Titik cahaya itu tiba-tiba menjadi
kecil, kian mengecil, namun memanjang serupa benang metalik yang terang
dikegelapan. Benakku yang sejak semula abu-abu pun kian meragu untuk semakin
jauh menyeret langkah, aku membatu. Hanya ada dua kemungkinan yang akan ku
temui jika ku ikuti benang cahaya itu, namun aku terlalu takut untuk memilih
satu diantaranya.
Sejenak kudapati tubuhku mengecil,
lalu kembali normal seperti sedia kala. Sebentar kemudian tubuhku bergetar, pun
jantungku gemetar. Lalu sedetik kemudian kutemukan tenang merambat pelan-pelan
dari ujung kaki hingga ubun-ubunku.
Mataku panas, kebingungan ini
membuat bulir-bulir air dimataku mendidih, lalu meleleh seperti lilin yang
perlahan lumer dijilat api berwarna biru kemerahan. Dan aku masih terperangkap
dalam gelap.
Didepan sana , diujung cahaya
memanjang ini, ada Tuhan. Aku
tahu itu. Tuhan sedang menungguku dengan tenang. Kegelapan ini membuatku ingin segera
berlari mendekat kepada-Nya, namun
ketakutan mencengkram kedua kakiku erat-erat, langkahku menjadi berat. Aku takut
bertemu Tuhan, dan Tuhan masih menunggu, dengan sabar.
Seharusnya kebingungan ini tak
perlu ada sejak awal. Dimana-mana, orang seharusnya cukup percaya pada
satu-satunya cahaya yang mereka lihat ditengah gelap yang kian merapat. Lalu aku
semakin bingung, kenapa aku malah bingung? Tinggal berjalan ikuti cahaya itu,
atau tetap terpaku disuatu lorong tak berkesudahan ini dan betah dicumbu gelap
berkali-kali, lagi dan lagi. Sejenak aku mati, mati suri. Setengah ingin pergi,
setengah aku yang lain ingin tetap ada disini.
Aku tak mengerti mengapa Tuhan
ingin menemuiku secepat ini? Tadinya aku sedang tidur, setelah lelah melumat
hari. Lalu kutemukan gelap merayap dari sudut mataku, dan tak lama kemudian
telah mendekap seluruh tubuhku. Hingga tiba-tiba titik cahaya itu muncul,
mengambang beberapa senti dari keningku. Seolah berkata ’ikuti aku!’ namun aku
malah didera ketakutan yang sangat untuk beranjak barang beberapa inci.
Apakah aku akan mati? Atau Tuhan
punya hal lain yang ingin ditawarkan padaku? Selain mati, selain kesakitan lain
yang lebih sakit, selain kegelisahan, selain apapun melainkan ketenangan yang
kuharap-harap kemunculannya sejak hiruk pikuk dunia kian terdengar sumbang
ditelinga. .
Haruskah aku pergi?
Atau tinggal saja disini?
Haruskah aku berlari ke pelukan
terang?
Atau membiarkan gelap mencumbuku
lebih dalam?
Entahlah.
Comments
Post a Comment