Semua terjadi begitu cepat. Begitu tiba-tiba. Tiba-tiba aku berada
disebuah ruangan bercat putih dengan seseorang berjas putih tengah sibuk
membebat kakiku dengan perban berwarna putih. Tiba-tiba kurasakan sakit
disekujur tubuh, mulai dari ujung jejari kaki sampai akar rambut yang
satu-persatu terasa seperti tercerabut. Beberapa menit mataku hanya mengerjap,
berusaha mengumpulkan serpih ingatan yang tercecer dalam jeda ketidak-sadaranku
tadi.
”dok, pasien sudah sadar.” seorang wanita muda disebelahku berkata. Lelaki
yang dipanggilnya dokter tersebut kemudian menghampiriku, memeriksa bola
mataku, dan menyentuh pergelangan tanganku, memeriksa denyut kehidupan pada
nadi yang tadi sempat melemah.
”kepalanya masih sakit?” Ia bertanya dengan suara lembut sembari memeriksa
kepalaku.
Aku diam. Ingatanku melesat melampaui segala tiba-tiba yang baru saja
aku alami. Baru beberapa saat lalu aku berada diruangan lain, menunggui ayah
yang belum sadar dari koma-nya setelah beberapa hari. Baru beberapa saat lalu
aku mengecup tangannya untuk pamit pulang sebentar, dan tiba-tiba sekarang aku
berada diruang yang sama sepertinya, terbaring dengan perban melilit tubuhku
disana-sini. Nyeri dibagian kepala, kaki, tangan, pinggang, dan punggung
satu-persatu mengukuhkan serpih ingatan bahwa beberapa saat lalu aku mengalami
kecelakaan.
Seingatku, aku tengah berada diboncengan kakakku yang mengemudikan
motornya dengan kecepatan sedang. Bagaimanapun juga, kami tidak sedang diburu
waktu. Dibawah siang yang terik kami berdua melumat jalanan yang terlihat
seperti meleleh diujung sana.
Seingatku, aku tengah asik membalas sms seorang temanku. Masih
diboncengan, sesekali aku tertawa kecil menanggapi smsnya. Menikmati udara
siang jalanan yang pengap. Memandang silau pepohonan yang menengadah memandang matahari.
Dan tiba-tiba sebuah truk merah menyerempet motor yang membawa kami.
Tiba-tiba, aku terlempar ketengah jalan. Jalanan yang tadinya kulihat
seperti meleleh dilalap panas, ternyata begitu keras menghantam batok kepalaku.
Aspal ini terasa panas saat mengoyak jeans yang ku kenakan. Dan terasa cukup
panas saat menggores kulit tanganku, kakiku, bahkan mengoyak sehelai kerudung
yang membalut kepalaku.
Aku berguling beberapa saat, beberapa detik yang terjadi begitu
tiba-tiba. Detik berikutnya ku buka mata dengan paksa, beberapa meter didepanku
terlihat truk merah yang berhenti dengan tiba-tiba. Sedetik saja kaki supir itu
terlambat menginjak rem, mungkin aku telah luluh lantak dilumat roda-roda besar
truk itu. Lalu tiba-tiba segalanya
terlihat gelap dimataku.
Telepon genggam milikku berdering nyaring, mengacaukan lamunanku. Nama
ibu tertera disana, memanggilku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha terdengar
baik-baik saja. Biar bagaimanapun juga, aku tak ingin membuat ibuku terkejut
dengan berita kecelakaanku. Dengan suara yang sangat gembira Ia berkata, ”Ayah
sudah sadar...dan langsung menanyakanmu. Cepat selesaikan urusan dirumah dan
kembali ke rumah sakit ya.”
Dua hari berlalu, aku belum cukup mengumpulkan keberanian untuk berkata
sejujurnya. Tak dapat ku bayangkan bagaimana perasaan ibuku saat mengetahui
bahwa putrinya hampir saja menemui ajal dijalanan. Disaat hatinya tengah kacau
balau memikirkan suaminya yang terbaring lemah disana, ku rasa takkan adil
untuk membagi sakit ini lagi padanya. Maafkan aku, Ibu..
”Sepertinya ada sedikit masalah
dibagian kepala yang terbentur. Mengingat benturannya cukup keras, saya tidak
bisa memastikan kepalamu akan baik-baik saja untuk satu-dua tahun kedepan. Sebaiknya
saya segera memindahkan kamu ke Rumah sakit pusat yang peralatan medisnya lebih
memadai..” dokter berkata
kepadaku sambil menyerahkan beberapa lembar kertas untuk ku tanda-tangani.
Dengan diantar ambulance dan kakak lelakiku aku dipindahkan ke rumah sakit
pusat, rumah sakit dimana ayahku tengah berbaring sakit selama berhari-hari
karena serangan stroke yang tiba-tiba merubuhkan tubuh kekarnya dengan sekali
hantaman. Itu artinya beberapa saat lagi aku akan bertemu ibuku disana. Itu artinya
ibuku akan terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba, tiba-tiba penuh luka.
Benar saja, takdir t’lah tertulis begitu rapinya. Siapa sangka aku yang
pada mulanya begitu gigih menunggui ayah yang tak jua sadarkan diri pada
akhirnya terbaring tepat diruangan sebelah tempat ayahku berbaring. Sekat tembok
yang menghalau pandangan tak mampu menutupi kesedihan ibu yang terpahat jelas
dimatanya yang lelah bergadang selama berhari-hari. Yang dapat kulakukan
hanyalah menguatkan diri sebisa mungkin agar tak menambah lelah itu lagi.
Beberapa hari kemudian ayah dinyatakan sembuh, walau sebelah tubuhnya
menjadi lumpuh. Ia diperbolehkan pulang oleh dokter-dokter yang merawatnya. Namun
aku masih harus terbaring disana. Hati ibuku kembali terbelah dua, bingung
antara harus pulang ,erawat ayahku dirumah, atau menunggui aku yang bersikeras
berkata tak mengapa jika ditinggal saja.
Dengan berat hati Ibuku menitipkanku pada kakak dan beberapa kerabat
yang menjagaku. Saat kulihat betapa keras usahanya menahan tangis, ku bisikkan
padanya kalau aku pasti menyusulnya pulang secepat mungkin. Agar Ia tak perlu
lagi bersusah membelah kekhawatirannya pada ayah dan padaku.
Dan benar saja, tekadku yang sekuat baja membuatku lebih cepat pulih
dari perkiraan. Masih dengan kaki, kepala dan tangan yang terbebat perban
disana-sini aku pulang ke rumah satu minggu kemudian. Begitu gembiranya
sampai-sampai aku tak sanggup memejamkan mata selama diperjalanan. Sejenak aku
melupakan segala kesakitanku, aku merasa tak ada yang lebih baik daripada
berkumpul dengan ibu dan ayahku. Ku rasa itulah satu-satunya obat yang akan
meringankan sakit disekujur tubuhku.
Aku sampai dirumah dengan disambut peluk cium oleh ibu dan kakakku. Belum
ku jumpai ayah, kata ibu Ia tengah melakukan check up di Rumah Sakit terdekat di kotaku. Pikirku tak mengapa,
toh sebentar lagi dapat kutemui Ia sekembalinya nanti.
Entah berapa lama aku tertidur. Tubuhku yang masih lemah tak menyadari
penantianku t’lah berlalu berjam-jam. Hari beranjak gelap, ku lihat raut wajah ibu
begitu gelisah. Sesekali ia berkata padaku, ”Jangan khawatir..semua akan
baik-baik saja”. Apa lagi yang harus ku khawatirkan bu?
”Ayah dimana?” tanyaku pada ibu.
“Kondisinya kembali memburuk,
mungkin Ayah akan dibawa ke Rumah Sakit pusat lagi..” terbata-bata ibu berkata
padaku. Aku tau Ia t’lah berusaha untuk terlihat tegar didepanku. Namun kata-kata
meluncur begitu saja dari bibirnya, sederas air mata yang tiba-tiba mengalir
dari sudut-sudut matanya yang keriput.
Dari kejauhan ku tatap tubuh ayah yang terbaring lemah. Sudut matanya
membeliak, mencari-cariku. Ku
hampiri Ia perlahan. Tanpa kata, ku usap punggung tangannya. Dalam hati aku
berusaha meyakinkannya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Lirih ku bisikkan Istighfar ditepi
daun telinganya, tiga kali, dengan suara yang nyaris tak dapat kudengar oleh
telingaku sendiri. Aku takut, sedikit saja aku bersuara tangis ini akan tumpah
meruah diatas semua suara yang dapat ku bisikkan padanya.
Perlahan tangannya meraih ubun-ubunku, mengusapnya lembut. Masih dengan
diam yang sama, diamku dan diamnya, kami bercengkrama. Lewat matanya yang mulai
basah Ia berkata, entah berkata apa. Hatiku terlalu berkabut untuk dapat
mencerna isyarat yang coba Ia sampaikan kepadaku. Kesedihan ini datang terlalu
tiba-tiba, entah mengapa. Seperti takkan ku jumpai ayahku lagi esok pagi. Tidak.
Ku buang jauh-jauh pikiranku itu. Semua akan baik-baik saja.
Ambulance membawanya pergi. Kembali jarak membentangkan tangannya
diantara tubuh-tubuh lemah kami. Sekalipun hati kami tertaut dalam simpul cinta
yang tak terkatakan, namun tetap saja, tubuh kami ingin tetap bersentuhan. Sebisa
mungkin, kami masih ingin melanjutkan cerita yang tertunda. Ah, tidak, masih
terlalu banyak kerinduan yang belum ku tuntaskan padanya. Pada ayah yang sangat
ku cintai. Cepatlah sembuh, Ayah....
21 Desember 2009,
Jarum jam masih bergelayut manja diangka 2. Masih terlalu pagi untuk
terbangun. Aku bahkan belum merasakan tidur malam ini. Entah sudah berapa kali
ku tatap jam dinding itu, namun seakan waktu bergerak begitu lambat, jauh lebih
lambat dari biasanya. Gelisah yang tak biasa memaksa mataku tetap terjaga. Entah
t’lah berapa banyak kali segala do’a ku rapal untuk sekedar menenangkan hati,
namun sia-sia.. aku tetap merasa ingin segera berlari menemui ayahku.
Sayup-sayup kudengar subuh mengetuk daun jendelaku, mengabarkan
kedatangannya yang tiba-tiba. Aku tertidur beberapa saat ditengah kekalutanku. Tergopoh-gopoh
kuraih telepon genggam disebelahku. Beberapa panggilan tak terjawab dari kakak
dan ibuku. Setengah gemetar ku tekan tombol untuk memanggil nomor itu lagi,
kakakku menjawab.
”Innalillahi wainnailaihiroji’un...
do;akan agar ayah kita mendapat tempat yang terbaik.....”
Tak sanggup lagi ku dengar lanjutan kata-katanya yang tiba-tiba. Angin subuh
yang biasanya teduh seketika membekukanku. Lidahku kelu. Ku paksa kedua mataku
tertidur lagi, dan berdo’a dengan sepenuh hati, mengiba kalau-kalau ini hanya
bagian dari mimpi buruk. Namun tidak, entah darimana datangnya, airmata
berloncatan dari kelopak mataku yang menghitam. Tiba-tiba kurasakan sakit
disekujur tubuhku merajam kesadaranku. Aku merintih, bukan untuk ngilu
ditubuhku, namun jauh di ulu hatiku. Seperti sebuah luka yang berusaha
kusembuhkan sekian lama, tiba-tiba kembali terbuka, menganga.
Bagi-Nya, tak ada kata tiba-tiba. Segala takdir dan ketetapan-Nya t’lah
tertulis sempurna dalam catatan-Nya, tanpa cela. Namun tidak bagiku sebagai
seorang hamba yang tak tahu apa-apa. Segalanya terlalu tiba-tiba. Tiba-tiba
terjadi tanpa sempat menyiapkan hati.
Tiba-tiba Ia pergi.
Tiba-tiba aku sendiri.
Tiba-tiba aku dipaksa menguatkan diri sendiri.
Segala tiba-tibaMu ini Tuhan, akankah aku mampu melewatinya? Semua yang
kau curahkan tiba-tiba padaku, bilakah aku kan mengerti?
Tiba-tiba pandanganku mengabur. Gelap.
Cahaya pergi meninggalkanku,
dan bahkan suara, pun segala rasa. Tak ada lagi kesedihan dan gembira di ulu
hatiku yang terlanjur ngilu. Kalau saja aku lebih dalam mencerna, sesungguhnya
tak ada yang terjadi tiba-tiba, takdir selalu datang tepat pada waktunya.
Untuk ayah,
"Setelah kau pergi, Ayah, yang tersisa adalah seruang ingatan yang mengerami kenangan tentang masa kanak-kanak yang kulalui dengan begitu bahagia bersamamu. Tiap saat subuh yang teduh berpendar di ufuk timur, hening yang dalam seketika memeras hujan dari sudut-sudut mata yang ku paksa memejam. makin ku terpejam, makin nyata sosokmu mewujud dalam ingatan. Tersenyum, merangkulku dengan rasa yang nyata. ...... "
Untuk ayah,
"Setelah kau pergi, Ayah, yang tersisa adalah seruang ingatan yang mengerami kenangan tentang masa kanak-kanak yang kulalui dengan begitu bahagia bersamamu. Tiap saat subuh yang teduh berpendar di ufuk timur, hening yang dalam seketika memeras hujan dari sudut-sudut mata yang ku paksa memejam. makin ku terpejam, makin nyata sosokmu mewujud dalam ingatan. Tersenyum, merangkulku dengan rasa yang nyata. ...... "
Baca tulisanmu ini, Naz.. sesak memenuhi dadaku. Amarah pada tuhan yg kau coba kendalikan. Kesadaran ttg sebuah hikmah yg lebih terkesan kau paksakan. Pada akhirnya pun kita harus mengakui ttg penerimaan. Menerima keterbatasan kita untuk dg lapang mengagungkan segala kehendak tuhan. Menerima keterbatasan kita untuk meyakini keadilan tuhan.
ReplyDeleteBegitu banyak masa lalu. Hanya beberapa diantaranya yang memilih untuk damai..
terimakasih udah mampir baca curhatku mbak fenn.. hihi, i just try to be true to myself.. mohon bimbingannya trus yaa mb ^^
ReplyDelete