Biar Diam Yang Bicara..
Senja baru saja menetas dibibir pantai. Menggiring
burung-burung gereja berarak-arak pulang, bergandeng-gandengan. Riuh celoteh
mereka tak membuyarkan lamunanku. Anganku terbang pada satu titik disuatu hari
dimasa kanak-kanakku. Seperti berputar-putar dilorong waktu, kutemukan diriku
dengan tubuh lebih kecil dan gigi-gigi yang tak utuh. Ompong disana-sini.
Seperti biasa, Aku kecil sore itu hanya
dapat memandangi punggung tegap yang membelakangiku. Sibuk dengan selembar
koran, menyeruput kopi mengacuhkanku. Pun dihari-hari berikutnya, Aku kecil
begitu setia menemani sorenya dengan diam. Duduk diantara sepi yang
menari-nari. Tanpa suara, aku begitu mencintainya.
Tahun pun beranjak dari masa itu. Masih
disore yang sama, kupandangi punggung kekar itu dengan tatapan sayu. Rindu hati
yang merayu untuk bercengkrama dengannya urung dengan niatannya. Ia terlalu
kaku untuk ku sentuh dengan sapaan sayangku. Terlebih mengecup pipinya, apalagi
duduk dipangkuannya. Lupakan saja.
Waktu semakin merayap mengantarkanku pada
usia remaja. Telah berpuluh, beratus sore kutinggalkan Ia sendiri yang larut
dengan kopinya. Tak lagi kurasakan sepi. Duniaku, hariku, soreku kini penuh
sesak oleh riuh tawaku dengan teman-temanku. Sejenak kulupakan cintaku padanya
yang selalu mengacuhkanku. Kunikmati hari-hari dengan mengacuhkannya jua. Kuhampiri
Ia hanya ketika aku butuh segepok Uang untuk membeli sejumput kesenangan
bersama teman-temanku. Dan kubanting pintu ketika hanya diam yang mampu Ia
berikan. Kecewa, iya. Marah, pastinya. Tapi tak ada yang dapat kulakukan selain
pergi dengan tatapan sayu, berharap ia akan mengerti betapa kecewanya aku saat
itu..
Waktu masih terus melaju. Mengantarkanku pada
waktu dimana aku harus pergi lebih jauh dari kotaku untuk menuntut ilmu. Dan untuk
pertama kalinya, kulihat sorot matanya sedikit berbeda. Mata abu-abunya
meredup. Seakan ada banyak kata yang ingin Ia sampaikan sebelum
keberangkatanku. Namun hanya dengan diam dan selalu memunggungiku ia berlalu. Seakan
hanya itu satu-satunya cara Ia mengatakan betapa Ia pun mencintaiku. Naluriku
sebagai seorang anak ingin mendengar kata-kata ”berhati-hatilah disana anakku,
jaga diri baik-baik puteri kecilku, ayah mencintaimu..”. ah sudahlah.
Air
mataku tumpah bersama sedihku, kecewaku, cintaku, rinduku yang tiba-tiba
menerjang akal sehatku. Sesak dadaku ketika kucium tangannya yang kasar. Dengan
mata berkaca-kaca dan masih dengan diamnya Ia melepaskanku. Sudah banyak sore setelah sore dimasa kecilku dulu, aku mulai
mencintainya lagi. Kali
ini takkan ku bagi cinta ini pada lelaki manapun, melainkan hanya padanya. Lelaki
berjaket cokelat dengan peci putih itu. Lelaki berpunggung tegap yang selalu
mengacuhkanku itu.
Baru kusadari ketika Bis tua ini melaju
membawa ragaku semakin jauh darinya. Suatu hal yang selalu kuharapkan ketika
amarah menguasai hatiku yang terlanjur kecewa dengan sikapnya. Tapi kini
diam-diam kusesali. Mendadak aku tak ingin jauh darinya. Firasatku berkata
takkan banyak lagi sore yang akan kulalui bersamanya.
Waktu
yang membunuh tiap jeda udara ketika cintaku padanya menyeruak, kian
menyadarkanku, bahwa lelakiku kini semakin tua. Punggung tegapnya kini
terbungkuk. Sorot mata dinginnya kini sayu. Dan semua itu karena hari-hari
keras yang ia lalui untuk menghidupi segala kebutuhanku. Dan semua itu kubalas
dengan wajah muram, pintu yang dibanting, dan kaki yang menghentak pergi ketika
hasrat kanak-kanakku ingin memiliki ini-itu tak jua Ia penuhi.
Terbayang tahun-tahun terberat yang Ia lalui
demi sekepal kebahagiaan untuk anak istrinya. Sosok yang jarang tersenyum pada
anak-anaknya. Namun begitu kuat kharisma ke-ayahannya.
Pertama kalinya kulihat tangisnya tumpah
ketika orang-orang jahannam itu merebut kebahagiaan ia dan keluarganya. Melihat apa yang telah ia perjuangkan
sepanjang hidupnya luluh lantak dimakan manusia-manusia tamak dengan
kedengkiannya.
Tak cukup hanya kebahagiaannya, bahkan
nyawanya pun hendak mereka ambil paksa. Sumpah! Sampai mati aku begitu mengutuk
mereka yang telah melukai hati lelakiku. Dendam ini mendarah daging dalam
tubuhku. Membulatkan tekadku untuk mengembalikan kebahagiaan yang pernah mereka
curi darinya. Dengan segenap dayaku, kucintai ia dalam diam yang larut bersama
udara, bersama laju bis yang membawaku pergi.
Siapa sangka kalau sore itu ternyata
benar-benar jadi soreku yang terakhir bersamanya. Kepulanganku terakhir
kujumpai Ia terkulai lemah di ranjang rumah sakit berbau obat, begitu
menyengat. Seakan tak dapat ku percayai mataku, sosok lelaki tegap itu kini
harus mengalah pada selang yang menancap selang-seling ditubuhnya yang terlihat
lebih kurus itu. Nafasnya terputus-putus, berat membawa nyawa yang kian gemetar
ditubuhnya. Asma Tuhan membuncah, menyeruak bersama haru yang mengudara
menderu-deru kerinduanku. Kulafadzkan segenggam do’a, berharap-harap matanya
kan terbuka seketika, memandangiku. Tak apalah bila kau tatap aku dengan
tatapan dingin itu lagi. Tapi bangunlah! Bangunlah Ayah!
Namun kelu. Kau masih sama diamnya seperti
waktu-waktu itu. Dengan diam yang berbeda, yang lebih membunuhku.
Dan senja kembali menetas dikaki langit. Temaramnya
menggerayangi setengah jiwaku yang pergi bersama lantunan ”laailahaillallah..”
para pelayat yang turut menghantar jasad lelakiku pada persemayaman terakhirnya.
Kebas hatiku pada rasa, pada suara. Ini
benar-benar sore terakhirku bersamamu. Kepergianmu membuat tiap soreku tak lagi
indah. Takkan pernah indah lagi tanpa punggung yang selalu membelakangiku itu. Separuh
hidupku kau bawa serta, membuatku merana. Mengiba pada hati yang kian merapuh
agar tak semakin jatuh. Aku harus kuat untukku, untuk jalanmu, untuk ibu, untuk
sisa kehidupan yang harus kulanjutkan.
Maafkan aku Ayah. Cintaku padamu terkadang
selalu membangunkanmu dari tidur lelapmu dipangkuan-Nya.
Terimakasih untuk hari-hari diam kita. Diam yang
mebahasakan cintaku padamu, cintamu padaku.
Terimakasih untuk tidak memenuhi semua pinta
kanak-kanakku dulu, karena dengannya kini aku mengerti tetang arti sebuah
kesederhanaan. Kau membuatku belajar untuk selalu merasa cukup dengan segala
kecukupan yang Tuhan berikan padaku. Kau pun membuatku belajar bahwa diam jauh
lebih baik daripada kata-kata yang mengumbar untuk kemudian menjadi hambar
dihembas udara, lenyap tanpa bekasnya. Baru kusdarai, Diammu itulah cintamu
padaku. Pada puteri kecilmu yang takkan habis cintanya padamu.
Tenanglah disana Ayahku sayang.. do’akan
untuk kebahagiaan yang tengah kuperjuangkan untukmu. Jika sampai saatnya kita
dipertemukan lagi, izinkan aku mengecup keningmu, dan mencintaimu dengan lebih
diam dari caramu. I LOVE YOU DAD.....
Comments
Post a Comment