Cintamu tak ubahnya seperti musim semi yang menghangatkan
jiwa yang kala itu tengah terpuruk dalam ketidakpastian cinta anak manusia. Kau
rubah abu-abuku menjadi ungu. Kau rubah pekatnya duka kembali merah muda,
merona. Pelangi seakan membias lagi tiap saat embun mengerling manja pada
pagi-pagi saat kau sapa aku yang menahan rindu semalaman tadi.
Aku
terbuai oleh kehangatan yang musim semi tawarkan padaku. Hingga tanpa terasa
musim ’kan berganti lagi ketika kau pergi meninggalkanku sendiri. Tak lagi ku
dapati kupu-kupu disekeliling hatiku, tak ada lagi kamu. Musim dingin ini
begitu sakit menggigit hatiku yang kehilanganmu. Namun kau tak mau tau.
Ternyata
cinta kita tak sepanjang pergantian musim selanjutnya. Adapun kutemukan
sisa-sisa dedaunan berguguran dihempas angin saat musim gugur tiba, menyisakan
duka yang tak lagi berair-mata. Dengan hati yang dingin, hampir membeku, ku
peluk hangat musim dengan kedua lenganku tanpamu. Biarlah, tak mengapa. Dan,
toh, musim gugur ini pun akan segera berlalu, sesingkat musim semi yang pernah
kurasakan saat aku mengenalmu dulu...
Comments
Post a Comment