Senin pagi yang
cerah. Terjaga semalaman suntuk hingga sahur membuat separuh nyawaku masih
belum lengkap terkumpul. Tidur
selepas subuh tadi pun terasa masih kurang, terlebih mengingat keributan
semalam.. akh, rasanya malas sekali untuk beranjak dari kasur ini. Aku butuh
setidaknya 3 jam ekstra untuk menyusun kembali serpih kesadaranku agar mampu
mencerna kembali inti dari huru-hara malam tadi.
Bukan hal besar yang patut ku besar-besarkan
dalam tulisan, hanya saja benakku tergelitik untuk bercerita pada kalian
tentang kejadian singkat yang membuatku memetik banyak buah pelajaran semalam
tadi.
Adalah dua keponakanku yang baru beranjak
dewasa yang menjadi topik utama disini. Nama tidak terlalu penting untuk ku
sebutkan, cukup kalian tahu kalau usia mereka baru menginjak angka 17 dan 16. Usia
yang memiliki darah semangat yang menyala-nyala. Usia rentan bagi rasa
penasaran yang haus akan kelegaan jawaban. Dan usia yang menjadi pijakan
pertama dalam proses pencarian jati diri. Segala sesuatu ditentukan pada usia
ini.
Begitulah kurang lebih, huru-hara yang ku
maksud disini adalah konflik kecil antara orang tua dan anak, dimana
mis-komunikasi menjadi sumbu utama pemicu meledaknya keributan dirumah ini. Antara
keinginan orang tua dan keinginan anak-anak yang tak sejalan, dan sedikit salah
dalam hal penyampaian bisa dengan mudahnya menjadi musabab keributan-keributan kecil
semacam ini. Bukan tidak mungkin, jika keributan seperti ini dibiarkan terus
menerus akan menyebabkan renggangnya hubungan antara anak dan orangtua mereka
sendiri.
Aku disini dalam porsi sebagai tante yang
berusaha menengahi keributan tersebut, sekaligus berusaha sebisa mungkin tidak
condong pada pihak manapun. Berkali-kali ku coba memposisikan diri diatas kaki
masing-masing dari mereka. Sebagai seorang yang pernah remaja, aku tahu betul
pada usia tersebut aku sangat membutuhkan ’kebebasan’, dalam arti lepas dari simpul-simpul
peraturan yang diciptakan orangtuaku yang memang difungsikan untuk membatasi
ruang gerakku dalam berekspresi. Sedangkan, disisi lain aku merasa sudah cukup ’matang’
untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Rasa penasaran terhadap
segala sesuatu kerap mendorongku untuk mencoba hal-hal baru, dan memikirkan
resikonya belakangan. Aku paham betul itu.
Namun disisi lain, terlepas dari minimnya –bahkan
nol besar-- pengalamanku sebagai orangtua, aku berusaha memposisikan diri pada
sudut pandang orang dewasa yang pernah mengalami masa-masa remaja seperti itu. Sebagai
orang tua, aku mengerti mereka hanya ingin yang terbaik untuk buah hati mereka.
Pengalaman yang mengajarkan mereka banyak hal membawa berbagai ketakutan akan
hal buruk yang mungkin menimpa anak-anak mereka dalam perjalanan mencari jati
diri tersebut. Mereka hanya ingin membekali buah hati mereka dengan berbagai
pesan –yang menurut anak-anak—adalah sebuah ceramah klise untuk didengar.
Aku memandang hal ini dari posisiku berdiri
dipertengahan. Komunikasi adalah hal yang mutlak menjadi satu-satunya solusi
untuk memperbaiki simpul yang merenggang. Aku sangat menyayangi kedua keponakan
itu, namun aku juga kerap merasa kasihan pada orang tua mereka yang nyaris
putus asa dalam mengahdapi kenakalan mereka. Pulang larut malam, bertingkah
semaunya, emosi yang meledak-ledak bila diingatkan sesuatu. Begitulah mereka.
Namun mereka tak sepenuhnya salah. Entahlah,
aku bingung bagaimana menjelaskannya, namun aku mengerti dan paham betul apa
yang hendak mereka sampaikan.
Menjadi orang tua bukanlah perkara mudah,
lebih-lebih saat anak tengah menginjak usia-usia rawan seperti ini. Orang tua
hanya ingin mengarahkan anak-anak mereka kejalan yang menurut mereka benar. Karena
bagaimanapun juga, orang tua telah lebih dahulu melalui jalan yang sama. Mereka
pernah terjatuh dijalan yang sama, pernah berkali terluka dan menangis darah
untuk kemudian belajar bangkit dan kembali berjalan, meneruskan pemenuhan rasa haus penasaran mereka akan berbagai hal.
Ingatlah, mereka pernah muda seperti kalian. Itulah poin yang harus kita
garis bawahi. Pengalaman itulah
yang membuat mereka menjadi selalu ‘bawel’ dalam mengingatkan anak-anaknya. Rasa
cinta mereka yang begitu besar yang mendorong keinginan mereka untuk melindungi
buah hati mereka dari kegagalan yang sama yang pernah mereka alami sebelumnya. Orang
tua memang hanya manusia biasa, yang juga bisa berbuat salah layaknya manusia
lainnya, layaknya kita, layaknya aku, kalian, mereka..
Untuk keponakanku tersayang, aku tak ingin
memaksa kalian menelan mentah-mentah apa yang aku tuliskan ini. Bukan maksudku
pula membuat kalian marah, apalagi merasa dikekang. Sebagai orang yang sangat
menyayangi kalian, aku hanya ingin kalian menjadi seorang yang selalu mencintai
orang tua kalian sepenuh hati. Lihatlah, kadang aku iri pada kalian yang masih
dapat mendengar ada seorang yang walaupaun mengomel sepanjang hari karena
kalian pulang telat, namun dengan setianya menunggu semalam suntuk diruang tamu
hingga kalian benar-benar pulang, dan aman tertidur didalam pelukan selimut
kalian.
Tapi terimakasih, kalian telah mengingatkanku
akan masa remajaku yang juga bergejolak sama panasnya seperti kalian. Seperti roll
film yang diputar, aku seperti melihat kembali berbagai
pembangkangan-pembangkanag yang kerap kulakukan. Merasa sebal karena dimarahi,
mengumpat dalam hati, mengehntakkan kaki, membanting pintu... begitulah, aku
dulu juga sama seperti kalian. Hanya saja, saat ini aku diberi kesempatan
melalui kalian untuk mengingat seberapa menyedihkannya aku dulu pada
orangtuaku. Kalau saja ayahku masih ada, ingin ku cium berulang kali kakinya,
dan memohon ampun atas segala kekasaran sikapku dulu padanya..
Waktu akan mendewasakan kalian dengan
sendirinya, nanti. Tidak usah takut akan jawaban yang tak kalian temukan, nanti
waktu akan menjawab semua rasa penasaran kalian itu. Kalau boleh aku meminta,
lunakkan sedikit hati kalian.. beri ruang dan kesempatan pada orangtua kalian
agar dapat menikmati masa tuanya dengan mencintai anak-anak mereka. Tidakkah kalian
ingin melihat raut bangga diwajah keriput mereka nanti?
Semoga Allah sellau membimbing langkah kalian
sayang... terjatuh dan terluka adalah bagian dari belajar, jangan pernah takut
akan hal itu. Namun takutlah pada kemungkinan menciptakan luka dihati orang tua
kalian, karena bukan pelajaran yang akan kalian dapatkan nantinya, melainkan
penyesalan yang hanya akan menjadi duri yang semakin melukai langkah kalian
nanti.
I love you two.
With love,
Aunty.
Comments
Post a Comment