Hari itu
senjaku tak sejingga biasanya. Genang air dalam kelopak mataku yang basah mengaburkan
pendar-pendar cerahnya. Tepat saat Azan Maghrib mengumandang syahdu, angin
datang membawa kabar itu lagi. Terbata-bata ia bisikkan ditelingaku bahwa kakak
terkasihku telah berpulang ke pangkuan-Nya. Luruh segala tulang dalam tubuhku. Runtuh
jua kesadaranku. Sesaat waktu seakan berhenti diwaktu itu, memberikan jeda
untukku mencerna kabar duka yang baru saja kudengar. Aku membatu, kelu, namun tak sampai hilang
kesadaranku. Raung tangis ibu menyadarkanku bahwa saat itu bukanlah waktuku
untuk turut menangis. Gemetar kedua lengan kurusku memeluknya, semakin kuat Ia
meronta semakin tubuhku bergoncang hebat menahan sesak yang hendak meledak. Putramu,bu..
putra kesayanganmu telah pergi... putramu yang didera sakit sekian tahun telah
tiada...” bisikku dalam hati tanpa mampu berkata-kata, kupeluk saja ibuku
dengan sisa-sisa kekuatanku. .. Sampai magrib berlalu dengan lebih lama dari
biasanya, dengan sendu penuh air mata. Dalam sujud di rakaat terakhirku tubuhku
berguncang hebat, tepat saat otakku t’lah sadar sepenuhnya bahwa sekali lagi,
takdir menamparku dengan kehilangan, lagi. Sesaat aku protes kepada Tuhan Sang
Maha Pencipta... mengapa harus dia,Tuhan? Mengapa bukan aku saja yang Kau
ambil................................................................................................
Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani
Comments
Post a Comment