Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2013

cc: .......

Senin pagi yang cerah. Terjaga semalaman suntuk hingga sahur membuat separuh nyawaku masih belum lengkap terkumpul. Tidur selepas subuh tadi pun terasa masih kurang, terlebih mengingat keributan semalam.. akh, rasanya malas sekali untuk beranjak dari kasur ini. Aku butuh setidaknya 3 jam ekstra untuk menyusun kembali serpih kesadaranku agar mampu mencerna kembali inti dari huru-hara malam tadi. Bukan hal besar yang patut ku besar-besarkan dalam tulisan, hanya saja benakku tergelitik untuk bercerita pada kalian tentang kejadian singkat yang membuatku memetik banyak buah pelajaran semalam tadi. Adalah dua keponakanku yang baru beranjak dewasa yang menjadi topik utama disini. Nama tidak terlalu penting untuk ku sebutkan, cukup kalian tahu kalau usia mereka baru menginjak angka 17 dan 16. Usia yang memiliki darah semangat yang menyala-nyala. Usia rentan bagi rasa penasaran yang haus akan kelegaan jawaban. Dan usia yang menjadi pijakan pertama dalam proses pencarian jati diri. Segala

Pada Satu Jeda

Baiklah, pada titik ini aku akan berhenti sejenak menyalahkan diri sendiri. Bagaimanapun juga segala kekalutan ini bukan sepenuhnya salahku. Tuhan berperan besar dan aku tau benar siapa yang paling mungkin menciptakan situasi rumit ini. KAU ingin aku belajar lagi kan, Tuhan? Tenang saja, aku belum lupa yang Kau katakan padaku beberapa masa yang lalu, bahwa "hidup ini merupakan suatu proses belajar untuk terus belajar". Aku berusaha memahami betul makna dari Firman-Mu itu dalam tiap hela nafasku. Bahwa tiap detik dari sisa kehidupan yang bersarang dalam tubuh ini adalah sebuah proses pembelajaran, proses belajar untuk menuju perbaikan yang Kau kehendaki. Lalu kemudian Kau ciptakan masalah, membuatku kalut dan kerap tergoda untuk meninggalkan-Mu demi segala kemudahan yang setan tawarkan padaku. Kemudian aku berdusta dengan berkata imanku masih pada-Mu, padahal hatiku enggan berkata iya.. Pada titik itu, mau tak mau aku harus menabuh genderang perang kepada diriku sendir

Semesta Bertasbih

Aku bertanya pada burung tentang apa yang Ia kicaukan diatas dahan pepohonan setiap pagi, ' aku sedang berdendang'   katanya. ‘ Adapun lyric yang paling indah yang paling ku sukai adalah asma-Nya ’ demikian lanjutnya. Sesaat kemudian sayup ku dengar angin berbisik padaku, 'semesta bertasbih setiap waktu, hanya saja kau tak tahu.. ' Lebih tepatnya, aku tak mau tahu! Bathinku berkata. Seketika aku merasa malu pada diriku. Burung kecil yang baru saja menetas itu telah fasih melafadzkan segala puja dan puji bagi pencipta-Nya, sedang aku malah sibuk dengan mengeluhkan siang yang begitu terik membakar kulitku. Saat tiap helai daun berucap hamdalah atas tetes hujan yang tercurah dari langit-Nya, aku malah kerepotan mengumpat hujan yang membatalkan rencanaku. Semesta bersujud, menyatukan hati pada satu kepasrahan.. pasrah pada takdir-Nya. Sungai yang mengalir, mengalir dengan bertasbih dan senantiasa mengiba agar bermuara pada cinta-Nya. Samudera yang

Pada Fragmen Pagi

Aku disini, berdiri menyaksikan bumi berotasi. Berputar pada poros kecintaannya yang hakiki, pada sang Maha Pencipta: ialah Ilahi.. Mentari yang sembunyi perlahan mulai menampakkan diri. Malu-malu pada mulanya, Kemudian diam-diam menebar pesona pada tiap fragmen sinarnya Layaknya harapan yang baru saja menetas dari induk keresahan, cercah cerahnya menghangatkan tiap inci tubuh-tubuh yang bergetar oleh gigil selimut malam, yang senantiasa menciutkan balon-balon mimpi yang semestinya terbang mengangkasa kelangit luas.. Hanya saja malam tak sejahat itu, gelapnya mungkin membutakan mata untuk sekejap. Membutakannya dari kemerlap semu yang dunia tawarkan. Namun sesungguhnya diam-diam Ia memberi ruang untuk kita membasahi kedua mata dengan derasnya penyesalan hidup atas kesia-siaan yang telah kita pertahankan.. Ada celah diantara malam dan fajar yang belum lahir dari rahim ufuk timur, Rabbul Izzati menjadi lebih dekat dari jarak temu kedua alis kita. Dan dengan kedua lengan-Nya IA

Anak Layang - Layang

Anak Layang-Layang Terik panas yang menjerit diatas ubun-ubun memaksaku untuk rehat sejenak dibawah pohon mangga yang belum nampak buahnya. Gerombol daun-daunnya memberi kesejukan tersendiri diantara gersangnya ladang persawahan yang baru saja habis dipanen padinya. Beberapa daun yang setengah kuning, terpaksa harus merelakan diri untuk gugur dihempas angin, dan beberapa lainnya yang masih hijau belia hanya mampu menunggu waktu yang menuakannya, merubah hijaunya menjadi kuning untuk kemudian berguguran seperti dedaunan lain yang telah gugur sebelumnya. Dibawah pohon mangga ini, kulihat jari tuhan bermain pada usia dedaunan yang dikehendaki-Nya untuk bertahan dan gugur pada waktunya. Di kejauhan, tampak olehku tiga orang bocah bertelanjang dada tengah asik menarik-ulur layangan yang berada jauh diatas ubun-ubun kecil mereka, merajai birunya angkasa raya. Kulit yang membungkus tubuh-tubuh kurus itu legam kecoklatan terbakar matahari. Rambutnya pun berwarna matahari. Tidak hitam,