Skip to main content

Dialog


Rasanya ingin melakukan banyak hal mumpung masih ada bnyak waktu.
Memangnya kapan waktu nggak ada buat kamu?
nanti, saat kesibukan merenggut waktuku.
kapan?
nanti, biar waktu yang menjawabnya.
Iya, tapi kapan?
Nanti itu sebuah bilangan waktu yang tak terbilang, bisa besok, bisa tahun depan, atau kapan-kapan. Nanti itu adalah kejutan. Haruskah kujawab kapan tanpa ku tahu pastinya kapan? Aku bukan Tuhan.

-ia diam untuk beberapa saat-

Kamu harus segera sibuk. Atau paling tidak menyibukkan diri lah..
Bukankah saat ini aku tengah sibuk?
Sibuk apa?
Sibuk menanti sebuah kesibukan.
alah. Kamu seperti orang yang tak punya harapan!
Aku punya. Harapan untuk menjadi orang yang diharapkan juga merupakan sebuah harapan bukan?
Iya, tapi perlu usaha supaya kamu benar-benar menjadi seperti yang kamu harapkan.
Tidakkah kamu bertanya, seperti apa wujud aku yang aku harapkan?
Tidak perlu. Paling-paling kamu hanya ingin menjadi orang sibuk dengan kesibukan yang terlalu dibuat-buat.
Hahhaha.. Kamu terlalu memandang rendah aku. Aku sudah dibawah, untuk apa kau rendahkan aku lagi?
Bukan untuk merendahkan, hanya saja....

-ia diam lagi, 1 menit, mungkin berfikir-

...Hanya saja kamu terlalu lembek pada harapanmu itu. Kamu harus tegas dan lugas dalam membingkai mimpi. Akan menjadi apa, akan berbuat apa, akan bagaimana nantinya, harusnya kau telah menyiapkan diri untuk itu semua, dari sekarang!

Jika mimpi itu adalah definisi 'menjadi manusia yg diharapkan' versimu, anggap saja saat ini aku sedang tidur dan menunggu mimpi itu datang. Tidur adalah satu dari sekian usaha kerasku untuk dapat meneruskan mimpi yang datang sepotong demi sepotong. Tidur pula lah yang menjadi satu dari sekian caraku untuk sejenak lupa pada secercah harapan yang kadang membuatku lelah untuk berjuang.

Kamu itu picik! Sungguh sangat picik! Percuma aku mendebatmu panjang lebar!

Hahahhaa..

-akupun tetawa, kehilangan kata-kata. Bagaimanapun juga yang ia katakan memang benar. Selalu benar.-

Tak lama kemudian aku bangkit berdiri. Diapun ikut berdiri. Kami berdua saling menatap lama setelah dialog yang cukup sengit. Aku menatap dia, dia balik menatapku. Aku tak tersenyum padanya, garis bibirnya pun datar, sama sepertiku. Kami berdua berjarak beberapa senti, saling menyentuhkan jari diantara sekat selembar cermin ini.

Sekian.

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

Mencari AKU

Dear, Lita.. Kamu adalah seorang yang sangat ku kenal, sebaik aku mengenal diriku sendiri. Namun kadang, kamu bisa menjadi seseorang yang sangat sulit dimengerti, sesulit aku berusaha mengerti diriku sendiri. Bolehkah aku sedikit menulis tokoh ’kita’ disini? Tiap pagi ketika mata kita baru saja terbuka, satu pertanyaan yang kita hafal diluar kepala selalu jadi hidangan pembuka bagi hari-hari panjang kita, hari-hari lelah kita: ” Tuhan, untuk apa aku diciptakan ?” Itu kan yang selalu kita pertanyakan? Tentang eksistensi kita. Tentang kepentingan kita didunia ini. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kita ketahui jawabannya, namun kita masih belum dan tak pernah puas dengannya. Sebuah pertanyaan paling naif sebagai bentuk halus dari cara kita menyalahkan Tuhan karena beberapa ketidak-adilan-Nya pada kita. Iya kan?   Kadang, ah tidak, sering kita merasa Tuhan begitu tak adil dengan bolak-balik memberi kita cobaan. Seolah DIA sangat suka melihat betapa susahnya kita memeras ai