Dewasa itu pilihan. Kita bebas memilih untuk menjadi dewasa atau tidak. Dewasa itu kebutuhan. Kita bisa menjadi dewasa ketika kita membutuhkannya. Dewasa itu HARUS. Kita diharuskan menjadi dewasa pada saat-saat yang memang membutuhkan kedewasaan kita. Dewasa itu adalah komitmen antara aku kecil, dan aku sekarang ini....
***
Bocah kecil berambut ikal itu masih duduk dengan setia, menanti hujan menuntaskan sisa tetes terakhir airnya. Bibirnya sedikit biru, seharian mengulum manisnya dingin dengan selembar baju lusuh yang melekat ditubuh mungilnya. Bersama detik jarum jam dinding dan sepi yang menari-nari, angannya melengkungkan sebias pelangi dilangit muram sore itu.
***
Bocah kecil berambut ikal itu masih duduk dengan setia, menanti hujan menuntaskan sisa tetes terakhir airnya. Bibirnya sedikit biru, seharian mengulum manisnya dingin dengan selembar baju lusuh yang melekat ditubuh mungilnya. Bersama detik jarum jam dinding dan sepi yang menari-nari, angannya melengkungkan sebias pelangi dilangit muram sore itu.
Kau bocah, bermimpi
menjadi dewasa ketika masih terlalu banyak sisa waktu untukmu menikmati
manisnya masa kanak-kanak. Soremu yang mendung seketika cerah ketika kau
bayangkan sosok dewasa dalam benakmu melengang anggun, cantik tak bercela.
Imajinasi mengantarkanmu
pada janji-janji kedewasaan semu dalam persepsimu yang salah. Akh, aku bahkan
tak berhak mengatakan SALAH, karena waktu belum menjawab seperti apa rupa dewasamu
kelak.
Seandainya kau tau
seperti apa menjadi dewasa itu, bocah. Seandainya kau mengerti, kedewasaan yang
akan kau raih nanti terkadang akan memaksamu ingin kembali ke masa-masa
kecilmu. Kau akan mengenal waktu dimana Hujan takkan semuram hujan-hujan
sebelumnya. Dimana dingin tak sekejam hari-hari yang lalu. Dewasamu akan mengangankan
waktu masa lalumu yang lugu, yang tak perlu memikirkan ini itu.
Tapi aku tak sepenuhnya
melarangmu berkhayal tentang sosok dewasamu nanti. Kau berhak melambungkan
imajinasimu sejauh mungkin. Kau berhak mengukir mimpimu pada bias warna-warni
pelangimu sendiri. Karena dewasa kita berbeda. Kerumitan masalah yang membuat
sudut pandang kita berbeda dalam melihat ’dewasa’ itu sendiri.
Kau berbicara tentang
sosok dewasa, sedang aku berbicara tentang matangnya kedewasaan dalam tubuh
dewasa itu sendiri. Bagai sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda,
namun masih dalam satu paket tubuh, lengkap dengan nurani yang beranjak dewasa.
Jika saja kau mengerti
bocah.. jika saja kau tau betapa sakitnya menapaki jalan menuju kedewasaan itu.
Aku tak ingin kamu takut untuk menjadi dewasa, aku hanya ingin kau siap
nantinya menyambut waktu dewasamu. Tanpa perlu mengenang manisnya masa kecilmu
dulu, tanpa harus menangisi saat-saat tersulit dalam hidup dengan tubuh
dewasamu.
Jangan
pernah menyalahkan waktu yang membuatmu dewasa secepat itu. Bahkan tak
boleh sedikitpun kamu menyalahkan Tuhan yang mengantarkan kedewasaan itu
padamu. Karna tak ada yang dapat kau
lakukan untuk menolak kedewasaanmu. Satu-satunya yang dapat kau lakukan
hanyalah melawan ketidakbahagiaan yang ada dalam waktu-waktu dewasa yang kian
mematangkan pribadimu. Jadilah bocah yang dewasa dengan tegar, tanpa sisa-sisa
penyesalan seperti rintik hujan yang tak kunjung usai ini. Jadilah pelangi
setelah badai masalah datang menggelitik hari-hari penuh tawamu. Jadilah
kebahagiaan, dan bahagialah dengan dewasanya kamu. Bocah kecil berbaju lusuh
itupun bangkit dari duduknya, dan kemudian berdiri menatap cermin yang
memantulkan bayanganku, bocah kecil yang telah dewasa.
Karangasem, 2011
Comments
Post a Comment