "Kasih judul sak karepku dewe aja..wkwkwkwk" 
hhhh...baiklah Ngatiri. sak karepmu ae wess.. iki loh cerpenmuu sing tak tulis ulang. Lek kamu keberatan sama beberapa part, atau semua, ndang komen.en!! -_-

*nb: endinge iku do'a cek kamu ndang rabi karo mbak memey. ngahahhahaaamiinn :v

Binar matanya begitu terang menyenangkan. Binar yang membuatku tak pernah merasa puas jika memandangnya sepintas. Mata itu seperti bintang dikegelapan malam, berkerlip namun berada jauh dibalik awan. Mata yang menyimpan  sejuta rahasia yang Ia sembunyikan lama. Dan aku, selalu, menikmati terang dari kedua bintang itu sembari diam-diam mencoba menyelinap kedalamnya tiap saat tatapan kami tak sengaja bertemu.

Aku tak tau persisnya apa, namun setiap saat mata kami bertemu ada rasa asing yang diam-diam menelusup dalam dada hingga membuatku gugup. Kau tau kan bagaimana rasanya saat kau gugup? Telapak tanganmu menjadi dingin, dan getar yang menyebalkan itu membuat nyalimu gentar untuk balas menatapnya juga. Lebih-lebih menyapanya. Untuk bertanya langsung siapa namanya? Ah, lupakan saja.

Mungkin aku telah jatuh cinta padanya, kataku mencoba meyakinkan diri. Ya, aku rasa ini memang cinta, karena ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya aku pernah merasakan getar yang sama dari dalam hatiku, getar hebat saat bertemu wanita yang ku sukai.

Namun entah mengapa, kali ini getar itu terasa sedikit berbeda. Bukan lagi getar yang menggebu-gebu, yang membuatku dengan tanpa malu-malu mengajak wanitaku pergi berkencan dan membawanya kemanapun aku suka seperti sebelumnya. Bukan. Getar ini terasa lebih halus, menentramkan. Yang tentu saja membuatku semakin penasaran.

Aku ingat betul bagaimana kami bertemu untuk pertama kalinya. Sore itu seperti biasa aku sedang berkumpul di Mushalla dekat rumahku dengan teman-teman lainnya untuk mengaji. Senda gurau bercampur celoteh riang  sesekali terdengar dari mulut-mulut kami, menyemarakkan jeda waktu saat menunggu guru mengaji kami datang.

Namanya juga bocah laki-laki, ada saja yang menjadi bahan untuk dibicarakan. Tawa meledak beberapa kali saat seorang teman bercerita tentang kebodohan yang dilakukannya, dan tawa lain meledak tak kalah riuh saat yang lain menimpali. Sejenak kami lupa kalau kami sedang berada di Mushalla, tempat yang seharusnya jauh dari gelak tawa berlebihan seperti itu.

Tak lama kemudian tiba-tiba sebuah suara datang dari arah pintu, sebuah ucapan salam yang berbarengan dengan suara ketukan pelan pada daun pintu Mushalla itu.

Assalaamu’alaikuum” ucapnya lirih. Aku dan teman-teman seketika bungkam, dan sedetik kemudian serentak teman-teman menjawab salamnya itu, “Wa’alaikumsalaam

Dia pun berlalu begitu saja didepanku dan segera bergabung dengan kelompok mengaji perempuan disudut lain di Mushalla itu. Aku bahkan sampai lupa menjawab salamnya. Aku pun lupa memalingkan muka. Mungkin aku akan terus memandanginya kalau saja seorang temanku yang menyebalkan itu tak mengolok-olokku dan membuat yang lainnya tertawa puas melihatku nyaris mati menahan malu.

Itu pertama kalinya aku melihatnya. Dan harus ku akui, itupun pertama kalinya aku telah jatuh pada pesonanya. Dia bernama Alea, muallaf berkulit kuning langsat yang selalu menundukkan wajahnya malu-malu.

Alea tidak hanya cantik, dia juga indah. Dia begitu indah sampai membuatku berkali-kali memuji Allah tiap saat melihatnya. “Subhanallah... kau adalah bukti bahwa Tuhan memang Maha pencipta keindahan” gumamku dalam hati.

Sejak saat itu Alea bergabung menjadi santri di Mushalla tempatku mengaji. Dan sejak saat itu pula aku menjadi semakin bersemangat menanti sore tiba untuk dapat melihatnya lagi, lagi dan lagi. Meski dengan mencuri pandang, meski dengan tak saling bertukar senyuman, aku merasa sangat senang. Meski aku tau kalau aku mencintainya, namun cinta yang diam-diam seperti ini terasa lebih menentramkan.

Bukan hanya sekali duakali aku ingin menyapanya dan mengobrol dengannya seperti yang dilakukan teman-teman lainnya. Aku telah setengah mati berusaha untuk menghampirinya, namun entah kenapa aku selalu merasa gugup tiap saat kakiku melangkah beberapa senti mendekat kearahnya. Itulah sebabnya selama ini aku hanya bisa memandangi dari jauh saat dia tertawa-tawa dengan teman-temanku yang lainnya.

Aku merasa begitu bodoh. Aku merasa sesak oleh ketakutanku sendiri. Namun tiap saat dia tersenyum kearahku sambil menganggukkan kepalanya aku langsung merasa tenang. Senyum itu kumengerti sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia ingin dekat denganku, dan mungkin Ia pun memiliki rasa yang sama sepertiku. Hahaha.. bodoh memang, tapi entah mengapa keyakinan itu begitu kuat menancap dalam hatiku.

Dan keyakinanku bertambah kuat saat tiba-tiba saja Alea datang menghampiriku. Masih teringat jelas, sangat jelas dan masih menggantung dalam anganku bagaimana pertemuan singkat waktu itu terjadi.
Saat itu bulan Syawal, entah tahun berapa aku lupa. Namun yang pasti aku takkan pernah melupakan  yang terjadi sore itu.

Adzan maghrib baru saja mengumandang saat Aku dan Alea berada pada jarak yang begitu dekat untuk pertama kalinya.  Aku hanya bisa terpaku menatap sosok yang berdiri tepat dihadapanku. Ia tersenyum, seolah dengan sengaja ingin membuatku beku dengan senyumnya itu. Jangan ditanya lagi bagaimana dahsyatnya gemuruh dalam dadaku saat itu. Dengan melihatnya dari jarak sedekat itu, aku merasa untuk sejenak waktu menghentikan langkahnya untukku, ya, hanya untukku.

“Raka? Kok bengong?” katanya sembari melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku.

Aku terkesiap. “Eh.. Iya. Ada apa Alea?”

“Ada apa? Nggak ada apa-apa. Kamu nggak mau minal aidin wal faidzin sama aku? Dosamu banyak loh ke aku” selorohnya sambil tertawa kecil tanpa rasa berdosa. 
Kalau saja dia tau, ada sejuta balerina yang tiba-tiba datang entah darimana sedang menari-nari riang dikepalaku saat mendengar dia bicara padaku.

Dia pun mengulurkan tangannya padaku. Awalnya aku ragu untuk menyambut uluran tangannya itu. Namun kupikir kapan lagi kesempatan ini datang? tenang Raka, tenang. Dia cuma mau salaman, bukan minta kamu ngelamar dia. Stay cool! Batinku menenangkan diri.

Dan kami pun bersalaman, lima detik. Ku tatap matanya lama, mencoba menelusup kedalam labirin-labirin penuh rahasia dalam dirinya. Ku cari sebuah pembenaran keyakinanku kalau Alea juga menyukaiku. Dan sepintas, aku melihat kerlip bintang dimatanya lagi, kerlip yang sama seperti yang biasanya kulihat. Namun bedanya kali ini kerlip itu khusus untukku, ya hanya untukku. Dan kerlip itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab rasa penasaranku. Aku tersenyum padanya, dan ia pun balas tersenyum padaku.

Aku bahagia. Sangat bahagia.

Sore itu adalah kali pertama aku dapat bicara langsung padanya. Walaupun hanya sekedar bersalaman dan bertukar maaf seolah pernah ada luka yang kami torehkan pada hati satu samalain. Dan sore itu juga menjadi yang terakhir aku melihatnya. Keesokan harinya aku mendengar kabar kalau dia telah pindah, entah kemana.

Beberapa tahun setelah pertemuan itu aku masih kerap mengingat sosok Alea dalam benakku. Hingga tanpa terasa waktu telah menggenapkan diri ditahun keduabelas sejak aku mengenalnya.Dan dua belas tahun lamanya aku telah mencintainya.

Dua belas tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk memendam cinta sendirian. Bagaimanapun juga, belum pernah sekalipun ku katakan pada Alea betapa aku sangat menyukainya. Dulu, saat aku masih memiliki kesempatan yang besar untuk menyatakanya aku malah memilih bungkam, menyimpan perasaanku dalam ruang paling rahasia dalam hatiku.

Entah mengapa, aku merasa lebih nyaman seperti itu. Membiarkan perasaan ini mengakar dan tumbuh menjadi pohon yang rindang dalam hati meski dengan begitu Alea tak dapat merasakan teduhnya, namun tak mengapa.

Mencintainya diam-diam sekaligus membuatku belajar, bahwa cinta tak harus memiliki. Ada kalanya sesuatu akan menjadi lebih indah jika tak berada ditangan kita.

Terkesan kalau aku menyerah sebelum berjuang? Tak mengapa. Memang demikian adanya.

 -------
Lamunanku pecah saat tiba-tiba ponsel yang ku genggam sejak tadi bergetar. Ku lihat layar ponselku. Ada dua pesan singkat dari Memey, pacarku.. dan InsyaAllah calon istriku. Sembari membalas pesan singkat darinya, aku mantap berkata dalam hati untuk melupakan Alea, mulai detik ini.

Mungkin cinta memang tak harus memiliki, saat kita merasa bahwa ada hal-hal yang harus dibiarkan berada pada tempatnya untuk menjaganya tetap indah. Bagiku, cinta yang nyata ada pada sosok wanita sederhana bernama Memey.  Selamat tinggal. Alea.

*tamat*

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..