Skip to main content

home sweet home

Sore hari selalu menjadi waktu terfavorit saya setiap harinya. Sepulang dari beraktifitas diluar rumah seharian, saya selalu meluangkan waktu setengah jam sambil menanti datangnya maghrib sekedar duduk-duduk didepan rumah sembari mencecap cangkir yang sarat akan teh beraroma melati yang dicampur dengan gula dan sesendok madu. Kadang sesekali sambil mengobrol dengan tetangga yang baru pulang dari sawah dan kebetulan lewat didepan rumah saya. Membahas hal yang tak begitu penting, namun terasa hangat, sehangat teh yang sangat saya sukai ini.

Saya tinggal disebuah Kabupaten bernama Karangasem yang terletak di bagian timur pulau Bali. Diapit oleh pantai dan pegunungan membuat udara dirumah saya menjadi sangat dingin dipagi dan malam hari, namun panas terik disiang hari.

Tepat di depan rumah saya, terdapat sawah yang terangkai petak demi petak sampai di kaki gunung. Ohya, Gunung yang terlihat jelas dari depan rumah saya bernama gunung Agung. Mungkin karena ia menjadi satu-satunya Gunung tertinggi di bali maka ia dinamakan Gunung Agung (Agung dapat diartikan maha tinggi).

Di pagi hari, sekitar pukul 06.00 pagi, Gunung Agung akan terlihat sangat cantik namun gagah berdiri diantara hamparan sawah yang berbentuk terasering, seperti tumpukan kue tart yang disusun sedemikian rupa, dan Gunung Agung menjadi puncak tertinggi dari tumpukan keindahan tersebut, sangat apik.

Dan pada saat senja seperti ini, mega berwarna orange cerah mengambang diatas langit, mencipta siluet gunung agung yang berwarna hitam, tampak kokoh dari kejauhan, namun sekaligus menentramkan. Seperti mercusuar yang tegak berdiri, menjadi penunjuk arah jalan pulang. Begitulah, dimanapun saya berada, saya selalu merindukan saat-saat melihat gunung agung tertutup mega, berwarna orange sepenuhnya dan kemudian menjadi hitam beberapa saat setelahnya.

Seperti fase kehidupan, senja seperti ini selalu mengingatkan saya pada waktu yang akan selalu bergulir. Saya yang muda nantinya akan menjadi tua. Dan suatu saat nanti saya pasti akan mati meninggalkan segala warna kehidupan untuk beranjak pada kehidupan setelahnya yang belum saya ketahui seperti apa wujudnya, seperti apa warnanya. Mungkinkah hitam seperti malam? ataukah berwarna lebih cerah seperti jingga yang merekah? entahlah..

Senja selalu menjadi rumah yang paling nyaman untuk melepas penat. Kadang ia seperti ayah yang sudah terlihat tua, namun masih cukup kuat untuk membuat saya merasa aman dan nyaman berada di dekatnya.

Senja seperti inilah, yang membuat saya selalu ingin pulang kerumah. Duduk seorang diri menyaksikan sore yang ditelan kaki-kaki gunung agung, menikmati secangkir teh beraroma melati, dan menyesakkan paru-paru dengan udara segar pegunungan. Terasa damai, terasa sangat damai sekali.
Suatu saat nanti, bila takdir mengharuskan saya untuk jauh dari rumah ini, saya masih akan tetap pulang ketempat ini, ke kota kecil ini. Karena disinilah satu-satunya tempat terdekat untuk melihat dan bercakap dengan gunung Agung, lebih-lebih disaat senja seperti ini. Disinilah rumah saya, dan disinilah tempat saya kembai nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..