Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2012

Ketika Kau Mati

Bagaimana rasanya berada pada liang sempit seukuran tubuhmu itu saja? Dengan sehelai kafan sebagai selimut Tanah lembab sebagai alas tidur Bunga rampai mengering yang berantakan dihempas angin dingin sebagai atap,  begitu rapuh.... Dinginkah yang kau rasa? Saat tak ada teman untuk bicara melainkan hanya sepi yang tersisa Bagaimana kau lalui hidup tanpa tawa? Bahkan menangis pun kau tak tau bagaimana memulainya.. Entah dosa entah pahala yang kau bawa Anggap saja itu kunci untuk membuka rumah abadimu nantinya Liang sempit ini hanya sementara, bersabarlah sedikit lagi Peluk dingin itu, hangatkan dengan ragamu yang beku Ramaikan malam-malammu dengan sisa gelak tawa mereka yang belum merasakan yang kau rasa,  toh, pada saatnya nanti mereka akan tau bagaimana rasanya Dalam liang itu kau berbaring, tak bergerak lagi Kau mati namun tak mati Kau hidup namun tak hidup Kau hanya tengah sekarat diantara dua dunia akan kau datangi dan tinggalkan Ken

sudut dalam lingkaran

Seorang sahabat bertanya padaku, ”kamu mau lulus kapan sih Naz?” dengan nada bercanda dan disambut tawa lepas oleh sahabat-sahabat lainnya yang kebetulan berada ditempat yang sama denganku saat itu. Sejenak aku biarkan mereka saling melempar canda yang tak jauh-jauh dari topik soal kapan kelulusanku sebenarnya. Aku tau, aku sangat mengerti, pertanyaan itu dilontarkan dengan niat bercanda. Tak lebih. Namun sungguh, aku sungguh berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Sekalimat tanya yang benar-benar melontarkanku pada beberapa masa dibelakangku. Tapi tatapan mereka yang menunggu setengah memaksa mulutku untuk menjawab pertanyaan mereka dengan bercanda juga, ”Mei. Meibi yess meibi no”, dan mereka pun tertawa lagi. Begitulah waktu mengalirkan pembicaraan kami kemana-mana. Syukurlah topik kelulusanku segera berganti dengan topik lainya. Dan sementara mereka asik bertukar opini, aku diam. Sesekali kulempar senyum agar tak seorang pun dari mereka yang menyadari betapa

pada hidup aku belajar tentang kehidupan

Hidup mengajariku bagaimana mencintai dengan penuh keikhlasan lewat seekor penyu yang rela meninggalkan telur-telurnya agar kelak mereka dapat berjuang sendiri, untuk hidup yang lebih baik, hidup mereka sendiri. Karenan keterbatasan sang penyu yang merasa takkan sanggup menjaga buah hatinya seorang diri. Hidup juga mengajariku kesederhanaan lewat padi yang kian merunduk saat bulir-bulirnya padat berisi. Hidup mengajariku bagaimana mencintai sekedarnya saja, lewat gerimis yang selalu romantis dan menyejukkan, namun menjadi dingin ketika gerimis menjelma hujan yang berlebihan. Hidup pula yang mengajariku tentang bagaimana menjadi seorang yang kuat, lewat sebatang pohon yang terlihat rapuh dan keropos, namun sebenarnya memiliki akar yang kuat. Tak perduli seberapa kuat angin berusaha merobohkannya, ia tetap berdiri, walaupun sesekali ia merasa takkan lama lagi ia sanggup bertahan dengan angin yang terus-menerus mengusiknya. Dengan sedikit air, pohon tersebut akan tumbuh kemb

Cinta Semusim

Cintamu tak ubahnya seperti musim semi yang menghangatkan jiwa yang kala itu tengah terpuruk dalam ketidakpastian cinta anak manusia. Kau rubah abu-abuku menjadi ungu. Kau rubah pekatnya duka kembali merah muda, merona. Pelangi seakan membias lagi tiap saat embun mengerling manja pada pagi-pagi saat kau sapa aku yang menahan rindu semalaman tadi. Aku terbuai oleh kehangatan yang musim semi tawarkan padaku. Hingga tanpa terasa musim ’kan berganti lagi ketika kau pergi meninggalkanku sendiri. Tak lagi ku dapati kupu-kupu disekeliling hatiku, tak ada lagi kamu. Musim dingin ini begitu sakit menggigit hatiku yang kehilanganmu. Namun kau tak mau tau. Ternyata cinta kita tak sepanjang pergantian musim selanjutnya. Adapun kutemukan sisa-sisa dedaunan berguguran dihempas angin saat musim gugur tiba, menyisakan duka yang tak lagi berair-mata. Dengan hati yang dingin, hampir membeku, ku peluk hangat musim dengan kedua lenganku tanpamu. Biarlah, tak mengapa. Dan, toh, musim gugur ini pun ak

nyanyian desember (part II)

#2 Akupun menuruti perintah mama tanpa berkata-kata. Segera ku balikkan badanku menuju ke kamar. Namun tiba-tiba ku dengar mama menjerit. Segalanya terjadi begitu cepat. Aku tak mempercayai mataku sendiri. Tubuh mama melorot ke lantai dengan pisau menancap di dadanya. Ayah mengambil pisau lainnya diatas meja dan menusukkannnya berkali-kali ke tubuh mama yang tergeletak di lantai. Semua terjadi di depan mataku. Mama, aku tak mengerti semua ini. Aku bingung. Aku takut. Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku... ”TIDAAAAAKKKKKKKKK....!!” aku tak melihat apa-apa lagi. Semuanya gelap. Mataku mengerjap perlahan. Dan ketika aku dapat membuka mataku seluruhnya, aku merasa asing. Tiba-tiba aku teringat mimpiku semalam. Akh, benar-benar mimpi yang menyeramkan. Aku tak dapat membayangkan jika mimpi semalam benar-benar menjadi kenyataan. Tapi, ini bukan kamarku, dan bukan ranjangku pula. Dimana aku? Dengan tubuh lemas aku turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari mama. Tapi sampai dil

Nyanyian Desember (part I)

#1 Sebentar lagi Desember akan berakhir. Beberapa Desember t’lah kulewati bersama sepi dan tanpa Ayah disisiku. Beberapa Desember t’lah berlalu namun ayah tak pernah memberikan senyumnya untukku. Dan entah berapa Desember t’lah kulalui dengan derai air mata yang seolah tak pernah kering dari lubuk hatiku. Mama, aku percaya tangamu erat memelukku, walau dunia kita tak lagi sama. Tahun ini tak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pria paruh baya yang tinggal bersamaku masih sama seperti hari-hari sebelumnya, dingin dan tak bersahabat. Aku hanya bisa bersabar menghadapi tingkahnya yang kadang membuatku sangat sulit untuk mencintainya. Benci, marah, menyatu menjelma dendam tiap kali teringat ketika desember beberapa tahun silam yang kulalui bersamanya, pria paruh baya yang selalu memandangku dengan tatapan yang tak ku mengerti, tak pernah ku mengertinya. Terlalu sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa aku harus tinggal satu atap dengannya. Ayah, ku mohon jauhkan pria in

tik...tok..tik..tok..

Aku membayangkan jarakku denganmu hanya sebentang dua angka pada jam dinding tua yang tergantung lemas dikamarku. Hanya 60 detik yang kuhitung berkali-lipatnya saat kau tak disini. Hanya 60 detik namun kau tak terasa dekat, pun tak terasa jauh. Aku hanya merasa jarak kita tumbuh semakin jauh saat kita tak bersama. Seiring pucuk-pucuk rindu yang bermekaran sampai kembali berguguran, rinduku tak kunjung terpuaskan dengan hanya sekali-dua kali sapaan. 60 detik ini tak pernah terasa singkat untukku, jika ku berpikir tentangmu. 60 detik ini pula yang membuat jiwaku sekarat karena memanggil namamu dan kau tak dengarkan aku, tak pernah dengarkan aku. 60 detik bukan hanya jarak sebentang 2 angka antara kau dan aku, namun lebih dari itu. Aku membenci waktu yang semakin mendewasakan jarak hati kita Aku benci menunggumu selama 60 detik yang begitu jauh dari realita Aku menginginkanmu sejauh 60 detik jarak kita Namun kau semakin menjauh, jauh lebih jauh dari sekedar detik