Anak
Layang-Layang
Terik panas yang menjerit diatas ubun-ubun
memaksaku untuk rehat sejenak dibawah pohon mangga yang belum nampak buahnya.
Gerombol daun-daunnya memberi kesejukan tersendiri diantara gersangnya ladang
persawahan yang baru saja habis dipanen padinya. Beberapa daun yang setengah
kuning, terpaksa harus merelakan diri untuk gugur dihempas angin, dan beberapa
lainnya yang masih hijau belia hanya mampu menunggu waktu yang menuakannya,
merubah hijaunya menjadi kuning untuk kemudian berguguran seperti dedaunan lain
yang telah gugur sebelumnya. Dibawah pohon mangga ini, kulihat jari tuhan
bermain pada usia dedaunan yang dikehendaki-Nya untuk bertahan dan gugur pada
waktunya.
Di kejauhan, tampak olehku tiga orang bocah
bertelanjang dada tengah asik menarik-ulur layangan yang berada jauh diatas
ubun-ubun kecil mereka, merajai birunya angkasa raya. Kulit yang membungkus
tubuh-tubuh kurus itu legam kecoklatan terbakar matahari. Rambutnya pun
berwarna matahari. Tidak hitam, tidak juga berwarna pirang. Terlihat gersang.
Namun apa perduli mereka? Akan terlihat
seperti apa rupa mereka dihadapanku tak sedikitpun mengusik keasikan fokus
mereka pada layang-layang yang terbang menerjang gumpalan-gumpalan kapas diatas
sana. Terik matahari yang menggeliat diatas ubun-ubun mereka seakan tak
menyurutkan kesenangan mereka menyaksikan layangan kecil diatas sana
meliuk-liuk terbawa angin. Menarikan mimpi-mimpi besar yang bahkan tak sanggup
ditopang oleh tubuh-tubuh kecil itu. Membawa angan dan cita-cita mereka sejenak
mengangkasa vertikal, meninggi, melampaui tingginya asa yang sekian lama
terpendam jauh dilubuk hati kecil mereka.
Mungkin lewat layang-layang itu mereka
berusaha melihat dunia yang tak terjamah langkah-langkah kecil mereka. Mungkin
memang belum saatnya, tunggulah beberapa waktu lagi, takdir mereka tengah
dirancang oleh Sang Pemilik Langit. Akan kemana arah angin itu bertiup membawa
layangan dan takdir mereka, hanya Dialah yang Maha Tahu.
Lewat mata pada ujung ekor layang-layang itu
mereka melihat dunia. Menjelajah ruang mimpi yang selama ini hanya jadi
penghias tidur lelap mereka. Bukankah Tuhan pernah berkata, bahwa seumur hidup,
sebaiknya kita pergunakan untuk selalu berkeliling, melakukan perjalanan untuk
menyaksikan sendiri keindahan lukisan alam ciptaan-Nya. Bukankah kita harus
melihat sendiri bagaimana wajah dunia yang kadang ternyata jauh dari ekspektasi
bayangan kita?
Anak layang-layang itu tau kapan harus
menghentakkan benang agar angin merubah arah terbang layang-layang mereka.
Telah mereka lihat sebelah bumi dibawah
layang-layang merka terbang, hanya terdapat kemelaratan. Angin yang berhembus
disana bahkan hanya mampu bertiup pilu, mengabarkan seorang anak tengah duduk
termenung memegang piring kosong, dan ibunya hanya bisa terdiam.. berharap anaknya
itu akan kenyang seiring waktu yang begitu lambat ini berjalan. Diam-diam
hatinya berdo’a, mengiba belas kasih Tuhan-Nya atas segenggam beras untuk
dimasaknya hari ini, esok dan esoknya lagi.
Disebelah rumah itu, seorang anak lain tengah
asik menggambar mimpi-mimpinya diatas langit-langit kamarnya yang terbuat dari
anyaman bambu. Bocor disana-sini, membuat sinar matahari begitu leluasa memeluk
tubuh anak itu. Ia tak memiliki kedua tangannya sejak lahir, pun kedua kaki
untuknya berjalan. Hanya tempat tidur lusuh itu, yang mampu membawa angannya
mengangkasa melewati labirin-labirin mimpi yang begitu rumit untuk dilaluinya
sendiri.
Seharusnya Ia bersedih atas takdirnya itu,
namun anak malang itu sungguh membuatku iri dengan ketabahannya. Senyum itu,
tak pernah lepas dari raut wajahnya. Dengan keyakinan tunggal Ia mampu bertahan
melewati hari-hari diatas tempat tidur beralas tikar, bahwa Tuhan Yang Maha
Kuasa tak pernah meninggalkannya sendirian. Ia mendapatkan cinta lebih banyak
dari apa yang aku dapatkan. Ia memiliki lebih banyak waktu untuk bercakap
dengan Tuhan-Nya, jauh lebih banyak dari waktu-waktu yang aku habiskan dengan kesia-siaan.
Layang-layang itu meliuk lagi. Kali ini
matanya melihat kearahku.
Aku masih duduk dibawah pohon mangga ini,
menunggu cerita lain tentang apa yang dilihatnya dari atas sana. Namun dengan
tatapan sedih Ia enggan bercerita tentang apa yang baru saja ia lihat. Ada
begitu banyak kemelaratan diatas bumi ini. Air mata seakan telah mengering
karena tiap saat kesedihan itu merenggut wajah ceria anak-anak itu, mereka
menangis dalam diam hingga nafas mereka tersengal, tercekat ditenggorokan
kering mereka.
Kelaparan, kehausan dan hidup yang keras ini
telah mendewasakan mereka jauh sebelum umur mereka menginjak angka 12. Pada
usia itu mereka telah banyak melihat kemelaratan lain, mendengar isak tangis
lain dan merasakan sendiri mirisnya kehidupan anak-anak lain dibelahan bumi
yang lain nun jauh disana.
Dan bahkan jauh sebelum menginjak usia itu,
mereka terpaksa harus kehilangan keluarga oleh wabah malaria yang tak mampu
mereka beli penawarnya. Berapa Rupiah yang mampu mereka kumpulkan dari hasil
mengais sampah-sampah yang dibuang orang-orang kaya itu? Jumlahnya hanya mampu
mengganjal perut mereka dengan sebungkus nasi berlauk seadanya saja. Beruntung
jika sesekali ibu penjual berbelas kasih menghadiahi mereka sepotong daging
sisa untuk menunjang masa pertumbuhan mereka.
Selain itu, tak ada lagi sisa penghasilan yang layak untuk mereka
sisihkan demi mengobati penyakit yang datang tanpa permisi, dan dengan terpaksa
membiarkan takdir biacara diatas kematian ayah, ibu, kakak, dan adik mereka
satu-persatu.
Namun kesedihan
itu telah lama berlalu. Mereka terlalu sibuk memikirkan cara untuk bertahan
hidup esok hari sehingga tak banyak waktu mereka tersisa untuk tenggelam dalam
kesedihan.
Mereka pun tak cukup beruntung untuk duduk
mengenyam bangku pendidikan yang layak untuk usia mereka. Selain bekerja dan
bermain setelahnya, pada waktu maghrib datang dan saat senja pecah
kemerah-merahan mereka berbondong-bondong meramaikan surau dengan lincah
gerakan sholat mereka. Memasrahkan takdir pada satu-satunya Sutradara yang
menggenggam jalan kehidupan mereka. Apapun keadaannya, seolah tak sedikitpun
mengusik kecintaan tunggal mereka pada Tuhan yang tengah menguji ketabahan
mereka itu.
Begitulah layang-layang bercerita padaku.
Begitulah layang-layang itu membuka lebar mataku akan kekuasaan Tuhan yang
menancapkan panji-panji kebesaran-Nya dibelahan bumi yang tak mampu kujamah
dengan kakiku sendiri. Tiga anak layang-layang itu menarik kembali
layang-layang mereka. Lelah sudah mereka menjelajah ruang demi ruang mimpi yang
terhampar dilangit diatas sana. lelah sudah mereka membelah langit dengan
cerita-cerita pilu yang tak jauh berbeda dengan apa yang tengah mereka alami
kini.
Matahari pun telah menua kini, teriknya tak
lagi membakar kulit kami. Semburat senja kemerahan merona pada pipi-pipi kami.
Satu persatu kupandangi tiga anak layang-layang itu dengan penuh kasih. Aku
berterimakasih untuk cerita yang telah mereka bagi padaku hari ini. Dari dalam
tasku, ku keluarkan segenggam permen beraneka rasa. Manis, mint, coklat, bahkan
kecut kubagi rata untuk mereka bertiga. Sebagai rasa terimakasihku, aku ingin
mereka mencoba semua rasa permen-permen itu. Aku tak ingin hidup mereka yang
begitu berharga ini habis hanya dengan mengecap pahitnya rasa kehidupan yang
telah mereka lalui.
Dengan tangan yang melambai dan tersenyum
lebar memamerkan gigi mereka yang ompong disana-sini pun kami berpisah. Mereka
bersiap pergi ke surau, dan aku kembali kerumah dengan perasaan bahagia, haru,
sedih yang seketika menjadi kacau balau.
Comments
Post a Comment