Tuhan pernah sengaja mempertemukan
kita dalam ketidaksengajaan, untuk pada akhirnya menjadikan kita sebagai objek
pembenaran kalimat ‘bahwa cinta tak harus memiliki’. Begitulah, takdir bicara
dengan kalimatnya sendiri. Segala yang tak mampu ku lawan, menjadi kesakitan
tersendiri yang perlahan membunuhku diam-diam.
Bagaimana bisa kutahan angin
bertiup? Seperti halnya tak mungkin ku tunggu api tiba-tiba menyala dari
setungku abu yang t’lah lama dibekukan udara. Seperti itulah ketidak-mungkinan
dayaku melawan takdir yang terpahat atasku. Seperti itulah ketidak-berdayaanku
menahanmu pergi dariku: karena Tuhan t’lah berkehendak demikian adanya.
Mungkin, ketidaksengajaan pertemuan
kita sebelumnya merupakan awal pembelajaran yang memintaku agar menjadi lebih
pintar dalam menjawab segala persoalan hidup ini. Bukankah hidup itu sendiri
adalah misteri? Yang kadang memposisikan kita diatas, dibawah, didepan,
dibelakang, dimanapun semau dan sesukanya? Seperti kita yang berkebetulan
bertemu pada suatu waktu, untuk kemudian bersama-sama saling membalikkan badan
tanpa berucap sepatah kata perpisahan.
Mungkin memang begitulah
rencana-Nya sejak awal. Mungkin harus demikian sakit yang harus aku kau lalui
demi sebuah pembelajaran hidup.
Namun tak sekalipun aku menyesalinya. Setidaknya, bertemu
denganmu pernah menahan senyumku berkembang lebih lama selama beberapa waktu.
Walaupun setelah kepergianmu, pipi ini tak pernah libur dari curahan air mata
karena merindukanmu. Bagiku
tak mengapa, sungguh tak mengapa. Bukankah kita harus adil dalam hidup kita
sendiri? Adil membagi ruang untuk duka dan bahagia kita. Sebagaimana spasi
disela kata, kita kadang butuh duka diantara bahagia. Karena dengannya, hidup
akan menjadi lebih mudah untuk kita baca.
. . .
Comments
Post a Comment