Skip to main content

Diantara Dua Hujan


Januari baru saja meleleh bersama rintik gerimis yang masih muda, mengembun pada anak-anak rambutnya yang belum sempurna basah. Dengan langkah tergesa-gesa Ia susuri gang-gang sempit yang berlumpur, seolah ingin berpacu dengan senja yang t’lah sedari tadi pecah di ufuk barat. Sesekali Ia menoleh kebelakang untuk memastikan tidak ada seorang pun yang mengikutinya. Dengan setengah berlari Ia berbelok di ujung gang dan kemudian menghilang ditelan dua tembok merah muda yang setengahnya telah penuh bercak noda lumpur berwarna kecoklatan.
Kirana. Begitulah kebanyakan orang menyebutnya. Tak banyak yang mengetahui tentang sosok Kirana yang selalu tertutup dari lingkungan sekitarnya itu. Pergi pagi-pagi sekali, dan pulang selalu diwaktu yang sama, diwaktu-waktu burung gereja berarak-arak kembali ke peraduannya. Selalu dengan kediamannya yang sama, dan kepala tertunduk yang selalu sama.
Diam-diam aku selalu memperhatikannya. Aku menunggu waktu-waktu saat Ia berlalu didepan rumahku dengan wajah tertunduknya. Dan kembali duduk di jendela menunggu lagi waktu-waktu ia kembali, detik-detik saat Ia berlalu didepan rumahku, dan selalu begitu. Aku belum merasa bosan dengan rasa penasaranku akan sosoknya. Seolah aku tak lebih dari seorang penguntit yang terkadang merasa dibodohi oleh pesona sekelebat bayangan Kirana, tapi kurasa tak mengapa.
"Kirana, karenamu hidupku hanya mengenal dua waktu, hanya pagi dan senja saat bayangmu melintas diambang kelopak mataku. Tak bosan ku pandangi kaca jendelaku di dua waktumu berlalu, sembari menyimpan harap kalau-kalau besok aku dapat melihatmu lagi, saat hari berganti, saat mendung mengambang diantara tiap-tiap sore kita."
 Aku suka saat rinai hujan menetes pada pipinya, melalui poni hingga akhirnya jatuh menjadi serpih ditanah. Aku suka melihat langkah kakinya yang selalu terburu-buru, seakan takut seseorang lain sepertiku menikmati lebih lama pesonanya. Aku ingin menyapanya, tapi aku malu.
Tak banyak yang mengetahui siapa Kirana sebenarnya. Baru 2 tahun berlalu sejak pertama kali Ia menginjakkan kaki disini. Aku ingat saat itu aku hanya memandangnya lama di jendela, memperhatikan apa saja yang Ia lakukan dengan rumah barunya. Kirana seorang diri. Dan selalu menyendiri sejak saat itu.
Bukan tanpa alasan aku mengaguminya. Aku bahkan hanya tau namanya. Entah siapa orangtuanya, dan darimana Ia berasal. Tapi apa peduliku? Aku menyukainya sejak pertama kali kulihat Ia tengah kerepotan dengan box-box kardus yang coba ia pindahkan satu persatu seorang diri.
Bahkan dengan mata terpejam dapat ku rasakan cantiknya, lembut membelai anganku. Dengan mulut yang sedari tadi bungkam kuungkapkan sejuta kekagumanku padanya, Kirana. Hingga tiba-tiba kudengar langkah kakinya menjauh dariku, membuyarkan lamunanku tentangnya. Namun aku t’lah kehilangan bayangnya, sesaat sebelum Ia sampai pada tikungan itu.
***

”Ma, mana anakku?” jerit gadis itu setengah tertahan pada seorang wanita paruh baya yang terlihat sembab matanya.
“Sudahlah nak… kau berhak untuk menjalani hari-harimu tanpanya. Kau masih punya hidup untuk kau jalani, tapi tidak dengan kehadiran bayi itu!” sahut wanita itu tak kalah sengit.
Keheningan yang terdengar janggal kian mempertegas nafas yang tertahan ditenggorokan kedua wanita beda usia tersebut. Hujan diluar seperti mengerti suasana hati keduanya, namun tak semuram wajah kedua Ibu anak itu.
“Tapi dia darah dagingku Ma… dia cucu mama. Kenapa aku nggak boleh memilikinya? Kalau mama malu dengan keadaanku, aku bisa pergi kesuatu tempat yang tidak seorangpun mengenalku. Tapi kenapa Ma..kenapa?” gadis malang itu masih meratap dikaki meja dengan kedua kakinya yang masih lemas. Bercak noda darah masih terlihat dibagian bawah dasternya yang bermotif bunga-bunga.
Baru beberapa jam lalu ia terlihat sangat ceria dikamarnya, mengelus-elus perutnya yang belum terlihat buncit. Kehidupan baru dalam perutnya seakan mengerti isyarat sentuhan tangan Ibunya, Ia merespon dengan mual yang menyerang gadis itu tiba-tiba. Berulang kali ia mondar-mandir dikamar mandi, namun cerianya tak berkurang dalam wajah pucat yang kelelahan itu. Ia mencintai janin mungil yang sedang tumbuh didalam rahimnya yang masih teramat muda.
***
Hujan lebat malam itu menelan jeritannya. Dua lelaki bertubuh kurus tengah sibuk menelanjangi tubuhnya yang lemah dalam pekat malam disebuah ruangan sempit. Dalam ruangan tersebut hanya terdapat selembar kasur tipis yang tergeletak dilantai, selebihnya hanya sebuah meja kecil. Dua-tiga botol beer yang telah tandas isinya teronggok begitu saja turut menjadi saksi saat kedua lelaki bejat itu secara bergantian membenamkan kemaluan mereka  pada liang suci gadis tak berdosa itu.
Sakit tak terperi. Perih dihati dan sekujur tubuhnya. Satu jam dirasa cukup oleh kedua pemuda mabuk itu untuk memuaskan nafsu bejat mereka. Lalu meninggalkannya seorang diri yang berjuang untuk mempercayai apa yang baru saja menimpanya. Air matanya telah kering, kerongkongannya terasa gering. Habis sudah suaranya, bahkan tak tersisa untuk sekedar terisak dalam jerit tertahan.
Dengan langkah sempoyongan Ia bangkit. Keinginannya untuk pergi dari ruangan terkutuk itu begitu kuatnya memaksa kakinya yang lemah untuk melangkah, menjauh. Masih jelas terngiang dalam benaknya bagaimana desah kedua pemuda tadi mengotori rahimnya dengan sesuatu yang tak diinginkannya. Pangkal pahanya masih terasa perih sehabis dicabik-cabik oleh nafsu binatang kedua pemuda itu. Hatinya remuk redam. Jeritnya masih tertahan. Yang dapat Ia lakukan hanyalah menyeret langkahnya dalam diam.
Wanita separuh baya yang cemas menunggu anaknya kaget bukan kepalang melihat kondisi putrinya yang pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Bajunya koyak, pakaian dalamnya entah kemana. Jarum jam telah sampai pada angka 2 kala itu, tengah malam yang suram. Tengah malam paling kelam bagi Kirana dan ibunya. Seandainya ayahnya masih hidup, luka pada pangkal pahanya itu akan terbayar dengan darah disekujur tubuh kedua pemuda itu. Ayahnya takkan membiarkan mereka hidup menghirup udara lebih lama. Bedebah.
Beberapa waktu berlalu. Kirana menjadi sangat pendiam dan menarik diri dari kehidupan normalnya. Seluruh waktunya Ia habiskan didalam kamar, memandang serpih cahaya matahari yang menerobos malu-malu lewat kaca jendela yang selalu Ia tutup rapat. Ketika malam menjelang, buru-buru Ia menenggelamkan diri dibalik selimut tebalnya. Selimut berwarna ungu muda itu selalu berhasil melindungi ketakutannya dari suara-suara tawa dan desah dua pemuda yang selalu terngiang dalam dunia heningnya.
Ibunya hanya bisa menangis mendapati satu-satunya putri yang Ia miliki terpuruk dalam trauma hebat. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menyembunyikan aib tersebut dari siapapun yang tak berhak mengetahuinya. Ia hanya bermaksud melindungi Kirana. Ia begitu mencintai putri semata wayangnya itu.
Hingga suatu hari ketakutan terbesarnya menjadi kenyataan. Pagi-pagi sekali saat Ia mengantarkan makanan ke kamar Kirana, dijumpainya putri tunggalnya itu tengah duduk meremas perutnya. Wajahnya pucat. Terlihat bulir-bulir keringat dingin membasahi anak-anak rambut yang acak-acakan dikeningnya.
”Kamu sakit sayang?” tanyanya dengan lembut. Namun dua garis merah pada alat test kehamilan yang tergeletak dilantai itu menjawab semua tanda tanya dalam hatinya yang seketika remuk.
”Aku hamil Ma.” seru Kirana lirih dengan mata berkaca-kaca. Dua ibu anak itupun berpelukan. Dengan pipi yang basah, segala keingin-tahuan tentang letak keadilan Tuhan pun mulai mereka pertanyakan.
Segala mimpi buruk itupun kembali berputar-putar dibenak Kirana. Malam saat ia diculik ketika pulang dari les gitar. Hujan yang terlalu deras terpaksa membuatnya harus berteduh dibawah canopi sebuah rumah yang nampaknya kosong. Satu jam berlalu hujan tak jua reda, saat tiba-tiba muncul kedua lelaki bejat itu.....akh, Kirana bahkan tak sanggup mengingat apapun yang terjadi setelah itu.
***   
Entah mendapat ilham dari mana, pagi-pagi sekali keesokan harinya setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, Kirana mengatakan sesuatu yang membuat mamanya hampir kena serangan jantung. Ditatapnya putri semata wayangnya itu dengan tatapan memohon ketika didengarnya Ia berkata, ”aku akan melahirkan anak ini Ma”. Wanita separuh baya itu tak sanggup berkata apa-apa. Seketika tubuhnya lemas, dan Kirana berlalu ke kamarnya lagi, ke dunia heningnya lagi.
Dan pagi berikutnya adalah babak petaka baru bagi Kirana yang malang. Akal sehatnya seakan tak sanggup menggapai cara berfikir Mamanya. Bagaimana mungkin Ia tega menghabisi nyawa cucunya sendiri dengan cara yang begitu pengecut? Segelas susu yang telah dicampur dengan ramuan penggugur kandungan t’lah merenggut kehidupan kecil yang tengah Ia perjuangkan. Walaupun ia tak pernah membayangkan untuk memiliki seorang anak di usia semuda itu, namun kasih sayang yang tak dimengertinya selalu berbisik padanya bahwa Ia harus membesarkan anak itu.
Tapi pagi ini, buah hati yang baru saja Ia cintai t’lah luruh mengalir dikedua pangkal pahanya... mengalir deras lewat kaki mulusnya. Kirana yang malang hanya mampu menangis. Sekali lagi, dunia heningnya telah memulai episode baru dalam jeda yang pahit.

*Bersambung*

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..