Skip to main content

Nyanyian Desember (part I)



#1

Sebentar lagi Desember akan berakhir. Beberapa Desember t’lah kulewati bersama sepi dan tanpa Ayah disisiku. Beberapa Desember t’lah berlalu namun ayah tak pernah memberikan senyumnya untukku. Dan entah berapa Desember t’lah kulalui dengan derai air mata yang seolah tak pernah kering dari lubuk hatiku. Mama, aku percaya tangamu erat memelukku, walau dunia kita tak lagi sama.
Tahun ini tak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pria paruh baya yang tinggal bersamaku masih sama seperti hari-hari sebelumnya, dingin dan tak bersahabat. Aku hanya bisa bersabar menghadapi tingkahnya yang kadang membuatku sangat sulit untuk mencintainya.
Benci, marah, menyatu menjelma dendam tiap kali teringat ketika desember beberapa tahun silam yang kulalui bersamanya, pria paruh baya yang selalu memandangku dengan tatapan yang tak ku mengerti, tak pernah ku mengertinya. Terlalu sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa aku harus tinggal satu atap dengannya. Ayah, ku mohon jauhkan pria ini dariku!

* * *
Mega berarak jingga keemasan ketika aku sampai di rumah. Tanpa melirik sedikitpun kearah pria itu aku masuk kedalam kamar dan menghempaskan tubuh lelahku diatas ranjang. Kegiatanku hari ini sudah cukup menguras seluruh tenagaku. Aku tak ingin mempersulit diriku dengan mengingat pria itu lagi hari ini. Pria yang tak pernah tersenyum, yang tiap harinya dihabiskan diatas kursi goyang tua memandang fotoku, mama, dan ayah yang tergantung di dinding ruang tamu kami. Akh, semakin hari aku semakin membencinya saja. Ayah, katakan aku harus bagaimana lagi?
Baru sebentar mataku terpejam, tiba-tiba aku teringat bahwa sejak siang tadi perutku belum juga diisi. Dengan langkah gontai aku keluar kamar menuju dapur untuk mengambil makanan. Barangkali masih ada sisa-sisa makanan yang kutinggalkan dilemari es semalam.
Namun langkahku terhenti ketika kulihat pria itu tidak seperti biasanya. Dia menangis. Kulihat tangannya memeluk foto yang selalu dipandanginya tiap hari. Isaknya memancing emosi yang selalu ku pendam dalam-dalam selama ini. Dengan amarah yang teramat sangat ku hampiri pria itu dan merebut foto yang dipeluknya erat.

”untuk apa air mata itu, hah?? Kamu bahkan nggak berhak menangisi foto ini! Seharusnya kamu nggak  pernah menyentuh foto ini...”. Suaraku bergetar emnahan amarah dan pedih yang menari-nari didadaku. Sesak dan sakit merasuk diam-diam.

”Ayah hanya teringat kenangan kita dulu, Ima...” Ujar pria itu lirik disela-sela tangisnya.

”Apa? Kenangan apa? Kenangan ketika dengan tanpa belas kasihan kamu bunuh mama didepan mataku? Itu yang kamu sebut kenangan?” Aku tak dapat menahan emosiku lebih lama lagi, semua tumpah bersama air mataku.

”Maafkan Ayah...semua itu terjadi diluar kendali ayah....”

”Kamu bukan ayahku lagi! Bagiku kamu tak lebih dari seorang pembunuh!” Tanpa mampu berkata-kata lagi aku menghambur keluar rumah, berlari menerobos malam yang seakan mengerti kesedihanku. Tak kuhiraukan seberapa dingin malam memelukku diluar sana. Aku tak perduli. Aku hanya ingin pergi.

”Ima.. jangan pergi nak... maafkan ayah..” sayup-sayup ku dengar pria itu memanggil –manggil namaku. Aku tak tahan lagi. Aku hanya tak ingin mendengar suaranya. Aku terus berlari dan terus berlari.
Dadaku seperti mau meledak. Detak jantungku berpacu bersama marah dan kepedihan yang bergejolak semakin membuatku frustasi. Aku berteriak mengoyak keheningan malam yang t’lah terlelap dalam tidurnya, berharap benciku pada pria itu terbang bersama gema suaraku.

Beberapa saat kemudian aku sadar aku telah berada ditepi danau. Danau yang sering ku kunjungi bersama mama dan ayah dulu. Danau yang menjadi saksi bahwa kami pernah menjadi keluarga yang benar-benar bahagia seutuhnya, dulu.
Tiba-tiba lidahku kelu, tak mampu berkata-kata. Air mataku baur bersama air hujan yang mengguyur tubuhku yang bersimpuh tanpa daya ditepi danau ini. Otakku memutar kembali memori beberapa tahun lalu. Desember terakhir yang kulalui bersama mama dan ayah.
                                           * * *

Saat itu aku dan mama t’lah merencanakan akan menghabiskan malam tahun baru ditepi danau ini. Sengaja rencana ini kami rahasiakan dari ayah, karena ini semua merupakan bagian dari surprise party yang kami siapkan untuk ulang tahun ayah yang bertepatan dengan malam pergantian tahun baru.
Masih dapat kuingat dengan jelas, malam itu tanggal 31 Desember. Mama duduk seorang diri di depan televisi yang menyala, namun matanya memandang hampa entah kemana. Ku hampiri mama perlahan.

”Mama..” dengan lembut ku sentuh bahu mama, berusaha agar tak membuatnya terkejut.

”Ima.. kok belum tidur sayang? Udah larut lo” Mama membelai lembut kepala yang kurebahkan dipangkuannya.

”Belum ngantuk ma. Mama sendiri kok belum tidur?”

”Mama nunggu ayah dulu, sayang”

Emangnya ayah kemana ma? Kok jam segini ayah belum pulang? Nggak biasanya..”

“Ayah masih ada urusan……,” Belum sempat mama meneruskan kalimatnya, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak didepan pintu. Mama segera menghampiri pintu dan membukanya. Rupanya ayah yang datang. Dan, oh Tuhan…ayah mabuk? Ayah bicara seperti orang mengigau. Aku tak mengerti apa yang ayah katakana. Judi? Kalah? Apa maksud semua ini.....

”Ima, masuk kedalam kamar dan kunci pintu ya sayang!” Kata mama setengah memerintah. Sepertinya mama tak ingin aku melihat ayah seperti itu. Tidak seperti biasanya ayah pulang dalam keadaan sekacau itu.
Akupun menuruti perintah mama tanpa berkata-kata. Segera ku balikkan badanku menuju ke kamar. Namun tiba-tiba ku dengar mama menjerit. Segalanya terjadi begitu cepat. Aku tak mempercayai mataku sendiri.
Tubuh mama melorot ke lantai dengan pisau menancap di dadanya. Ayah mengambil pisau lainnya diatas meja dan menusukkannnya berkali-kali ke tubuh mama yang tergeletak di lantai. Semua terjadi di depan mataku. Mama, aku tak mengerti semua ini. Aku bingung. Aku takut. Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku... ”TIDAAAAAKKKKKKKKK....!!” aku tak melihat apa-apa lagi. Semuanya gelap.

*bersambung*

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..