Aku masih disini, terjebak
diantara jarum jam yang beku. Lama sekali saat terakhir kulihat ketiga jarum
jam itu melaju dengan kecepatan peluru. Memutar waktu, menjadikan detik
beranjak ke menit, menit ke hitungan jam, jam berlari menuju hari, dan
tiba-tiba hari telah berganti tahun.
Dan segalanya terjadi begitu saja,
serupa peluru yang meletus dari moncong pistol, waktuku pun melesat dengan
terlalu tergesa. Jarum jam itu kembali ketempatnya semula, namun dengan
hitungan yang tak lagi sama. Membuat segala yang terjadi ’dulu’ kini kusebut
sebagai kenangan lama.
Ya, kini semua tak lagi sama. Waktu
begitu kejam meninggalkanku tanpa aba-aba. Waktu selalu pergi tanpa pertanda.
Tiba-tiba aku teringat akan
permainan Tuhan. Permainan roda kehidupan, begitu Ia namakan. Permainan ini
adalah tentang ’melaju dan bertahan’, berbatas waktu, dan dengan hitungan tak
ada kalah menang. Bagaimana mungkin ada permainan yang meniadakan kalah dan
menang? Entahlah, pada bagian itu Tuhan diam saja saat kutanya. Dalam Firman-Nya
ia katakan padaku, ’permainan telah dimulai, akan Ku putar rodamu, dan kau
melajulah beriringan dengan waktu. Menang dan kalah tak akan Ku hitung, namun
sejauh mana kau bertahan, itulah yang akan menjadi tolak ukur penilaianKu
terhadapmu’.
Butuh waktu yang cukup lama untuk
mengerti permainan ini. Namun seiring berjalannya waktu, satu hal yang ku
sadari, bahwa aku tidak dalam posisi yang berkompetisi dengan Tuhan, melainkan sengaja
Ia ciptakan aku untuk dicobakan: seberapa kuat aku bertahan, seberapa lama aku
akan terus berdiri dengan keyakinan dalam hati bahwa Ia adalah satu-satunya
dzat dengan segala ke-Maha-adilanNya.
Alkisah pada suatu masa, saat makna
keadilanNya kian terdengar sumbang ditelinga, Tuhan mencoba pertahananku lewat
kehilangan demi kehilangan. Ia tau betul apa dan siapa yang benar-benar ku jaga
dengan segenap rasa. Kemudian Ia ambil mereka, aku berduka dan –Ia dalam firman-Nya-
lagi-lagi bersabda agar duka ku tak
boleh terlalu lama. Saat itu yang dapat kulakukan hanya bertanya dan terus
bertanya, ’Tuhan, bagaimanan bisa?’
Sementara Tuhan membiarkan tanyaku
mengambang di udara tanpa jawab yang melegakan dada, waktu terus melengang
dengan langkah panjang-panjang. Belum habis dukaku, pun belum kering air mataku, namun aku tetap
kukuh dalam pendirian, bahwa Ia tetap satu yang maha adil. (Sejenak tenang
merasuki ku pelan-pelan).
Lalu kemudian Ia
putar kembali roda mayaku.
Kali ini Ia coba
lagi pertahananku dengan kehilangan lain, yang tak kalah pahit dan tak kalah
duka dari sebelumnya. Saat itu aku hanya ingin waktu berkompromi denganku
dengan melaju lebih cepat, agar luka yang menganga karena ketiadaan ia yang
kucinta segera reda, bila perlu sembuh sempurna secepatnya. Namun waktu tak mau
tau, pada saat-saat tertentu ia seakan sengaja melambat dari biasanya, sengaja
membuatku putus asa, dan sekarat diantara dua waktu: hidup dan matiku.
Namun aku tetap yakin, ini juga
merupakan bentuk keadilan-Nya. Dengan keyakinan yang erat terkepal dikedua
telapak tanganku, diam-diam hatiku meragu. Entah bisikan darimana, aku mulai
terhasut dengan sebuah keyakinan lain, bahwa ini bukan permainan, melainkan aku
yang tengah dipermainkan. Ia minta aku cinta Dia, dengan percaya dan terus
bertahan sembari Ia beri aku berbagai cobaan-demi-cobaan. Lalu diimana letak
adil itu, Tuhan?
Tanyaku beku, menyublim menjadi
udara yang kian menyesakkan dada. Sedang waktu terus melaju, sekali lagi
memutar roda kehidupan yang tengah ku tunggangi entah sampai kapan dan dimana
akhirnya...
Aku telah babak belur dihantam
kenyataan. Waktuku habis dalam sebuah penantian akan kebahagiaan. Karena dalam hematku, permainan
roda ini tentu takkan selamanya membuatku terus berada dibawah. Suatu saat
nanti roda ini akan memutar lagi, dan membuatku berada diatas. Aku mengartikannya
sebagai bentuk bahagia setelah sekian duka ku rasa. Ya, aku terus menanti waktu
memutar lagi rodaku.
Namun Tuhan berkehendak lain. Jauh
sebelum rodaku kembali membawaku berada diatas, pada suatu malam yang tenang
aku menangis dalam tidur yang panjang. sebuah kesadaran yang membuat mataku
basah, bahwa bukan bahagia yang sebenarnya ada diujung segala kepahitan ini, (sedang
bentuk bahagia itu sendiri masih abstrak tak terjangkau imaji). Ini semua
tentang perjalanan. Tentang berputar layaknya roda kehidupan yang sengaja Ia
ciptakan untukku. Waktu yang tak berbatas Ia maksudkan agar aku tak terpaku
pada finish sehingga mengabaikan proses menuju itu.
Ya, ini semua tentang bagaimana aku
bertahan selama rodaku terus melaju. Sejak awal Ia minta aku tetap percaya
pada-Nya, bahwa Ia satu-satunya yang memiliki adil sempurna ditangan-Nya. Bahwa
segala kepedihan ini bukan terjadi dengan sia-sia. Ku sadari, bahagiaku mewujud
waktu yang terus meninggalkanku. Ia membuatku kuat, membuatku belajar tentang
banyak hal. Membuatku lihai menghapus air mata dengan berbagai cara.
Dan waktu pula
yang membuatku sadar, bahwa Tuhan membesarkanku dengan cara istimewa. Layaknya kedua
orangtua yang membesarkanku dengan penuh
cinta, begitupun Dia, hanya saja dalam bentuk cinta yang berbeda.
Tuhan membuatku tak lagi manja. Ia
buat aku, -lewat waktu- belajar bagaimana caranya menepis segala ragu. Bahwa ternyata,
percaya pada-Nya memang satu-satunya jalan yang harus ku tempuh untuk dapat
bertahan. Bahwa cinta-Nya lah satu-satunya obat yang dapat menutup luka ku
dengan penuh sempurna.
Sekalipun kenangan
lama bersama mereka yang telah tiada hadir kembali, dadaku tak lagi sesak oleh
rasa sedih yang kian terasa pedih, melainkan menjadi motivasi agar aku selalu
dapat memperbaiki diri, agar suatu saat nanti Tuhan mengizinkanku berkumpul
lagi dengan mereka disana, dekat dengan pangkuan-Nya.
Tuhan, maafkan
ragu-raguku..
Tuhan, maafkan semua fikiran
jahatku tentangMu..
Dan Tuhan, maafkan rinduku pada
mereka yang telah Kau rengkuh disana. Jangan jadikan ini sebagai bentuk dosa,
karena rindu ini hanya wujud dari cinta yang Kau cipta diantara kami. Aku
merasa sudah semestinya rindu ini ada, tepat setelah detik pertama mereka tak
lagi ada dalam jangkau lihatku..
Hari ini, tepat setahun setelah
Kau ambil dia, kakakku. Aku tau dia bahagia disana bersama-Mu, maka ku titipkan
rindu ini untuknya.. pastikan Ia tau Tuhan, bahwa disini do’aku tak pernah
luput atasnya.. ia selalu ada, menempati ruang teristimewa dihatiku, selamanya.
Dan Tuhan, terimakasih untuk lengan-Mu
yang selalu terbuka, memaafkanku yang tak sempurna..
Comments
Post a Comment