Sumpek Itu Indah
Entah kenapa setiap aku berpikir
soal itu kepalaku rasanya penuh sesak oleh segala macam persoalan lain yang
berdesak-desakan menjejali tempurung kecilku ini. Duniaku akhir-akhir ini
begitu muramnya, sampai-sampai aku lupa bagaimana warna pagi setiap harinya.
Bagaimana aku tau? Mataku terus terjaga setiap malam, dan tak bisa dibuka
keesokan harinya. Kalau saja dengung azan dari menara-menara masjid itu tidak
sebegitu hebatnya menerobos lubang kupingku, aku mungkin masih saja akan
terlelap sampai ketika matahari sudah mencapai ubun-ubun mereka yang diluar sana .
Sumpek. Itulah istilah yang sering diucapkan teman-teman Jawa-ku
ketika sedang dihadapkan pada sebuah persoalan. Atau galau, bahasa umum yang sering aku jumpai
di situs-situs jejaring sebagai ekspresi kesumpekan
mereka. Terserahlah. Apa saja istilahnya, sama saja yang aku rasa, pun seperti
mereka. Aku sedang sumpek, sedang galau memikirkan itu lagi itu lagi.
Ku hela nafas panjang. Ketika sadar kalau aku
akan menghadapi hari yang berat lagi. Sama seperti hari-hari yang lain. Sama
beratnya. Sama sumpeknya. Kalaupun
aku beruntung bertemu teman-teman yang membuatku tertawa, tawaku tak lagi sama.
Hanya bumbu pelengkap saja. Hanya formalitas saja. Aku tertawa untuk mereka,
bukan untuk tawaku sendiri. Menyedihkan.
Hari ini aku akan ke kampus untuk mengurus
surat mutasiku ke kampus lain. Memikirkannya saja sudah membuatku mual. Ada
begitu banyak list tahapan yang harus aku lewati. Dan semuanya membuat hatiku
lemas, mengingat yang akan aku hadapi nanti bukanlah orang-rang sembarangan.
Mereka pastinya akan bertanya A B C yang tak ingin aku jawab. Belum lagi
bertemu dengan si Anu, si Ini, si Itu..akhhh, sumpek!
Sebal aku pada waktu. Begitu cepatnya ia
berlalu. Dengan sombongnya melengang pergi tanpa permisi. Karena semakin bertambah hari, aku semakin menemukan
diriku terperosok lebih jauh dalam lubang kesesatan ini. Aku bingung. Hilang
arah. Tapi aku tetap diam, tak beranjak sedikitpun untuk merubah semuanya. Andaikan
dengan menangis keadaan ini akan menjadi lebih baik dengan sendirinya, aku
bahkan rela menangis darah sejadi-jadinya!
Mendadak, ada banyak kata andaikan menari-nari
diambang renunganku. Akh, setan. Kau goda aku lagi dengan segala iming-iming
yang semakin membuatku jauh dari jalan keluar maslah-masalah ini.
Terbersit dalam benakku nama Tuhan yang sempat
aku lupakan. Jauh dalam lubuk hatiku ada suara penuh rasa bersalah yang meminta
maaf dengan lirih pada Tuhanku itu. Namun ego manusiaku yang lebih dari
setengahnya tengah dikuasai setan ini masih saja enggan untuk menyandarkan
beban ini pada-Nya. Iya, aku mungkin tengah kesetanan.
Tak heran bila kesumpekan ini belum mau beranjak dari diriku. Tak perduli seberapa
cerahpun cuaca diluar sana, wajahku selalu diselimuti mendung muram yang membuat
wajahku semakin kusam. Jerawat beranak-pinak disana-sini. Persetan. Aku malas
bercermin. Walaupun aku tak cantik, aku tak seperti kebanyakan wanita yang
begitu gila akan kecantikannya sendiri. Narsis. Bagiku saat ini urusan kuliahku
yang sedang amburadul ini jauh lebih penting dari apapun juga.
kpan part II nya, yg ngungkapin keindahan dari sumpek?
ReplyDelete