Skip to main content

Berkaca Pada Peristiwa

3tahun berlalu, masih saja aku terkaget-kaget menyadari betapa jalan hidupku penuh dengan liku-liku tajam yang menjebakku. Siapa sangka kalau semua akan begini jadinya?

Tuhan mengusap ubun-ubunku dengan lembut tangan-Nya, meredakan gejolak ambisi yang kerap mendidih di kepala mudaku. Hasrat ingin meraih segalanya menari-nari dengan semangat kepercayaan diri yang sudah sejak lama terpatri dalam diri. Namun aku manusia biasa, ada sekepal kecil kesombongan merasuk dalam garis tegas perjuanganku. Kubiarkan saja, karena menurutku takkan mengapa sedikit menyombong, karena aku merasa bisa. Aku bisa menggenggam dunia dengan telapak taganku. Aku bisa meraih segalanya dengan modal ambisiku. Aku bisa menjadi aku dengan segenap kemampuan yang melekat padaku.
Namun ternyata Tuhan yang begitu menyayangiku tak suka melihat anak-anak kesombonganku tumbuh dengan liar dalam hatiku. Satu persatu kepunyaanku yang berharga Ia ambil kembali. Akh, iya.. bukan kepunyaanku, melainkan pinjaman dariNya. Dan aku sombong dengan barang pinjamanku. Betapa aku malu pada Tuhanku.
Mimpi yang kurapal tiap hari ditiap hela nafasku menjadi buram ketika Tuhan ingin aku mencoba jalan lain yang kurasa tak mungkin. Aku suka jalanku sebelumnya, yang mudah tanpa aral menerjal. Aku merasa tak mungkin menaklukkan jalan berliku yang Tuhan tawarkan ini. Lalu dimana kesombonganku? Aku membutuhkannya, namun ciut ia dengan jalan baru yang Tuhan tawarkan.
Satu persatu ambisiku luruh ketika sebuah kecelakaan membenturkan kepala bebalku. Ternyata aku diingatkan untuk bersyukur karena kepala ini masih ada untuk kugunakan berpikir, berpikir tentang-NYA.
Belum kering darah di pelipisku, kembali harus kutelan bulat-bulat kenyataan milikku yang paling berharga diambil kembali Sang Pemiliknya. Ayah yang kusayangi harus pergi disaat aku sama-sekali tak terpikirkan dengan peristiwa ini. Aku mengorek-orek kesombongan dalam tumpukan keluh kesah dalam hatiku, namun tak ada. Yang kudapati hanya segumpal daging yang bergetar menahan sakit yang begitu perih.
Tuhan mengusap dadaku dengan begitu halus. Ia minta aku ganti kesombongan itu dengan sabar dan hati yang senantiasa lapang. Ia hanya ingin mengingatkanku, bahwa ketika aku mati nanti, bahkan kesombongan akan meninggalkanku. aku akan kembali pada-NYA dengan tubuh telanjangku. Hanya saja jika aku mau sedikit bersabar, IA berjanji akan menutup aibku, aib kesombonganku. Dan Tuhan tak pernah ingkar akan janji-janjiNYa.
Ambisi kini tinggalah ambisi. Aku pejuang yang tertinggal diantara pejuang-pejuang lain yang telah lebih dahulu memenangkan pertandingan ini. Kini aku sendiri. Kini aku menatap hampa segala bentuk ambisi yang berhasil mengantar mereka pada garis kemenangan. Sedang aku mati suri karena ambisiku yang salah kaprah.
Sesal datang diakhir cerita. Kalau saja bisa ku putar waktu, sejak awal takkan kuampuni kesombongan yang diam-diam merasukiku dulu itu.
Tuhan hanya meminta aku tetap menjadi makhluk kecil-Nya yang penurut. Yang senantiasa bersukur. Tuhan tidak sedang menghukumku, IA hanya terlalu sayang untuk membiarkanku tersesat lebih jauh dalam kubangan lumpur kesombongan yang perlahan menelan imanku bulat-bulat.
Kini aku beralih pada arena perang yang lain. Musuh yang menantiku akan sama garangnya. Kepada pejuang-pejuang terdahulu ku, aku hanya mencontoh pada ambisi baik mereka. Dan Tuhan yang Maha Kaya benar-benar melimpahkan Rahmatnya dengan cara yang tak pernah kusangka-sangka. Terima Kasih Tuhanku......... 

Comments

Popular posts from this blog

Kamarku Istanaku

Aku memang lebih suka seperti ini, memaku diri dalam penjara imajiner yang kuciptakan sendiri. Kubiarkan diam mengajakku bicara semaunya, hingga ia lelah, hingga tak kudengar lagi bingar suaranya ditelingaku. Hanya di kamar ini kutemukan waktu istimewaku untuk bercakap dengan pikiranku sendiri. Apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ingin ku katakan, yang sebisa mungkin tak ku ungkapkan saat berada diluar sana kini membuncah bak air bah, di kamar ini. Dan aku sangat menikmati saat-saat seperti ini... Berbeda dengan mereka, aku memang  punya caraku sendiri untuk melegakan sesaknya hati. Dan disini, di kamar ini, aku memenjara diri dan membiarkan sedihku bebas berkelana, mengudara, untuk kemudian menjelma hujan dikedua pipiku. Biarlah. Aluna Maharani

kejutan

Malam itu saya nyaris tidak bisa tidur memikirkan sebuah benda kecil yang saya beli beberapa jam sebelumnya. Pikiran saya nyaris tidak teralihkan dari benda kecil itu.. memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, kejutan apa yang sedang menanti saya, dan perubahan apa yang akan dia bawa nantinya. Berjam-jam sibuk memikirkan itu hingga tanpa sadar saya pun jatuh tertidur, dengan mimpi tentang benda kecil tersebut. Subuh mengetuk jendela, dan seketika saya membuka mata. Inilah saatnya! Kata saya dalam hati. Ini saat yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin. Saya pun beranjak dari kamar dan meraih benda kecil yang kemarin saya beli kemudian masuk ke kamarmandi tanpa pertimbangan apapun lagi. Dan benar saja, benda kecil itu memunculkan dunia garis merah yang sangat saya nantikan. Dan astaga, kalau saja saya tidak sedang berada di kamarmandi, mungkin saya sudah berteriak sejadi-jadinya!  Dengan senyum mengembang lebar saya tunjukkan benda kecil itu pada suami, dan Ia tersenyum..