Skip to main content

nyanyian desember (part II)


#2

Akupun menuruti perintah mama tanpa berkata-kata. Segera ku balikkan badanku menuju ke kamar. Namun tiba-tiba ku dengar mama menjerit. Segalanya terjadi begitu cepat. Aku tak mempercayai mataku sendiri.
Tubuh mama melorot ke lantai dengan pisau menancap di dadanya. Ayah mengambil pisau lainnya diatas meja dan menusukkannnya berkali-kali ke tubuh mama yang tergeletak di lantai. Semua terjadi di depan mataku. Mama, aku tak mengerti semua ini. Aku bingung. Aku takut. Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku... ”TIDAAAAAKKKKKKKKK....!!” aku tak melihat apa-apa lagi. Semuanya gelap.
Mataku mengerjap perlahan. Dan ketika aku dapat membuka mataku seluruhnya, aku merasa asing. Tiba-tiba aku teringat mimpiku semalam. Akh, benar-benar mimpi yang menyeramkan. Aku tak dapat membayangkan jika mimpi semalam benar-benar menjadi kenyataan. Tapi, ini bukan kamarku, dan bukan ranjangku pula. Dimana aku? Dengan tubuh lemas aku turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari mama. Tapi sampai diluar kamar yang kulihat hanya tante Audi bersama seorang dokter.

”Mau kemana sayang?” tante Audi menghampiriku. Dokter disampingnya mengerutkan kening melihatku.
”Ima mau ketemu mama , tante”

”Ima...sayang..,” tiba-tiba tante audi memelukku, sangat erat, ”..ima, mama kamu..”

”Mama kenapa tante???” nafasku memburu tak sabar.

”Mama kamu sudah meninggal......” dan tangis tante Audi meledak dibahuku. Mama meninggal? Apa lagi ini sekarang?

”Tante jangan bercanda dong. Semalam Ima memang mimpi buruk. Mama meninggal, tapi itu kan cuma mimpi..” aku seperti sedang menghibur diri sendiri. Meyakinkan diri bahwa ini semua hanyalah bagian dari mimpi buruk semalam tadi. Tapi tidak, air mataku meleleh tanpa henti. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Mama benar-benar meninggal. ”Mamaaaaaaaaaaaaaaa.....”

Aku berlari dan terus berlari. Menembus keramaian kota, berlari di trotoar tanpa alas kaki. Aku tak perduli pada puluhan pasang mata yang menatapku keheranan. Dan kakiku baru berhenti berlari ketika aku sampai didepan rumah. Garis polisi melintang disekeliling rumahku. Tak seorang pun kulihat disana. Hanya seorang pria, duduk sambil memeluk kedua lututnya. Tangannya menggenggam pisau berlumuran darah. Darah mama.
”Pembunuh..” hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Pria itu menatapku. Wajahnya terlihat sangat kacau. Baju yang Ia kenakan pun tak lagi rapi. Pria itu tertawa terbahak-bahak, dan sesaat kemudian kembali menangis sambil menggumamkan kalimat yang tak dapat kumengerti. Dia gila. Pria itu menjadi gila. Dan hatiku semakin hancur dibuatnya.
Sejak saat itu aku hanyalah gadis sebatang kara. Tanpa mama, aku bukanlah siapa-siapa. Dan pria itu, dia bukan ayahku lagi. Ku anggap ayah t’lah mati. Dan sejak saat itu pula, aku tinggal bersama pria paruh baya gila yang tiap harinya hanya diam memandang foto kami bertiga. Sampai hari ini.

* * *

Hujan masih menyisakan rintik-rintik, sedang malam kian larut dalam gelapnya. Ku putuskan untuk kembali kerumah dan bertekad tidak akan menghiraukan pria itu lagi.
Dalam perjalanan pulang, otakku yang benar-benar t’lah letih kembali emmutar memori masa lalu. Namun kali ini bukan tragedi itu lagi yang kuingat, meainkan kenangan-kenangan manis tentang mama dan ayah ketika kami masih sangat bahagia dulu.
Teringat kembali saat ulang tahunku yang ke-13 ayah mengajakku dan mama berlibur diluar kota dan menyewa sebuah villa. Atau kenangan ketika kami piknik ditepi danau. Dan berjuta kenangan manis lainnya tentang ayah, tentang mama, tentang kami bertiga.
Tuhan, salahkah bila ku maafkan pria itu? berdosakah jika kupanggil Ia dengan sebutan ayah lagi? Tuhan, aku harus bagaimana..

Aku t'lah sampai didepan rumah. Dengan tangan gemetar karena kedinginan ku buka pintu rumah perlahan. langkahku terhenti ketika kulihat pria itu masih duudk di kursi goyang tuanya, seperti biasanya. namun sepertinya ada yang berbeda kali ini. Dia seperti tengah tertidur, sangat lelap.
Perlahan ku hampiri pria itu. Rasa benci dan cintaku berpacu dalam dadaku. Aku berdiri didepannya, kaku tak bersuara. Aku sama sekali tak ingin mimpi buruk empat tahun silam terulang lagi sekarang. tidak, jangan sekarang.
Namun pria itu tak membalas tatapanku. Matanya tertututp rapat. Tangan kirinya memeluk foto kami bertiga, dan ditangan kanannya ada sepucuk surat yang Ia biarkan terbuka.
Entah mendapat keberanian dari mana, ku raih surat itu. Dan perlahan ku coba meraba kata demi kata yang tertulis disana.

31 Desember 2012
"Ima, puteri kecilku tersayang...
Empat tahun ayah merindukan senyumanmu, empat tahun tak ada yang memanggilku dengan sebutan ayah lagi. Empat tahun ayah memendam penyesalan ini. Dan selama empat tahun pula ayah tersiksa karena menahan diri untuk tidak memelukmu, sayang. Karena ayah tau, kau tak akan mengizinkan ayah untuk menyentuh puteri kecil ayah dengan tangan kotor ini.
Ima, anakku sayang,
Ayah tau, ayah samasekali tak pantas untuk meminta maafmu. Ayah tak berhak memintamu tersenyum pada ayah. Karena ayah tau, kau pastinya sangat membenci ayah. Ayah sangat mengerti, sayang.
Tapi, Ima, buah hatiku, ayah tak dapat membohongi hati kecil ayah yang selama empat tahun ini begitu merindukanmu. Tapi ayah tak punya cukup keberanian walau untuk sekedar tersenyum padamu. Segalanya yang terjadi empat tahun lalu adalah murni kesalahan ayah. Ayah khilaf. Tapi ayah rasa hukuman yang ayah dapatkan sudah cukup setimpal, karena selama empat tahun ini kau menganggap ayah tak ada.
Ayah begitu menyayangimu, nak. Ayah mencintaimu dengan segenap rasa penyesalan yang takkan cukup ditebus dengan kepergian ayah. Maafkan Ayah, sayang. Selamat tinggal..."


Butir-butir obat tidur berserakan dilantai. Inikah jalan yang ayah pilih untuk menebus kesalahannya? Inikah cara ayah untuk mengakhiri hidupnya? Kenapa.... kenapa disaat aku mulai belajar untuk mencintainya lagi ayah malah pergi? Tuhan..apa lagi inii....
Aku tak tau lagi harus bagaimana. Selain air mata, aku tak punya apa-apa lagi. Keberanianku t'lah menguap bersama rasa benciku pada ayah. Kenyataan ini terlalu pahit untuk ku telan sendiri. Aku hanya berharap ayah tidak mati, ayah hanya sedang tertidur pulas karena kelelahan. Ayah akan segera membuka matanya dan tersenyum padaku, kemudian aku akan memeluknya. Ayah, bicaralah! Katakan sesuatu padaku! Buka matamu ayah.....
Lonceng jam berdentang dua belas kali. 1 Januari, ulang tahun ayah. aku berlutut dihadapannya, menggenggam tangannya yang tak lagi hangat.
"Selamat ulang tahun, Ayah.." lirih kuucapkan selamat ini pada ayah. Ucapan pertama sejak empat tahun lalu.. Namun ayah tetap diam tak bersuara, matanya terpejam.
Aku berdiri dan kemudian memeluk tubuh ayah. Aku duduk dipangkuannya seperti tahun-tahun lalu saat aku masih kanak-kanak. Ku lingkarkan kedua tanganku pada lehernya yang tertunduk lemas. "Selamat ulang tahun, Ayah.." kuucapkan lagi, dan ku kecup keningnya perlahan. Ayah tak membalasnya seperti yang Ia lakukan empat tahun lalu. Ayah bahkan tak membuka matanya. Tak akan pernah membuka matanya lagi.

Desember akan segera berakhir lagi. Ada yang berbeda dari Desemberku pada tahun-tahun sebelumnya. Pria paruh baya itu tak pernah menatapku lagi. Kursi goyang tua itu kini kosong, dan seterusnya akan selalu kosong tanpanya.
Hembusan angin yang menampar dedaunan kudengar sebagai nyanyian perpisahan untuk bulan Desember. Mengalun, membuai diriku yang sebatang kara. Selamat tinggal Desember, Selamat jalan Ayah.

*TAMAT*

Comments

  1. ada yang gantung kyaknya sai...setelah pembunuhan itu, garis polisi itu, posisi ayah yg beneran gila atau gimana? kok ga ada cerita penjara juga? hehe....buat sedikit masukan aja sih. aku juga masih banyak kurangnya, makanya butuh saling mengoreksi juga. iya kan? wakakkaka

    ReplyDelete
  2. hahahaa.. gak tau tuh sai, dlu aku nulisnya dpt ide drmna. mesti tiap bkin crpen salahsatu tokohnya mati trbunuh dgn sadis. wkwk.. itu critanya si ayah pulang mabok gr2 kalah judi, tb2 bunuh istrinya, trus jd gila pas liat istrinya mati. krna dy gila mknya gak ditahan. tp sbnrnya dy gak gila, dy cm syok sndiri..dan ngrsa brsalah sm anaknya. geje pkonya.. hahha
    but, thanks anyway saii..ini crpen lama bgttt.. >.<

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..