Terimakasih untuk dua
telinga ini, Tuhan.
Tak ada seorangpun yang
dapat berjalan tegak tanpa sekalipun merasakan jatuh dan mengenal darah.
Seperti halnya aku, yang kau kenal sebagai seorang yang cukup bijaksana dengan
kata-kata yang katamu cukup mujarab untuk menyembuhkan sedihmu, pun hanya
manusia yang juga punya luka tersendiri yang kubiarkan sembunyi, diantara
tawaku.
Hanya saja memang
sengaja kubuat tawaku agar terdengar lebih nyaring sembari kutunggu luka ku
mengering, dengan sendirinya..
Maafkan aku yang lebih
memilih diam.
Aku, hanya memberi
ruang untuk telingaku agar mampu mendengarmu dengan lebih seksama.
Ceritakanlah! aku akan
mendengarkannya. Dan akan selalu siap untuk itu.
Lalu suatu ketika kau
merasa telah ku curangi. Katamu.. persahabatan kita tak seimbang. Aku hanya
mendengarkan, tanpa mau membagi laraku seperti yang selalu kau lakukan.
Kau benar.
Aku memang seperti itu.
Aku securang itu.
Mendengar lukamu saja
telah membuatku sadar bahwa rupanya, lukaku tak sesakit itu untuk kutangisi
lebih lama.
Lalu apa lagi yang
harus kuceritakan saat luka itu telah sembuh dengan sendirinya?
Sudahlah. Tak perlu kau
pikirkan apa-apa lagi. Telingamu kini tak cuma dua. Telah ku katakan kalau aku
bersedia untuk menjadi telingamu yang lain untuk kau perdengarkan semua
keluhmu. Dan jika kau lelah bercerita padaku, mari kita sama-sama merebahkan
diri pada kepasrahan. Bukankah Tuhan selalu mendengarkan tanpa kita minta?
Bukankah Tuhan selalu
duduk bersama kita?
Bukankah Tuhan masih
ada didalam hati kita?
Maka ceritakanlah
sedihmu padaku, lalu pada-Nya. Dan kita, akan bisa tertawa bersama sesudahnya.
Comments
Post a Comment