Skip to main content

Terimakasih Untuk Dua Telinga ini


Terimakasih untuk dua telinga ini, Tuhan.

Tak ada seorangpun yang dapat berjalan tegak tanpa sekalipun merasakan jatuh dan mengenal darah. Seperti halnya aku, yang kau kenal sebagai seorang yang cukup bijaksana dengan kata-kata yang katamu cukup mujarab untuk menyembuhkan sedihmu, pun hanya manusia yang juga punya luka tersendiri yang kubiarkan sembunyi, diantara tawaku.

Hanya saja memang sengaja kubuat tawaku agar terdengar lebih nyaring sembari kutunggu luka ku mengering, dengan sendirinya..

Maafkan aku yang lebih memilih diam.
Aku, hanya memberi ruang untuk telingaku agar mampu mendengarmu dengan lebih seksama.

Ceritakanlah! aku akan mendengarkannya. Dan akan selalu siap untuk itu.

Lalu suatu ketika kau merasa telah ku curangi. Katamu.. persahabatan kita tak seimbang. Aku hanya mendengarkan, tanpa mau membagi laraku seperti yang selalu kau lakukan.
Kau benar.

Aku memang seperti itu. Aku securang itu.

Mendengar lukamu saja telah membuatku sadar bahwa rupanya, lukaku tak sesakit itu untuk kutangisi lebih lama.
Lalu apa lagi yang harus kuceritakan saat luka itu telah sembuh dengan sendirinya?

Sudahlah. Tak perlu kau pikirkan apa-apa lagi. Telingamu kini tak cuma dua. Telah ku katakan kalau aku bersedia untuk menjadi telingamu yang lain untuk kau perdengarkan semua keluhmu. Dan jika kau lelah bercerita padaku, mari kita sama-sama merebahkan diri pada kepasrahan. Bukankah Tuhan selalu mendengarkan tanpa kita minta?

Bukankah Tuhan selalu duduk bersama kita?

Bukankah Tuhan masih ada didalam hati kita?

Maka ceritakanlah sedihmu padaku, lalu pada-Nya. Dan kita, akan bisa tertawa bersama sesudahnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..